FILM: Eksistensi dan Peran Perempuan terhadap Kemajuan Dunia Perfilman Indonesia (1)

       

                   
Nan T. Achnas

                   Film sebagai salah satu bagian dari media massa tentunya memiliki fungsi dalam memberikan pesan kepada penontonnya. Sampai saat ini, film-film yang beredar tentunya memuat ide dan gagasan dari pembuatnya. Ada beberapa faktor yang dapat dikategorikan untuk menentukan tujuan dibuatnya film tersebut. Dalam hal ini, kita dapat menyebutnya sebagai perspektif.

                Seorang sutradara tentunya tidak begitu saja meninggalkan perspektif atau cara berpikirnya akan suatu hal dalam pembuatan sebuah film. Bahkan, beberapa sutradara memiliki idealisme bahwa film yang ia buat adalah representasi dari ide dan gagasan yang ia sampaikan. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa pesan dari sebuah film baik eksplisit maupun implisit dipengaruhi dari latar belakang sutradara yang bersangkutan.
                Di antara semua latar belakang dan status sosial tersebut, gender menjadi salah satu latar belakang perbedaan perspektif dalam menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah film. Apalagi jika dalam film tersebut, sang sutradara merasa memiliki otoritas dan harus mengedepankan kepentingan gagasan, ide, dan asumsinya akan suatu hal. Film menjadi sebuah representasi konkrit dari apa yang sesungguhnya ingin disampaikah oleh seorang sutradara.
                Kita ambil contoh seorang sutradara laki-laki dalam menggambarkan perempuan dalam sebuah film. Laki-laki dalam hal ini jika pendidikannya akan gender dan seks masih kurang, akan menempatkan perempuan sebagai obyek semata. Terlepas dari semua itu, perempuan adalah ‘bumbu’ sebuah film. Apalagi perempuan yang seksi dan sensual. Tokoh sentral dalam sebuah film selalu mengutamakan laki-laki. Representasi laki-laki dalam film itu sendiri pun selalu bersifat positif. Budaya patriarki yang telah mendarah daging melekat dalam perspektif sutradara dan memberikan gambaran tersebut ke dalam film.
                Dalam hal ini, kita memerlukan perspektif baru terhadap perempuan di dalam film. Harus ada perempuan yang dapat menempatkan perspektif perempuan sebagaimana apa yang diinginkan perempuan (dan bukan laki-laki). Perspektif ini lagi-lagi biasanya dibawa oleh sang sutradara. Di Indonesia sendiri – sebagai negara yang budaya patriarkinya kental, masih minim sutradara perempuan. Adapun sutradara perempuan yang berhasil terjun ke dunia perfilman adalah mereka yang memiliki saudara atau relasi di dunia perfilman. Sekali pun muncul, sutradara perempuan pasti perempuan jaringan, baik suami, atau saudara yang sudah terlebih dahulu masuk ke dunia film.Sebutlah Djenar Mesa Ayu yang memiliki seorang ayah sutradara yaitu Sjuman Djaja. Sama halnya juga dengan Kamila Andini, putri dari Sutradara Garin Nugroho.  Hal ini mengukuhkan bahwa eksistensi sutradara perempuan masih belum diakui sepenuhnya. Padahal kontribusi sutradara perempuan terhadap perfilman Indonesia, baik film arus utama maupun independen sangatlah besar.
