Posts

Showing posts from July, 2015

Catatan tentang Semester Empat

Setelah melihat nilai terakhir yang keluar di semester empat ini, hati rasanya langsung lega. Akhirnya saya menyelesaikan semester empat dengan tuntas; dengan kata lain tidak ada yang mengulang. Sangat plong rasanya ketika semester empat resmi usai dengan predikat “usai”. Terlepas dari “keberhasilan” saya menyelesaikan semester ini, ada banyak hal yang saya pelajari dari semester empat. Saya menyebut satu semester ini dengan fase yang paling mengerikan (saat ini) selama saya berkuliah. Saya tidak pernah benar-benar mengalami rasa yang teramat insecure dalam menghadapi perkuliahan. Selama ini saya tergolong (sangat) santai dan mengerjakan seluruh tugas dengan (amat) santai pula. Namun, semester ini, (walaupun saya tetap santai) benar-benar sebuah perjuangan. Ada banyak hal yang bisa saya ambil sebagai pelajaran. Semester ini benar-benar fase berdarah-darah. Saya mungkin terdengar berlebihan. Tapi percayalah, untuk melalui semester ini, saya tidak bisa sesantai semester kemarin.

Simbah dan Lebaran

Lebaran ini adalah kali keduapuluh – atau mungkin yang kesembilanbelas (saya tidak ingat apakah dulu waktu masih berwujud bayi merah, saya pernah diboyong pulang kampung bersama ibuk) saya mudik ke kampung halaman ibuk di Wonosobo. Di sana, kami mengunjungi kerabat-kerabat Ibuk, dan tidak lupa – sungkem sama Simbah Putri yang biasa saya panggil Mbah Pur. Seperti biasanya, perjalanan Magelang-Wonosobo di Hari Raya selalu pekat tidak terkendali. Celah-celah sempit hanya mampu disisipi motor-motor yang sedikit bengal karena ingin cepat sampai tujuan. Butuh waktu sekitar tiga jam lebih – lebih lama satu jam dari hari biasanya untuk sampai ke Wonosobo. Sesampainya di sana, lagi-lagi seperti biasa, kami ngobrol (sangat) sebentar dan langsung tertidur pulas karena kecapekan. Di sana, saya dan keluarga hanya menginap satu hari saja. Dan bicara soal kuantitas waktu, saya sangat menyayangkan karena tidak (pernah) bisa ngobrol dengan Simbah saat mudik. Saudara saya ada yang lena dengan g

Perempuan (Tidak) Harus Sekolah Tinggi-Tinggi

Image
Bicara tentang sekolah atau biasa disebut melanjutkan studi adalah salah satu hal yang saya inginkan. Jujur, saya ingin melanjutkan studi saya sampai S3. Selepas S1 nanti saya ingin bekerja tetapi juga ingin langsung melanjutkan S2. Intinya, semangat saya untuk terus belajar selalu membuncah.  Walaupun, sebetulnya proses belajar tidak harus berada di dalam sebuah institusi pendidikan. Namun, saya pribadi kepingin belajar dalam sebuah institusi pendidikan sekaligus lingkungan sosial. Saya ingin belajar di mana saja dan kalau bisa (terus) melanjutkan studi. Saya sendiri tidak benar-benar tahu apa yang saya cita-citakan. Untuk saat ini, saya hanya kepingin belajar dan meneruskan studi. Namun, belakangan ini, teman-teman (perempuan) saya seolah-olah memberikan nasihat untuk “tidak perlu” sekolah tinggi-tinggi. Atau, kalau pun mau lanjut S2 atau S3 harus menikah dulu. Alasannya sederhana, kalau seorang perempuan terlanjur memiliki pendidikan yang sedemikian tinggi – laki-laki pasti

Jiwa yang Kembali

Sungguh, saya tidak pernah merasa sebahagia ini setelah sekian lama. Akhirnya, saya memulainya juga. Rasanya sudah lama sekali saya tidak merasakan sensasi seperti ini. Sensasi yang berkecipak di dalam hati. Ada air yang terus beriak, menandakan benih-benih kehidupan. Rasanya, sudah lama sekali tidak merasakan hal semacam ini. Seolah-olah dulu mati. Setidaknya hidup tanpa raga. Dan jiwa yang hilang itu mengendap datang, kembali merasuk. Sukma yang telah jauh pergi itu kembali datang. Meminta untuk merasuki raga yang kosong. Ah, rasanya benar-benar sensasi seperti ini benar-benar aku rindukan semenjak dua tahun yang lalu. Kini, aku menyadari, sekalipun aku pernah benar-benar menginginkan untuk berhenti. Aku tahu, menghentikannya adalah satu kesalahan besar. Sudah saatnya aku melakukannya lagi. Merasai sensasi yang aku rindukan. Kembali jatuh cinta pada rutinitas. Kembali mencintai tiap tokoh fiksi yang aku ciptakan -- dan berharap mereka benar-benar hidup. Hingga aku bisa

