[Cerpen] Mata Ganda


Sudah lebih dari dua bulan ini aku dan dia menjadi bahan olok-olokan satu kelas, bahkan, hampir satu angkatan. Semua teman bilang kami cocok, dan mereka sering menjodoh-jodohkanku dengannya. Apapun peristiwa dan kondisi yang ada, teman-teman pasti akan mengait-ngaitkannya. Entah itu relevan atau tidak.
Seperti saat ini, ketika aku dan dia secara tidak sengaja masuk ke dalam kelas secara bersamaan. Semua orang yang sedang sibuk menyalin peer langsung tergerak untuk melihat apa yang tengah terjadi.
Semuanya bersorak, meneriakiku dan dia, serta bersiul-siul. Tidak laki-laki tidak juga perempuan.
“Wah, wah, berangkat bareng nih? Pasti ada apa-apa, deh!” celetuk seseorang membuatku hanya tersenyum kecut. Sedangkan dia menunduk malu sambil membenarkan kacamatanya.
“Udah jadian, ya? Wah, cie-cie, makan-makan, nih!” sambut yang lain, dan kemudian mereka semua berkotek tiada henti. Saling bersahut-sahutan membentuk harmoni bullying sejati.
“Nggak ada tempat duduk yang kosong lagi ya?” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Tuh, di samping Ganda!”
“Cie-cie-cie… Duduk bareng nih, yeee…” aku hanya menghela napasku secara pelan dan panjang  kemudian duduk di samping dia.
Dia masih tampak menunduk. Dan kemudian aku berbisik kepadanya, “Udah nggak apa-apa. Santai aja kali. Nggak usah didengerin, aku aja nggak terlalu masalah, kok!” kataku sambil nyengir dan serentak ia langsung menatapku tajam dari balik bingkai kacamatanya.
***
Namanya Suganda Atmaja, biasa dipanggil Ganda. Nama yang tidak hits lagi di zaman seperti ini. Namanya kalah pamor dengan nama-nama seperti Alex, Harold, dan Gerald.
Ganda berasal dari sebuah desa terpencil di dekat kotaku, dia mencari ilmu sampai ke kota. Dia rela tidak serumah dengan kedua orangtuanya untuk mendapatkan ilmu di zaman yang sepelik ini.
Menurutku sendiri, Ganda bukanlah sosok pemuda yang buruk. Dia berpenampilan rapi, dengan sisiran rambut ke kanan. Kacamatanya agak besar, dan dia gemar menunduk. Yah, entah apa yang ia cari di bawah sana.
Awal mula semua kejadian ini, hanyalah karena hal sepele. Sangat sepele. Hanya karena aku memanggilnya untuk mengerjakan tugas bahasa Indonesia, karena aku satu kelompok dengannya. Waktu itu sepulang sekolah, kelas ramai dengan soal-soal fotokopi yang belum dibagikan. Di tengah-tengah keramaian itu, sempat-sempatnya aku berteriak kepada Ganda, “Gan, aku tunggu di perpus, ya,”
Dan aku tidak menyangka, hanya karena hal sesepele itu, semuanya melebar jauh. Semua anak yang tengah ramai langsung berhenti membahas soal-soal fotokopi yang beum dibagikan. Semua mata menatapku dengan lurus saat itu. Dan sejurus kemudian, siulan panjang terdengar. Kata sakral godaan menyebar.
“Ciee… cieee… Ihiiiiy!!!”
Tapi saat itu aku tak peduli aku langsung bergegas keluar kelas dan menuju perpustakaan untuk mencari-cari buku referensi yang tepat untuk tugas bahasa indonesiaku dan Ganda.
Sampai sekarang, aku masih tidak menyangka, hal ini menjamur dan teman-teman sekelas selalu berusaha membuatku dan Ganda bersama atau terlihat bersama. Aku sih, cuek-cuek saja. Toh, lama kelamaan pasti akan menghilang sendiri. Tapi, sepertinya tidak dengan Ganda. Ia semakin hobil menunduk dan menunduk.
***
“Vera Almira,” panggil Pak Bin, guru matematika yang terkenal sistematis dengan penulisan eksata matematikannya. Di balik kacamatanya, aku bisa melihat kilatan matanya yang berkilauan. Memanggil serta memaksaku untuk melahap soal matematika yang tidak kumengerti apa maksudnya.
Dengan gontai aku maju ke depan. Menatap dengan lamat-lamat soal di papan tulis. Sesekali aku menoleh ke belakang, berharap mendapatkan klu dari teman-teman.