                Untuk melihat kontribusi sutradara perempuan di Indonesia, kita dapat meninjau rekam jejak sutradara perempuan dari masa ke masa. Khususnya eksistensi mereka sebelum dan sesudah Orde Baru. Era Orde Baru disebut-sebut sebaga rezim yang menakutkan. Hantu Breidel saat itu bergentayangan di mana-mana – termasuk pembreidelan terhadap film.      David Hanan dalam diskusi public lecture “Women Perspective on Cinema[1] mengatakan bahwa sebelum era Orde Baru, film perempuan yang diproduksi oleh perempuan kurang laku di pasaran. Maka dari itu, untuk mengatasinya para pembuat film perempuan mulai mengadopsi persepsi peran laki-laki terhadap pembuatan film, sehingga film yang diproduksi dapat bersaing di lapangan. Sebagai contoh, pengadopsian peran laki-laki tersebut melalui adanya kolaborasi dalam pembuatan film terkait dengan jumlah peran laki-laki maupun perempuan dalam peran sebagai produser, sutradara, dan lain lain.
                Padahal, kontribusi perempuan dalam produksi film di Indonesia dapat dikatakan signifikan. Adapun, sutradara perempuan memberikan warna dan perspektif baru tentang perempuan sebagai subyek di dunia produksi perfilman. Kondisi perfilman di Indonesia sendiri mengalami perubahan sebelum dan sesudah Orde Baru. Hal ini terkait dengan regulasi perfilman dan rumitnya birokrasi badan produksi perfilman.
                Pada era orde baru film yang ditayangkan harus menggambarkan citra postif pemerintah, maka setelahnya muncul beberapa film yang membawa ‘suara marjinal’ ketayangan layar lebar.[2] Namun, sebelum kebebasan tersebut diterima masyarakat Indonesia, maka para sineas orde baru berinisiasi  membuka pasar segar bagi penikmat film Indonesia berupa tema-tema seksualitas dan kehidupan masyarakat perkotaan Jakarta. Dalam buku Katalog Film Indonesia tahun 1926-2007 karya JB Kristanto (2007) ditemukan beberapa daftar film yang menyuguhkan tema-tema di atas. Sebut saja beberapa film seperti Godaan Cinta dan Godaan Membara tahun 1994, Bebas Bercinta, Cinta Terlarang, Gairah dan Dosa tahun 1995, dan deretan film lain berjudul serupa sampai dengan akhir tahun 1999. Setelah tumbangnya orde baru, tema-tema perempuan mulai bergeser dari tema seputar kenikmatan ke tema yang lebih berani memunculkan ‘suara marjinal’ yaitu perempuan yang terpinggirkan.[3]
                Penjabaran di atas adalah hal-hal yang perlu diketahui terkait penggambaran perempuan dalam film. Di mana perempuan dijadikan sebagai nilai jual dalam film. Baru setelah rezim orde baru, mulai bermunculan film-film ekspresif. Dalam hal ini, kita perlu melihat pula – sebenarnya seberapa banyak sutradara perempuan yang berkecimpung dalam dunia film di Indonesia sebelum Orde Baru. Sejarah mencatat bahwa pada era sebelum kemerdekaan hingga hingga orde baru setidaknya tercatat hanya 4 sutradara perempuan yaitu Ratna Asmara, Citra Dewi, Ida Farida, dan Sofia WD.  Sedangkan menurut temuan penelitian yang dilakukan oleh Novi Kurnia[4] melalui tesisnya terhadap 28 sutradara perempuan, ada enam sutradara sebelum tahun 1998 yakni: Ratna Asmara, Roostijati, Chitra Dewi, Ida Farida, Sofia WD, dan Rima Melati. Keenam sutradara tersebut kebetulan memiliki suami, maupun hubungan kerabat dengan keartisan maupun produser, hanya Ida Farida saja yang memulai karinya tidak dari kedekatan dunia keartisan, melainkan sebagai asisten sutradara.[5]