Tentang Praduga, Prasangka, dan Stereotip

Image
Tentang Praduga, Prasangka, dan Stereotip Analisis “Stereotip” sebagai Persepsi dari Komunikasi Interpesonal                 Menduga-duga adalah suatu keniscayaan di dalam kehidupan sosial. Bahkan memprediksi dinamika alam, seperti ramalan cuaca adalah suatu bentuk praduga yang sering digunakan oleh manusia. Sama halnya ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, berhubungan dengan orang lain, serta melakukan interaksi sosial – menduga-duga adalah sebuah keniscayaan. Dapat dikatakan, kita akan selalu menduga-duga                 Bahkan, dalam kasus tertentu, menduga-duga pesan yang disampaikan oleh seseorang selalu terjadi dalam setiap proses komunikasi. Terkadang, sebuah kata yang memiliki pemaknaan berbeda dan dituturkan dengan aksen atau intonasi yang berbeda – serta merta membuat seseorang berasumsi dan menduga-duga tentang sebuah pesan.                 Misalnya saja, seseorang yang terbiasa berbicara dengan nada tinggi membuat orang yang diajak berbicara de

Sebab Mengadu adalah Merebut Kembali Hak Publik

Image
Keresahan yang diakibatkan oleh tayangan televisi telah terjadi semenjak berpuluh-puluh tahun silam di berbagai belahan dunia. Berbagai tayangan televisi sepertinya sudah menjadi penyakit yang mewabah. Beberapa orang dapat terjangkit tayangan tersebut dan melekatkan dirinya di atas sofa yang empuk sambil memandangi layar televisi – tanpa ingin melepaskannya. Televisi tidak hanya menjadi berhala bagi masyarakat modern dan membuat penonton jadi pemalas. Alih-alih memudahkan penyebaran informasi dan mengedukasi, tayangan televisi saat ini hanya melanggengkan kontruksi, kuasa atas informasi kelompok tertentu, dan “mendidik” masyarakat melalui hikmah-hikmah sinetron. Dalam film Network produksi 1976, salah satu tokoh di dalamnya, seorang presenter televisi bernama Howard Beale yang diperankan oleh Peter Finch, televisi hanya berisi ilusi dan hal-hal yang tidak nyata. Apa yang terjadi pada televisi kita hari ini sebetulnya adalah bentuk kebebasan demokrasi pasca tujuhbelas tahun r

Best Quotes of Televison

Image
So, you listen to me. Listen to me! Television is not the truth. Television's a god-damned amusement park. Television is a circus, a carnival, a traveling troupe of acrobats, storytellers, dancers, singers, jugglers, sideshow freaks, lion tamers, and football players. We're in the boredom-killing business. So if you want the Truth, go to God! Go to your gurus. Go to yourselves! Because that's the only place you're ever gonna find any real truth. But, man, you're never gonna get any truth from us. We'll tell you anything you wanna hear. We lie like hell. We deal in illusions, man. None of it is true! But you people sit there day after day, night after night, all ages, colors, creeds. We're all you know. You're beginning to believe the illusions we're spinning here. You're beginning to think that the tube is reality and that your own lives are unreal. You do whatever the tube tells you. You dress like the tube, you eat like the tube, you