“Suganda Atmaja, nomor berikutnya,” panggil Pak Bin lagi, membuat suasana menjadi riuh tinggi. Sementara kulihat Ganda berjalan maju dengan pandangan ke bawah. Ia terus saja menunduk, nampaknya dia tidak khawatir kacamatanya akan terlepas dari daun telinganya.
“Cie-cie, jodoh nih!” celetuk seseorang memancing sorakan-sorakan lainnya. Aku menjadi semakin buyar dengan soal yang ada di depanku. Aku semakin buntu dengan segala akar permasalahan yang ada di depan.
Pertanyaan apa dan bagaimana semakin datang beruntut dan berbuntut. Sementara kulihat Ganda dengan pandangan tegak mampu menyelesaikan soal matematika itu dengan lancarnya. Sepertinya, hanya kepada soal-soal berangka saja yang tidak akan membuatnya menunduk.
“Gan! Gan!” panggilku setengah berbisik membuatnya spontan menoleh ke arahku dengan gelagapan. Spidol yang berada di tangannya sampai terjatuh ke lantai.
“Ganda grogi, ya?” teriak salah seorang temanku yang lagi-lagi menimbulkan suara berisik menyebalkan. Tapi aku tidak peduli, paling-paling juga nanti semua orang akan lupa dengan sendirinya. Sementara Pak Bin hanya senyam-senyum sendiri seolah mengingat masa mudanya.
“Udah Gan, nggak usah didengerin. Kamu bantuin aku aja, ngerti nggak cara ngerjainnya gimana?” tanyaku setelah dia mengambil spidolnya. Pandangan matanya yang terhalang kacamata tampak fokus melihat soal yang ada di depanku.
“Emm… itu, bukan pake cara parsial tapi cara substitusi. Nilai yang pangkatnya besar dimisalkan ‘u’, terus diturunin,” ujarnya runtut walau agak terbata-bata. Aku mengangguk-angguk sok mengerti. Padahal, pada akhirnya aku menyusahkan dia dengan menahannya di depan kelas untuk mengajari soal mematikan ini. Walaupun soal yang dia kerjakan sudah selesai dengan sempurna sekalipun.
Dan hari itu, semua orang tampak semakin senang menggoda dan memberikan kami siulan. Tapi, pada hari itu juga – entah mengapa aku merasa sangat senang diajari oleh Ganda.
Ya, entah mengapa. Tiba-tiba banyak prediksi dan ekspektasi yang bertebaran di benakku. Ada sebuah pertanyaan yang aku ingin ada jawabannya.
***
Hari ini, ada yang berbeda dari penampilan Ganda. Sangat berbeda. Membuat orang berlagu-lagu oleh penampilannya hari ini yang cukup membuat orang menarik napas panjang.
Rambutnya yang biasa tersisir rapi dengan belahan ke kanan, tampak agak berantakan membuat dia kelihatan lebih muda. Dan, kacamata yang sering bersantai di daun telinganya, kandas entah kemana. Yang ada, adalah sepasang mata Ganda.
“Penampilan baru buat narik perhatian Vera ya, Gan?”
Ganda langsung menunduk sambil berjalan tak tentu arah, kadang dia menabrak meja atau kursi yang berada di depannya. Dia tampak celingak-celingukan mencari tempat duduk kosong dengan menyipitkan kedua matanya. Yah, sayang, aku tak dapat melihat matanya secara utuh seperti yang aku duga jika ia tidak menunduk.
“Duduk sini aja, Gan,” ujarku spontan – tanpa aku duga juga. Membuat Ganda menjadi salah tingkah dan kelas menjadi semangat karena memiliki bahan baru untuk olok-olokan.
“E-eh, b-boleh ya?”
“Tinggal sini aja kali Gan yang kosong,” ujarku sambil menepuk bangku yang kosong itu. Dengan ragu-ragu ia duduk di tempat duduk itu,
“Kamu pake softlent Gan?”
Dia menggeleng. “Kacamataku rusak,”
“Jatuh?” dia hanya mengangguk.
“Salahmu juga sih kebanyakan nunduk, jadi mlorot kan kacamatanya. Hahahaha,” kataku terbahak sambil menepuk punggungnya. Bukannya membalas olokanku dia malah mengangguk-angguk seperti orang bodoh.
“Tapi aku lebih suka kamu yang kaya gini , Gan. Keliatan hidup! Hahaha,” ujarku tertawa, sementara dia berhenti menganggu-angguk. Lirikan matanya tampak dimiringkan ke samping untuk melihatku.