                Saat itu relasi perempuan dengan sutradara laki-laki yang sudah terjun ke dunia perfilman sebelumnya memberikan peluang dan ruang yang lebih lebar bagi mereka untuk masuk ke dalam sana. Dari sini, kita bisa melihat, selain film-film yang menggambarkan perempuan sebagai obyek. Rezim pemerintahan ini yakni kombinasi kejawen, sekularisme, militerisme, bapakisme dan pembangunanisme serta kepribumian,[6] mempersempit ruang perempuan dalam mengeksiskan dirinya di dunia perfilman. Selain itu pula, sebelum 1998 isu-isu yang berkaitan dengan etnis Tionghoa sangat sensitif. Perjuangan untuk membebaskan diri dari dikotomi dan stereotip tersebut bukan hanya tertuang dalam film saja, tapi juga pada pelaku film itu sendiri yaitu sutradara.
                Akan tetapi, setelah era reformasi hingga sekarang setidaknya terjadi peningkatan jumlah sutradara perempuan yang saat ini mencapai lebih dari 22 orang. Jika diprosentasi, JB Kristanto dalam buku katalog film Indonesia mengalkulasikan pada tahun 1998-2008 terdapat 14,28 % sutradara perempuan di Indonesia.
                Pasca Orde Baru (1998-2010), terdapat 52 film dari total 405 film arus utama yang disutradai oleh perempuan.[7] Sedangkan total film independen kategori fiksi berjumlah 535 yang diproduksi antara 1998-2008, 115 di antaranya disutradai oleh perempuan. Untuk kategori film dokumenter, 20,90 % (51 film dari total 193) disutradai oleh perempuan. Adapun sutradara perempuan film independen saat ini mencapai jumlah 85 orang dari total 467.[8]
                Dalam penelitiannya Novi Kurnia menyebutkan bahwa sutradara perempuan Indonesia ternyata lebih maju dibanding dengan negara lain. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penghargaan film dengan sutradara perempuan yang diperoleh oleh Ratna Asmara tahun 2004 (Sedap Malam), sedangkan di luar negeri baru tahun 2010 oleh Magelo di Hollywood.
                Untuk melihat seberapa besar kontribusi perempuan setelah era 1998, kita perlu merunut karya-karya sutradara perempuan baik dalam film arus utama maupun independen. Adapun, perlu digarisbawahi pula, pasca runtuhnya rezim Orde Baru, perfilman Indonesia kembali bangkit. Dalam proses kebangkitannya, beberapa sutradara perempuan mengambil andil sekalipun mereka masih harus bekerja sama dengan laki-laki. Sebutlah Film Kuldesak, yang sukses menjadi Bapak[9] Perfilman Indonesia. Film omnibus pertama di Indonesia ini berhasil kembali mengangkat perfilman Indonesia yang tengah mangkrak. Dalam penggarapannya, terdapat dua sutradara perempuan yaitu Nan T. Achnas dan Mira Lesmana.
Nia dinata 
                Bergerak dari sana, perfilman Indonesia semakin mengalami peningkatan. Sutradara-sutradara perempuan mulai bermunculan. Film-film mendapatkan napas kebebasan berkeskpresi.  Beberapa film yang disutradarai perempuan pasca 1998 di antaranya Cau Bau Kan (2002) yang digarap apik oleh Nia Dinata. Karya Nia yang lain adalah Arisan! (2003) yang sukses mendulang penghargaan.

Mira Lesmana

                Perfilman Indonesia memasuki tahun 2000-an juga diramaikan oleh orang-orang dari beragam latar belakang profesi yang menjajal penyutradaraan film, tak terkecuali kaum perempuannya. Sekar Ayu Asmara misalnya, yang sebelumnya dikenal sebagai pencipta lagu, telah sukses melepas tiga judul film garapannya, yaitu Biola Tak Berdawai (2003) yang didaftarkan sebagai wakil Indonesia dalam Oscar 2004, drama psikologis Belahan Jiwa (2005), serta Pesan dari Surga (2006).
                 Selanjutnya dalam 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi, beberapa sutradara perempuan ikut serta dalam mengisi slot film yang digarap oleh mereka. Mereka adalah Anggun Priambodo (Di Mana Saya?, 2008);  Ariani Darmawan (Sugiharti Halim, 2008), film ini menceriterakan protes seorang perempuan etnis cina yang harus mengganti namanya dari nama Cina menjadi nama Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan Keppres nomor 127/U/Kep/12/1966 mewajibkan WNI etnis Cina mengadopsi nama Indonesia yakni Liem menjadi Halim.
                Selain itu ada juga Otty Widasari (Kemarin, 2008). Ini merupakan film yang memotret mantan aktivis yang melihat hidup hanya sebuah proses biasa; masa muda, bersenang-senang, perkawinan dan menjadi orang tua. Tak ada yang istimewa sejak reformasi selain proses kehidupan yang berjalan tersebut. Terakhir ada Ucu Agustin yang menggarap film Belum Usai (2008). Film garapan Ucu Agustin ini merupakan kisah perjuangan Sumarsih, ibu Wawan, korban tragedi Semanggi I. Sumarsih tak henti menuntut keadilan lewat jalur hukum maupun hingga aksi damai.
                Selain itu, ada Nan T. Achnas, salah satu sineas perempuan Indonesia yang banyak disorot pada awal dekade 2000-an, terutama karena pengakuan internasional yang didapatkannya. Salah satu sutradara film Kuldesak (1998) ini sukses membawa film panjang perdananya, Pasir Berbisik (2001) di festival-festival film internasional. Bahkan, film ini menerima beberapa penghargaan di Deauville (Prancis), Singapura, dan tiga penghargaan dalam Asia Pacific Film Festival 2001 di Jakarta.[10] Karya-karya Nan selanjutnya adalah Bendera (2002), drama The Photograph (2007) yang mendapat penghargaan internasional, seperti NETPAC Award dalam Taipei Golden Horse Film Festival 2008 serta dua penghargaan di Karlovy Vary International Film Festival 2008 di Republik Ceko.
                Selain itu, kemunculan sutradara yang unik seperti Upi (dahulu Upi Avianto) menjadi warna tersendiri dalam dunia perfilman. Sebab, karya-karyanya banyak berkarakter maskulin, rebelious, dengan hiasan visual vintage dan musik yang keras (Kecuali 30 Hari Mencari Cinta yang rilis tahun 2003). Tengok saja ‘Realita, Cinta, dan Rock n Roll’ (2005), Radit dan Jani (2008), Serigala Terakhir (2009) serta film komedi-lagia Red Cobex (2010) dan sebuah film thriller Belenggu (2013), yang juga sempat ikut serta di Puchon (Bucheon) International Fantastic Film Festival 2012.
                Jika membicarakan kuantitas, maka Lasja Fauzia Susatyo merupakan salah satu nama yang sering terdengar. Sutradara yang mengawali karier di bidang video musik ini telah menyutradarai enam film, sebagiannya berhubungan dengan musik, selain terlibat dalam dua film omnibus Perempuan Punya Cerita (2007) dan Kita versus Korupsi (2012). Beberap contoh karyanya yang lain adalah Lovely Luna (2004), Dunia Mereka (2006), Langit Biru (2001) dan Mika (2013).
                Viva Westi, salah seorang sutradara perempuan yang memiliki ragam teman dan genre dalam filmografi dI Indonesia. Ia menciptakan berbagai genre film tanpa berfokus pada salah satunya. Langkah Viva sebagai sutradara dimulai cukup menjanjikan ketika bergabung dengan Garin Nugroho dalam dokumenter tentang dampak tsunami Aceh, Serambi (2005), yang sempat masuk segmen Un Certain Regard di Festival Film Cannes 2006, Prancis. Namun, rupanya Viva juga sempat mencoba “ikut arus” dengan mengarahkan film horor Suster N: Dendam Suster Ngesot (2007), dan horor komedi Pocong Keliling (2010). Untung saja bakat sejati Viva untuk membuat karya “penting” tidak benar-benar hilang. Terbukti dengan film tentang dampak kerusuhan Mei 1998, May (2008) yang sukses meraih dua Piala Citra FFI 2008.
                Sutradara teater panggung Ratna Sarumpaet juga sempat menelurkan versi film Jamila dan Sang Presiden (2009) yang dibintangi putrinya sendiri, Atiqah Hasiholan. Film ini berhasil menerima satu penghargaan di Asia Pacific Film Festival 2009 di Taipei dan NETPAC Award di Asiatic Filmmediale 2009 di Roma, Italia, selain memperoleh enam nominasi Piala Citra FFI 2009 dan didaftarkan jadi wakil Indonesia di Oscar 2010. Untuk generasi yang lebih muda,  ada pengarang Djenar Maesa Ayu yang menggarap adaptasi karya tulisnya sendiri, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008).
                Aktris Lola Amaria kini juga  lebih sering duduk sebagai sutradara. Karya perdananya, Betina (2006) memang diputar gerilya dan jarang terekspos. Namun, film keduanya, Minggu Pagi di Victoria Park (2010) sukses menuai pujian dan dinilai berhasil dalam mengangkat kehidupan tenaga kerja wanita Indonesia di Hong Kong. Film ini berhasil menyabet Sutradara Terbaik Film Indonesia di JIFFest 2010T. Karya Lola yang lain adalah Kisah 3 Titik (2013) tentang kehidupan buruh perempuan. Ada juga Titin Wattimena, yang awalnya seorang penulis skenario akhirnya memulai debut penyutradaan penuh dalam Hello Goodbye (2012). Film yang tayang perdana di Busan International Film Festival 2012.
                Kemunculan sutradara muda perempuan bertalenta dan berprestasi di Indonesia seakan tak pernah berhenti. Misalnya saja sineas independen Sammaria Simanjuntak  lewat film debutnya tentang cinta beda suku dan agama, cin(T)a (2009), yang sukses meraih Piala Citra FFI 2009 untuk Skenario Asli Terbaik. Sambutan lebih hangat pun didapat lewat film keduanya, Demi Ucok (2013), lagi-lagi berhasil meraih sebuah Piala Citra ditambah tujuh nominasi lainnya dalam FFI 2012. Belum lama ini juga ada film Indonesia pertama yang berhasil ikut kompetisi ajang film independen terbesar di dunia, Sundance Film Festival 2013 di Utah, Amerika Serikat. Film itu adalah Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta (2013), karya sutradara Mouly Surya. Sutradara muda lainnya Kamila Andini (putri dari Garin Nugroho) mendapat pujian untuk film debutnya, The Mirror Never Lies (2011). Film yang mengangkat kehidupan masyarakat Bajo di kawasan Wakatobi, Sulawesi Tenggara ini meraih dua Piala Citra FFI 2011, ditambah penghargaan khusus untuk Kamila sebagai Sutradara Baru Terbaik. Pun film ini mendapat gelar Film Terpuji di Festival Film Bandung 2012.
                Ada pula novel RECTOVERSO karya Dewi Lestari diangkat dalam film layar lebar dengan format omnibus, yakni penggabungan beberapa film pendek. Lima perempuan menjadi sutradara film ini, yakni Marcella Zalianty, Olga Lydia, Cathy Sharon, Rachel Maryam dan Happy Salma. Novel RECTOVERSO sendiri berisi 11 cerita, namun hanya lima cerita yang diangkat ke film layar lebar yakni Malaikat Juga Tahu (Marcella Zalianty), Curhat Buat Sahabat (Olga Lidya), Firasat (Rachel Maryam), Hanya Isyarat (Happy Salma) dan Cicak di Dinding (Cathy Sharon).[11] Selain itu, seorang sutradara film independen, Dwi Sujanti Nugraheni dengan garapan filmnya yang berjudul memborong penghargaan Jogja-NETPAC (Network for the Promotion of Asian Cinema) Asian Film Festival atau JAFF 2013.[12] Film ini merupakan salah terobosan terbaru dalam dunia perfilman Indonesia karena memadukan keilmuan antropologi -- yaitu studi etnografi dalam penggarapannya. Selain itu, penggarapan film ini juga sangat lama, sekitar empat tahun lamanya.

