Cita-Cita




Jangan-jangan, cita-cita yang mulia itu sangat sederhana. Jangan-jangan cita-cita yang agung itu hanya ditempuh sejangkah hati dengan menggedornya.


Kali ini saya mau berbagi sedikit cerita mengenai cita-cita, masa depan dan lain hal sebagainya. Kadang, sebagian dari kita selalu bertanya, sebenarnya cita-cita yang mulia itu yang bagaimana? Apa yang harus kita lakukan hingga akhirnya kita menempuh jalan dan proses yang baik? Menjadikan diri kita melangkah pada cita-cita yang mulia?

Kita pasti fokus pada profesi. Karena cita-cita memang erat kaitannya dengan profesi dan pekerjaan. Kita melihat suatu profesi dan pekerjaan dari banyak latar belakang. Tempat, gaji, jabatan, dan prestise-prestise lainnya.

Lalu apa sajakah cita-cita yang mulia?
Mungkin guru, karena mereka pahlawan tanpa tanda jasa yang menggemggam kebodohan menjadi puing-puing emas.
Atau mungkin dokter? Mereka adalah perantara kesembuhan bagi banyak manusia.
Ataukah mungkin polisi? Pelindung manusia di dunia fana?
Sebenarnya profesi apa yang paling menggenggam makna paling mulia?

Hal ini juga menjadi pertanyaan saya belakangan ini. Berhubung saya akan menempuh pendidikan yang lebih spesifik, saya selalu berpikir apa yang harus saya tempuh? Apa yang harus saya ambil? Apa tujuan saya? Tujuan yang menjadikan cita-cita yang saya impikan menjadi salah satu cita-cita yang mulia.

Semua orang pasti terpikir tentang mimpi dan cita-cita. Siapa yang mau lelah mengejarnya. Selalu saja ada alasan untuk menggapainya, entah itu logis atau pun tidak. Namun kadang, logika kita memang tidak tahu diri. Dan ketidaktahu dirian inilah yang membuat saya senang. Senang, karena orang mau bilang apa pun. Saya tetap tidak tahu diri untuk menggapai semua itu.

Nah, sekarang saya sudah punya mimpi. Saya sudah punya cita-cita. Tapi lagi-lagi, terpikir oleh saya. Apakah cita-cita saya itu mulia. Apakah mimpi saya ini agung? Saya diam. Saya garuk-garuk kepala. Nggak tahu kenapa, saya kalau bingung, garuk-garuk kepala.

Tapi, suatu hari, garuk-garuk kepala saya berhenti (?). Waktu itu saya lagi nonton sebuah acara musik di TV. Acara itu membawa bintang tamu anak-anak berbakat dari sebuah ajang menyanyi. Dan ada juga satu anak lagi, dia jadi MC di sana. Mendadak terkenal karena ajang menyanyi tersebut. Dia memang nggak lolos ajang bergengsi itu. Namun, siapa sangka rejekinya ternyata di tempat lain.

Waktu itu si MC yang dewasa, sebut saja O menanyai hal sakral yang setiap anak pasti punya banyak jawaban. Membuat kaum golongan tua berdecak kagum dengan semangat mereka.

O : Kalian kan sekarang jago nyanyi, nih. Emang kalau sudah pada gedhe kepengen jadi apa?

Dimulai satu-persatu anak-anak itu menjawab. Dengan lantang, tanpa goyah, penuh ambisi dan semangat. Sangat bernada tegas, menunjukkan keakuan mereka masing-masing. Cita-cita siapa yang paling bergengsi, paling mulia.

A : Saya ingin menjadi Penyanyi, Penulis dan Sutradara.

Wuiiih…. Jawaban pertama dari sang anak berbakat ini memborong tiga cita-cita sekaligus!

B : Saya pengen jadi dokter dan guru TK.
C : saya pengen jadi arsitek dan penyanyi.
D : Saya ingin menjadi polisi.
E : Saya ingin menjadi artis terkenal.
F : Saya kepengen jadi pengusaha.
G : Kalau saya pengen jadi guru dan penyanyi.

Benar. Macam-macam cita-cita yang mulia terlontar dari mulut kecil mereka. Mengagung-agungkan mimpi mereka. Dengan nada penuh ambisi yang kuat. Dengan keyakinan tanpa keraguan sedikit pun! Benar-benar menakjubkan. Anak-anak yang hebat. Baru berusia dini namun sudah punya arah dan tujuan. Mereka dengan bangga mengucapkannnya. Dengan bangga memberikan iming-iming harapan yang hebat tentang itu semua.

Kemudian si MC O ini beralih ke anak ingusan yang tidak lolos ajang bakat menyanyi. Anak yang rejekinya teralihkan. Anak yang kepinginannya tidak tersampaikan.

O : Kalau kamu cita-citanya apa?
Sekilas, anak itu hanya terdiam. Menatap malu-malu ke arah MC O. Terlihat tidak yakin dan tidak seambisius anak-anak sebelumnya, yang beberapa memborong banyak profesi.

Anak itu akhirnya mengaku. Mengutarakan cita-citanya. Dan dengan polosnya dia menjawab, “Saya kepengen naikin haji emak,”

Diam. Studio di salah satu TV swasta itu diam. Saya yang nonton pun juga cuma bisa diam. Melongo. Garuk-garuk kepala nggak jelas. Serius, nggak ada yang salah sama kulit saya. Saya Cuma salah tingkah mendengar penuturan bocah tersebut. Jujur, sewaktu saya dengar, saya kepingin nangis. Di antara ribuan anak yang sudah berpikir serumit dan semenakjubkan itu, dia lahir di antaranya. Membawa kesederhanaan, membawa cita-cita yang begitu mulia. Dengan polos mengutarakannya.

Di antara nada-nada penuh ambisi, dia lahir dengan keramahan. Di antara banyak keangkuhan, dia berlaku dengan semangat kerendahan hati yang tak ternilai. Dengan senyum malu-malu. Hanya bilang dengan nada yakin di dalamnya, punya tekad menaikkan haji ibunya.

Saya malu seketika. Saya nggak tau apakah anak-anak yang datang dengan penuh ambisi di sana, yang mengharapkan kemenangan itu, juga akan malu mendengar penuturan teman sebaya mereka yang sangat sederhana. Namun di balik kesederhanaannya dia mampu membuat semua orang membisu.

Ah, ternyata begini toh. Anak ini membuat saya sadar, sadar bahwa semua profesi (halal) itu sebenarnya mulia. Tergantung tujuan dan niatnya. Seperti anak itu. Yang ada dalam hatinya adalah membuat ibunya naik haji. Tidak peduli apakah dia (besok) adalah seorang arsitek, penyanyi, dokter, guru, penulis atau apalah. Dia meyakini jati dirinya yang sesungguhnya.

Bukan status tujuannya. Bukan pula gaji yang besar. Hanya sebuah keinginan sederhana yang terkadang lalai dari benak kita. Niat tulus dari seorang anak kepada orang tuanya. Pernyataan yang begitu menggergaji hati nurani kita. Balas budi.

Anak itu, setidaknya telah mengingatkan saya ketika dulu. Bukan tentang apakah saya nanti. Tapi bagaimana saya nanti. Apakah saya akan tetanp menjadi saya yang pekerja keras tanpa toleransi, ataukan pekerja keras dengan hati yang selalu berisi?

Saya berharap semoga cita-cita anak itu terkabul. Cita-cita yang begitu mulia. Semoga anak itu mendapatkan kemudahan dalam menjalaninya. Seorang anak yang lahir dari kegagalan dalam ajang menyanyi yang diselenggarakan. Teralihkan rejeki baru. Seorang anak biasa – dengan cita-cita sederhana yang ternyata jauh lebih luar biasa daripada kedengarannya.

Sederhana memang selalu membuat seseorang menjadi luar biasa. Multitafsir memang, bisa iya dan bisa tidak.

Namun  ternyata, jika kita memandangnya lagi, keinginan luar biasa ternyata  sesederhana itu.

Jangan-jangan, memang benar, cita-cita yang mulia itu – sungguh sederhana. Tidak peduli siapa. Tidak peduli apa, niat baiklah yang melandasinya. Mungkin iya, dan mungkin juga tidak. Saya hanya berharap, ini menjadi pelajaran besar bagi kita. Di antara kita, banyak yang selalu memikirkan tentang profesi dan segala tetek bengeknya. Tentang status dan prestise di dalamnya. Jangan sampai terdokma jabatan, bung.  Kita mulia dengan niat kita yang mulia. Dengan tujuan kita yang berharga, tidak peduli gaji dan jabatan kita. Jika kita bertujuan baik, maka kita telah menjadi orang-orang yang bercita-cita mulia.

Sekali lagi, ini mungkin iya. Dan mungkin tidak. Saya hanya membantu kalian semua membuka mata. Tentang kesederhanaan yang tertanam itu. Semoga jadi pembelajaran. Semoga tertanam kuat di hati kita. Semoga menjadi landasan baru; tentang makna cita-cita mulia yang sebenarnya. Terserah apakah kita nanti. Apakah jabatan kita, seorang direktur atau hanya office boy. Berapakah gaji kita, puluhan juta dalam sebulan atau hanya ratusan ribu. Seorang pengusaha atau hanya buruh. Jika profesi kita memang dilakukan dengan cara yang benar, tentulah kita adalah orang yang sebenarnya-benarnya. Tak peduli, apakah kita beringin yang kokoh, atau hanya rumput liar di pinggir jalan.

“Berdoalah. Karena rejeki kita ada di dalamnya. Berada di tangan Tuhan. Memintalah, Tuhan pasti memberikannya. Karena rejeki kita telah dijatah. Lakukanlah dengan baik. Berniatlah yang mulia. Niscaya, kemudahan pasti akan mengiringi kita,”

Wallahu’alam. Subhanallah.
Lamia Putri Damayanti, Mountain Pirates.

sumber gambar :  http://fc08.deviantart.net/fs48/i/2009/192/2/5/Just_a_Dream____by_enricoagostoni.jpg

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

Berkunjung ke Rumah Teman