Sebab, Aku (Bukan) Seorang Perempuan

Image
“Aku lupa bahwa aku perempuan” – itu Suad, tokoh utama dalam novel “Aku Lupa Bahwa aku Perempuan” garapan Ihsan Abdul Quddus – seorang novelis sekaligus jurnalis Mesir. Dalam novel itu, diceritakanlah seorang perempuan pernama Suad yang memiliki ambisi besar terhadap karier politik dan pendidikannya. Ambisi yang terlampau besar itu membuatnya melupakan kodrat bahwa dirinya adalah perempuan. Ia lebih suka diperlakukan sebagai seorang politikus atau cendekiawan – diibandingkan diperlakukan sebagai seorang perempuan. Dan ia pun – telah melupakan bahwa ia adalah seorang perempuan. Berkebalikan dengan apa yang dialami oleh Suad, orang-orang di sekelilingkulah yang lupa bahwa aku perempuan. “Mereka lupa bahwa aku perempuan” – begitulah yang terus menjeri-jerit di hatiku. Aku heran, mengapa orang-orang (pria) di sekitarku tidak dapat melihatku sebagai seorang perempuan. Hanya karena aku suka mempelajari tentang feminisme – mereka lantas menganggap bahwa aku adalah seorang perempuan

Anak Pertama!

Sewaktu mendapat surel dari editor, saya masih menganga dan tidak percaya – jika dan hanya jika novel saya sudah terbit versi e-booknya. Rasanya ingin bersorak saat itu juga. Akhirnya, novel saya yang saya tulis semenjak tahun 2012 – dan baru selesai di pertengahan 2013 itu – diedit di tahun 2014, dan mesti menunggu antrian terbit itu akhirnya terbit juga! Ini Anak pertama saya! Perkenalkan, namanya “Dering Kematian”! Walaupun masih terbit versi e-booknya – saya cukup merasa senang. Namun, saya tetap berharap, versi cetaknya akan segera terbit dan menemuinya di toko buku. Sekilas tentang novel ini, idenya berawal dari mimpi di jumat malam. Sepaginya – di hari Sabtu ketika saya terbangun – mimpi itu terus bergelayut mesra di otak saya. Di dalamnya ada seorang remaja laki-laki yang masih berseragam SMA berlari-lari di lapangan dikejar segerombolan anak SMA yang lain. Di persimpangan jalan, dia membuang ponselnya – kemudian saya ambil. Sebab, pada waktu itu ponselnya sama persis

[Teori Komunikasi] Teori dalam Ranah Fenomologi

Image
1.       The Message (Pesan) a.        Paul Ricoeur’s Theory of Distanciation       Teori ini membahas tentang bagaimana suatu pesan ditangkap dan dipahami secara terpisah-pisah. Suatu pesan memiliki arti yang tidak respektif dalam keaslian pesan komunikator yang sebenarnya. Kita dapat membaca pesan dan memahaminya, tetapi dalam kenyataannya kita bukan bagian dari the original speech event . b.       Stanley Fish’s Reader-Response Theory       Pendapat Stanley Fish berbeda dengan Ricoeur. Jika Ricoeur menganggap bahwa pesan/makna terdapat dalam suatu pesan, maka Fish berkebalikan. Fish berpandangan bahwa makna dapat ditemukan dan digali pada diri komunikan (pembaca) itu sendiri, bukan pada teks. Dalam hal ini teks hanya menstimulasi pembaca agar menjadi seseorang yang aktif memahami dan mengerti suatu teks/pesan dan persoalan. Pada teori Fish, tentu sulit menemukan objektivitas karena pemaknaan tidak bersifat tunggal. c.        Hans-Georg Gadamer’s Philosophica

[Teori Komunikasi] Memaknai Tanda-Tanda Melalui Konsep Semiotika

Image
1.       The Message (Pesan) a.       Semiotics of Language Studi ini menjelaskan bahwa bahasa telah dipengaruhi oleh semiotika (tanda-tanda) dan keburukan percakapan. Kita harus mengetahui bagaimana suatu struktur bahasa dipengaruhi dan mempengaruhi pesan, khususnya pada pemaknaan. Sebelumnya kita mengetahuii bahwa di dunia ini banyak beragam bahasa. Setiap bahasa tersebut memiliki pemilihan atau penyebutan kata yang berbeda untuk satu hal yang sama. Tanda-tanda yang ada pada bahasa menjadi kunci dari pemaknaan. Walaupun ide umum dari bahasa dan realitas adalah suatu hal yang berbeda. Tetapi bahasa sebagai suatu sistem yang terstruktur tetap dianggap merepresentasikan realitas. -           Language Forms Teori ini membahas mengenai pembentukan bahasa baik dari tata bahasa, penyebutan/pemilihan kata, dan intonasi. -           Beyond Semiotics Teori ini menyinggung suatu permasalahan di mana bahasa yang sebelumnya telah dibentuk mengalami perkembangan. Perkembangan pa