Tapi memang, aku suka Ganda yang seperti ini.
***
Suasana kelas tampak ribut dan berantakan. Peer fisika yang harus dikumpulkan hari ini menjadi biang keramaian di dalam kelas. Semua orang tampaknya tidak ingin mendapatkan masalah hanya karena sebuah peer yang tidak terselesaikan. Dan tentunya, tidak ada yang mau berhadapan dengan sosok paling antagonis seantero sekolah.
Aku kelimpungan sendiri, karena semua daftar anak pintar di kelas buku peernya telah dipinjam oleh beberapa anak untuk disalin. Padahal, aku baru mengerjakan tiga nomor dari duabelas nomor!
“Emm, Gan, kamu udah ngerjain peer fisika belum?” tanyaku pada Ganda yang baru saja datang. Kedatangannya begitu menyilaukan. Ia tampak seperti harapan yang – pasti – akan membantuku menyelesaikan peer fisika ini.
“Eh, udah, Ver. G-gimana? Mau pinjem ya?” tanyanya dengan tetap menunduk. Ada kacamata baru yang terpasang di wajahnya. Menutupi matanya yang sepasang. Ia seperti orang bermata ganda.
“Boleh kan?”
Dia langsung mengambil sebuah buku dengan sampul garis merah putih dan menyerahkannya kepadaku. Dengan penuh suka cita, aku langsung duduk di sembarang bangku kosong dan mulai menyalin peer fisikanya.
Aku buka satu persatu halaman demi halaman. Aku amati dan aku cermati dengan seksama. Berusaha memahami eksakta alam ini. Tapi, sepertinya ada kalimat non angka yang tidak berhubungan erat dengan eksata. Bahkan tidak ada kaitannya dengan fisika maupun sains.
Sungguh berbeda – jauh.
Aku baca terus. Aku baca berulang kali sampai mataku terus pegal. Aku bolak-bali buku Ganda. Tak peduli, bukunya akan semakin lecek.
“Ver, aku pinjem bukunya sebentar ya. Ada satu nomer yang aku salah hitung,” tiba-tiba Ganda sudah berucap di belakangku. Kami saling berpandangan. Mata kami saling bertautan. Ganda salah tingkah, ia menunduk, tapi matanya mencari jejak ketidakharmonisan ini.
“V-v-vera?” ujarnya terbata-bata. “I-i-itu… itu… itu…” dia berusaha mengambil buku peernya, sementara aku menarik buku itu dari jangkauannya.
Mataku menatap lurus ke arah matanya. Membuat ia gelgapan dan salah tingkah. Matanya bergerak ke sana-kemari.
Kemudian, aku mengembalikan buku itu dengan hati-hati kemudian tersenyum ke arah Ganda, “Dasar mata Ganda,” ujarku sambil meninggalkannya. Membuat banyak pertanyaaan pasti berbekas pada benak Ganda.
Tapi setidaknya pertanyaan yang dulu menghantuiku, kini terjawab sudah. Prediksiku tepat. Dan ekspektasiku, bukan hanya angan-angan.
***
Dear Vera,
Mungkin kamu tidak pernah tahu. Bagaimana mata ini selalu mengawasimu dari balik bingkai kacamata ini. Mungkin kamu tidak mengerti bagaimana mata-mataku memahami setiap bagian dari dirimu.
Ah, biarlah. Biarlah, kamu tak bisa membaca mataku. Mata gandaku yang mengganda-gandakan makna sehingga kamu tak bisa menemukan maksudnya.
Tapi, Vera, jika mataku hanya sepasang – dan tidak berganda. Bacalah baik-baik perasaan mata ini, bahwa mata ini, pasti mengatakan, “Aku mencintaimu,” ****

  (Dimuat di Majalah Kawanku, edisi 148)

Alhamdulillah, my second short story had published in the same magazine. Hope others get same destiny :). Big Thanks to ALLAH :3 Sekedar cerita, temen-temen dan keluarga saya yang baca cerpen ini langsung tanya, "Based on true story, ya?" Sekalian klarifikasi, nggak kok, ini bukan based on true story. Cuma terinspirasi. Nggak lebih. Ini cuma fiksi. kalau ada tokoh yang sama, atau ada diantaranya merasa dimasukkan ke dalam plot. Beruntunglah, kalian ikut terkenal.  Sekali lagi. Ini fiksi. Cuma terinspirasi. Ciri khas cerita labil.


Lamia Putri Damayanti, Mountain Pirates

Comments

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika