Posts

Showing posts from 2014

Perayaan Toleransi

Beberapa waktu yang lalu, kembali santer terdengar perdebatan boleh-tidaknya sebuah ucapan dilontarkan -- diamanatkan untuk kaum yang merayakan. Ada yang melarang dengan tegas, ada pula yang melonggarkannya. Semua orang membawa-bawa hadist-hadist sahih, logika teologi Islam, dan lain hal sebagainya. Aku, tidak ikut campur dalam perdebatan itu. Pun juga tidak ikut memberikan selama. Terkadang, aku tertawa ketika orang-orang menyebut-nyebut ucapan selamat dan keikutsertaan dalam perayaan adalah toleransi. Mungkin, kita harus belajar lagi mengenai toleransi. Jika dan hanya jika toleransi hanya dimaknai sebatas itu -- bukanlah itu teramat dangkal. Seharusnya kita tahu, toleransi adalah rasa menghargai, rasa menghormati, kepedulian untuk tidak mengganggu keyakinan orang lain -- bukan mencampurkadukkan sesuatu yang jelas berbeda menjadi sama. Bagiku, toleransi bukanlah seperti itu. Bagiku, toleransi adalah tetap berpijak pada prinsip awal dan tetap menghargai prinsip ora

UU Penyiaran No. 32/2002: Produk Hukum yang Inkonsistensi terhadap Demokratisasi

            Runtuhnya rezim Orde Baru membawa Indonesia pada proses reformasi politik. Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 merupakan salah satu produk demokrasi yang lahir dari semangat penggebrakan otoritarianisme. Sebelumnya penyiaran di Indonesia diatur oleh UU No. 47/1997 dan berada di bawah naungan Departemen Penerangan. Namun saat rezim Orde Baru runtuh dengan ditandai likuidasi Departemen Penerangan tahun 1999, muncul ide untuk mengubah sistem otoriter ke demokratis dengan membawa kembali frekuensi ke ranah publik. [1] Setelahnya, perumusan revisi undang-undang serta pembentukan badan regulator yang independen diusulkan oleh Komunitas Penyiaran Indonesia (KPI). [2]             Awalnya UU Penyiaran No. 32/2002 menjadi spirit dari sistem yang lebih demokratis. Terdapat lima indikator untuk mengukur sejauh mana undang-undang baru ini bersifat lebih demokratis, yaitu; (1) kehadiran KPI sebagai regulator penyiaran; (2) munculnya sistem siaran berjarinagan; (3) Dijaminnya

RINDU

Image
Aku merindukan kisah-kisah tentang enam  manusia  misterius di rumah tua peninggalan Belanda. Rumahnya besar, dari luar terlihat remang-remang dan berada di sudut perempatan jalan. Ada pohon tanjung yang amat besar -- yang tak pernah berbunga, hidup bersama mereka dan turut serta meladeni kerasnya zaman. Ada dua keluarga lainnya yang yang ikut tinggal bersebelahan. Sekumpulan ayam tetangga yang suka berlarian-larian ketika ada yang membuang sampah. Dan juga seekor anjing hitam yang kerap kali menggonggong ketika ada orang asing datang. Sesekali, anjing itu terkadang menjadi sangat menyebalkan ketika tak dapat mengenali manusia-manusia yang tinggal di sana. Tapi dia lebih banyak membantu karena menjadi penghalang manusia-manusia bertangan nakal dan berotak tamak. Aku merindukan satu rumah tua yang menakutkan -- yang masih berdiri kokoh di tepi jalan. Masih mengakarkan pondasinya di antara rumah-rumah modern yang mulai dibangun di kanan-kirinya. Aku merindukan satu nuansa, di man

Katanya,

"Kalau capek ya istirahat, jangan melimpahkan kesalahan kepada orang yang tidak ada sangkut-pautnya," katanya suatu ketika. Hahaha. Aku pengin ketawa. Siapa sih yang menyalahkan? Apa di konteks itu aku menyalahkan dia? Begini ya, aku mengatakan satu alasan mengapa aku menanggapinya demikian di suatu sore. Tahu kenapa? Menurutku bagian tugasku adalah sesuatu yang harus diketahui oleh semua personal. Sebab, hal tersebutlah yang menjadi poin utama, yang akan dibahas, dan apa yang menjadi landasan untuk ditulis. Kemudian, aku disebut-sebut lelah dan capek. oke, itu benar. Namun, semua itu tidak melulu berkaitan dengan organisasi yang aku jalani. Malahan, itu sangat berkaitan erat dengan kelompok ujian tengah semester yang waktu itu kugarap. Mengapa aku lelah? Pertama, aku dibebani pemikiran bahwa tugas itu adalah ideku sehingga aku memikul konklusi benar atau tidaknya tugas itu. Dan yang lain? Seolah-olah tidak peduli. Aku merasa diandalkan padahal aku adalah yang terbodoh di a

[Review Film] Wacana Polemik Modernitas terhadap Tatanan Kehidupan Sosial dalam Film Modern Times

Image
Rating                          : G Genre                           : Klasik & Komedi Sutradara                      : Charlie Chaplin Produser                       : Charlie Chaplin Penulis skenario           : Charlie Chaplin dan Paulette Goddard (uncredited) Pemeran                       : Pekerja Pabrik (Charles Chaplin), Paulette Goddard (Sang Gadis/Ellen Peterson), Pemilik Kafe (Henry Bergman), Big Bill (Stanley Sandford), (Mekanis) Chester Conklin, Perampok (Hank Mann), Ayah si Gadis (Stanley Blystone), dan President Electro Steel Corp (Al Ernest Garcia). Tahun Rilis                   : 1936 Durasi                           : 1 jam 27 menit (87 menit) Musik oleh Charles Chaplin, Sinematografi oleh Ira H. Morgan dan Roland Totheroh, Editor   Williard Nico             “Can you imagine us in a little home like that?” [1] – pernyataan ini diungkapkan oleh seorang pria yang merupakan mantan buruh pabrik pengangguran kepada seorang gadis yatim