Dwi Sujanti Nugraheni


                Dari sekian banyak prestasi sutradara perempuan di Indonesia, belakangan ini salah seorang sutradara perempuan asal Blitar mampu bersaing dengan film-film Hollywood kenamaan lain. Ia adalah Livi Zheng yang menyutradarai film Brush with Danger. film laga yang disutradarai Livi, tercatat sebagai salah satu film yang memenuhi syarat untuk masuk dalam nominasi oscar. Untuk benar-benar masuk nominasi Oscar, film ini masih harus bersaing dengan ratusan film lain.[13]
Livi Zheng


                Berbicara tentang sutradara perempuan, tentu terkadang kita berpikir bahwa cerita yang diangkat oleh mereka selalu bertemakan perempuan. Dalam hal ini, tema tentang perempuan muncul dalam dua proyek Kalyana Shira Foundation. Perempuan Punya Cerita (Nia Dinata, Upi, Fatimah Ronny dan Lasja Fauzia) mengumpulkan 4 kisah berbeda dengan perempuan-perempuan yang diperdayai dan ditipu dalam sebuah dunia yang patriakal. Sedangkan pada Pertaruhan (Ani E. Susanti, Iwan Setiawan, Lucky Kuswandi dan Ucu Agustin) bercerita tentang perempuan-perempuan yang tak bisa mengendalikan tubuh mereka sendiri dan harus tak berdaya menghadapi kenyaaan tersebut. Kedua film ini lahir dari mekanisme pendanaan non-komersial, tapi tetap diputar di bioskop-bioskop komersial. Film yang memang dirancang dengan muatan kampanye ini cukup berhasil mengantar narasi yang kuat tanpa semata-mata menjadi film propaganda.
                Membaca peradaban sutradara perempuan dan kontribusi mereka dalam dunia film membuka seluas-luasnya perspektif perempuan yang dibingkai dari perempuan sendiri. Kontribusi sutradara perempuan di Indonesia dalam dunia film turut serta dalam mengembangkan perfilman Indonesia dencan cara mereka sendiri – cara kaum perempuan. Dalam hal ini, seringkali sutradara perempuan dicap sebagai pegiat feminisme. Beberapa diantaranya mengamini, tetapi yang lain menolak mentah-mentah karena alasan tertentu           Nia Dinata sebagai salah satu sutradara Indonesia yang identik dengan tema perempuan bisa dipandang sebagai tokoh yang menggunakan konstruksi feminisme pada film Indonesia. meskipun acapkali (masih) ditemui beberapa strereotip perempuan, namun pada akhirnya Nia mampu membawa pesan feminisme tersebut. Ia menyebut dirinya sebagai  seorang Pembuat Film Feminis yang humanis. Sedangkan Nan T. Achnas, secara tegas menyebut dirinya sebagai seorang feminis. Identitasnya sebagai seorang perempuan menjadi latar belakang gagasan filmnya. Sutradara lain, Arie, tidak mau menyebut dirinya feminis karena gender bukan lagi suatu hal yang harus dipermasalahkan. Lain lagi dengan Ratih, ia tidak disebut feminis karena bukan seorang Lesbian.[14]





[1] Diskusi Public Lecture JAFF 2014 “Women Perspective on Cinema”, menghadirkan pembicara David Hanan (periset dari Australia), Novi Kurnia (periset), Olin Monteiro (penulis, editor, produser film dokumenter), dengan moderator Dyna Herlina (periset). Diskusi diselenggarakan di Bentara Budaya, Selasa 2 November 2014.
[3] http://sri-w--fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-91520-kom%20dan%20filsafat-Stereotype%20Perempuan%20(yang%20dilanggengkan)%20dan%20Perjuangan%20Untuk%20Melepasaknnya%20Dalam%20Film%20Indonesia.html
[4] Diskusi Public Lecture JAFF 2014 “Women Perspective on Cinema”.
[5] http://www.kikipea.com/2014/12/perempuan-dan-perfilman-indonesia.html?m=1
[7] Sumber: LSF
[8] Sumber: LSF
[9] Bagi penulis, istilah Bapak merujuk pada budaya patriarkat. Di mana untuk menunjukkan suatu kesuksesan digunakan terminologi yang mengarah pada otoritas dan superioritas laki.
[10] Lih. http://www.muvila.com/movies/featured/sutradara-perempuan-penggerak-sinema-indonesia-masa-kini-130508c-page1.html
[11] Lih. http://www.kapanlagi.com/showbiz/film/indonesia/lima-sutradara-perempuan-garap-rectoverso.html
[14] Novi Kurnia dalam Kuliah Kajian Film tanggal 8 Oktober 2014 bertempat di Jurusan Ilmu Komunikasi- FISIPOL UGM.


Sumber foto :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/23/Nan_Triveni_Achnas.jpg
http://cdn.klimg.com/muvila.com/resources/news/2014/11/23/4780/592x342-nia-dinata-industri-film-indonesia-sudah-survive-1411234.jpg
http://www.rudolfdethu.com/wp-content/uploads/2011/11/Mirles.jpg
http://www.martialartsmoviejunkie.com/wp-content/uploads/2014/08/Brush-with-Danger-5.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJFQaZsfk2YD0AtsAfCkag5rPJvAaGSoYYg4jDoG9dNNbhgKxqKh8Q9FLX3dYOKsrt42170XwNEk4fSzATRvxxug5fqw3NgQ3kp4UsusEDBCp2thLcubBOlc6AV-64HbYuaDols9VSvw/s1600/IMG_3430a.jpg

Comments

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi