Lumpuhnya Etika dan Media Penyiaran di Indonesia

               Regulasi penyiaran dan etika Penyiaran jelas merupakan dua hal yang berbeda. Namun, keduanya saling berkesinambungan dan tidak terpisahkan. Etika penyiaran sendiri merupakan derivasi dari adanya peraturan (regulasi) penyiaran tersebut. Ketika peraturan ditetapkan, tentunya ada moralitas yang harus dibawa sebagai landasan dalam menetapkan dan mengimplementasikan praktik-praktik regulasi.


            Sebelum menerjemahkan etika penyiaran, ada baiknya kita memahami terminologi etika itu sendiri. Banyak kalangan yang mengaitkan etika dengan profesi atau pekerjaan yang memerlukan kepercayaan dari masyarakat dalam prosesnya, sehingga perlu adanya sistem yang mengatur tata krama pengerjaan profesi tersebut. Etika dalam dunia komunikasi sendiri ada yang mendefiinisikan sebagai standar dan peraturan moral untuk pekerja profesional media yang harus diterapkan dalam berbagai situasi. Etika menjadi pegangan utama bagi para pekerja media di luar regulasi dan kebijakan pemerintah yang bersifat formal. Etikalah yang memandu komunikator mengenai bagaimana seharusnya mereka berperilaku dalam berbagai situasi, di mana kegiatan mereka mungkin mempunyai dampak negatif terhadap orang lain. (Yuliniar Luthfaida : 2011)[1]
            Etika dapat dimengerti sebagai pengetahuan tentang moralitas yang mencakup prinsip-prinsip moral dan aturan-aturan kerja (The Concise Oxford English Dictionary dalam Frost, 2013: 10)[2]. Sementara itu, media penyiaran adalah media yang mempergunakan ranah dan milik publik seperti radio dan televisi yang mempergunakan frekuensi (Siregar, 2014: xxviii). Frekuensi menjadi bahasan yang penting dalam media penyiaran karena sifatnya yang merupakan public sphere dengan jumlah yang terbatas (scarce). Berbeda dengan media cetak yang tidak menggunakan ruang publik, media penyiaran lebih rumit dalam hal regulasi dan pengaturannya, termasuk di antaranya, etika-etika yang membatasinya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Denis McQuail[3]bahwa lembaga penyiaran merupakan institusi yang kompleks karena karakter gandanya sebagai institusi sosial yang berdimensi politik, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan.



         

      Dalam hal ini kita dapat mendefinisikan etika media penyiaran sebagai kesadaran moral mengenai kewajiban-kewajiban lembaga penyiaran dan mengenai penilaian lembaga penyiaran tersebut mengani baik buruk serta benar salah. Di Indonesia etika media penyiaran terangkum dalam P3SPS, Kode Etik Jurnalistik serta Kode Etik Pariwara. Adapun regulasi media penyiaran adalah aturan-aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan yang mengatur hubungan dan operasinal penyiaran. Regulasi sangat penting bagi keteraturan dan keseimbangan hubungan media dengan pemerintah, masyarakat, sesama industri media dan global media. Regulasi Penyiaran di Indonesia sendiri adalah UU Penyiaran No. 32 tahun 2002. Dalam hal ini, sudah jelas kiranya perbedaan antara etika dan regulasi media penyiaran. Etika penyiaran adalah suatu hal yang bersifat moralitas, nilai, dan norma dalam melaksanakan pengelolaan penyiaran. Etika, dalam hal ini merupakan tata perilaku kita sebagai seorang manusia yang membatasi diri dari tindakan yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sementara regulasi penyiaran adalah seperangkat aturan yang menjadi landasan pengelolaan penyiaran. Regulasi memberikan batasan-batasan yang komprehensif dan substansial mengenai apa itu penyiaran.
            Etika Penyiaran adalah suatu hal yang penting untuk ditegakkan karena menyangkut moralitas masyarakat. Sebagai lembaga publik, tentunya apa yang disiarkan oleh  lembaga penyiaran, baik publik, komunitas, maupun lokal akan memberikan dampak terhadap norma-norma dan nilai dalam kepribadian masyarakat. Dalam hal ini, media sebagai instrumen masyarakt yang dapat mempengaruhi massa dapat menggeser nilai-nilai tersebut. Ada enam alasanyang dikemukakan oleh Drs. Dedy Djamluddin Malik, M.Si, mantan Wakil KoordinatorBidang Informasi dan Komunikasi Komisi I DPR RI[4]yaitu:
1.      Industri penyiaran mempunyai tanggung jawab sosial kepada publik.Tanggung jawab ini ditentukan dan diatur oleh sistem nilai yang berlaku diIndonesia. Tanpa adanya etika yang menentukan nilai-nilai yang berlaku diIndonesia, industri penyiaran kita bisa bebas memuat konten apa saja.
2.      Industri penyiaran adalah bidang profesional yang membutuhkan kompetensilewat pengalaman dan pendidikan. Standar profesionalitas seseorang atausebuah profesi ditentukan dari keberadaan kode etik yang mengatur etikasuatu profesi.
3.      Efek media penyiaran lebih besar daripada media cetak dalam mengubahperilaku khalayak. Hal ini sesuai pula dengan data dari AGB Nielsen yangmenemukan bahwa penetrasi televisi di masyarakat Indonesia mencapaiangka 94%, angka yang luar biasa “mengerikan.”
4.      Bidang penyiaran menggunakan ranah publik yang langka. Karena sifatnyayang langka ini, maka media penyiaran harus diberdayakan sebesar-besarnyabagi kepentingan publik. Etika disini berperan dalam pembatasan pemberian. frekuensi, yang sayangnya masih belum dilakukan dengan baik olehpemerintah sebagai pengelola frekuensi itu sendiri.
5.      Industri penyiaran saat ini merupakan industri bisnis yang menjanjikan. Tanpaadanya etika yang membatasi what’s okay and what’s not okay, eksploitasikonten dalam media penyiaran dapat dimanfaatkan untuk kepentingankepentinganekonomi semata.
6.      Sikap kritis dan selektif masyarakat saat ini masih langka karena masihminimnya pendidikan literasi media. Media penyiaran sebagai media massayang tingkat penetrasinya paling besar memiliki segala kemampuan untukmemanipulasi dan mengontrol massa, maka urgensi adanya etika yangmembatasi pekerja media terlihat disini.
            Selain itu penegakan etika penyiaran juga terkait dengan prinsip-prinsip keanekaragaman dalam media yaitu prinsipdiversity of content (keberagaman isi) dan prinsip diversity of ownership(keberagaman pemilik) serta prinsip diversity of value (keberagaman nilai) yangmenjadi derivasi dari prinsip keberagaman isi, dimana konten-konten yang dimuatharuslah bervariasi dengan tidak hanya menekankan pada satu atau dua nilai yangdianut oleh sebuah masyarakat saja, sehingga media penyiaran dapat sungguh-sungguhmenjalankan tugasnya untuk mencerahkan khalayak melalui pemberitaanpemberitaanyang cerdas dan mengedukasi.

            Dari paparan diatas dapat terlihat bahwa pengaturan etika dalam mediapenyiaran penting untuk diadakan. Frekuensi sebagai hak milik publik, seharusnyatidak bisa dibeli dan/atau didominasi oleh beberapa kalangan tertentu.
            KPI menyampaikan bahwa sudah menjadi tugas KPI sebagai pengawas dari penyiaran dan menindaklanjuti apa yang dilaporkan olehmasyarakat. Wewenang KPI adalah memberikan teguran administratif dengan teguran tertulis. Langkah pertama yang KPI lakukan apabila ada masalah seperti itu adalah memberikan himbauan kepada stasiun televisi untuk mengedit,apabila dalam waktu yang telah ditentukan iklan tersebut tidak diedit maka akan jatuh sanksi. Sanksi diberikan tentunya merujuk pada peraturan yang ada danberlaku, salah satunya merujuk pada peraturan Permenkes 1787 tahun 2010, pasal 5 ayat M dan N, tidak boleh melibatkan promosi dalam bentuk apapun dalamtestimoni. KPI juga merujuk pada etika pariwara Indonesia, Badan Pengawasan Periklanan (BPP) Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) yangmemang dinyatakan dalam peraturan KPI sebagai pedoman standar penyiaran, setiap iklan harus menghargai etika pariwara Indonesia[5]
            Dalam menegakkan etika media penyiaran di Indonesia tentunya diperlukan stakeholder untuk mengontrol dan memutuskan kebijakan media penyiaran. Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan. 
            Dalam buku Cultivating Peace, Ramizes mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai stakeholder ini. Beberapa defenisi yang penting dikemukakan seperti   Freeman  (1984) yang mendefenisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan  Biset (1998) secara singkat mendefenisikan stekeholder  merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagaimana dikemukakan  Freeman (1984), yaitu  dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap issu,  Grimble and Wellard (1996), dari segi  posisi penting dan pengaruh yang  dimiliki mereka.





            Dalam dunia penyiaran, stakeholder orang yang memiliki peran dan pengaruh terhadap keputusan kebijakan. Dapat dikatakan stakeholder media penyiaran adalah mereka yang memiliki peran, tanggung jawab, dan wewenang dalam pengambilan ketuptusan. Stakeholder adalah pemangku kepentingan, jadi stakeholder adalah mereka yang memiliki kepentingan dalam dunia lembaga media penyiaran. Stakeholder dalam dunia penyairan antara lain adalah KPI, Pemerintah, Menkominfo, Dewan Pers, LSF, dan publik (masyarakat). Selain itu juga terdapat LSM-LSM yang peduli terhadap media dan literasi media. Contohnya saja Remotivi, Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA), Yayasan Tifa, dan LSM-LSM lainnya yang bergerak khususnya di lembaga media penyiaran.
            Untuk mampu menjadikan dunia penyiaran sebagai agen perubahan sosial, pengembangan kebudayaan berbasis kearifan lokal dan pembangunan bangsa, harus ada regulation of fairness yang memuat prinsip objektivitas, imparsialitas, dan akuntabilitas agar tercipta dunia penyiaran yang sehat dan hubungan yang seimbang dan dinamis antar-stakeholders  (pemangku kepentingan) yakni KPI, pengelola industri penyiaran, pemerintah, dan publik/masyarakat.[6] Harus terdapat hubungan yang harmonis diantara KPI dan Pemerintah (Khususnya Menkominfo), KPI dengan Dewan Pers, KPI dengan LSF, serta KPI dan Publik. Kesemuanya harus saling berelasi untuk menyamakan kepentingan dan mengambil keputusan yang tepat mengenai etika-etika dalam media penyiaran.
            Etika Penyiaran memang sudah disusun sebagai landasan moralitas dalam program siaran lembaga penyiaran. Namun,  sampai saat ini praktik etika penyiaran masih belum sempurna. Pelanggaran kode etik terus saja terjadi dan hanya mendapat sanksi berupa teguran. Tentunya hal tersebut membuat kalangan pegiat lembaga penyiaran tetap bandel dalam proses siaran. Sehingga, banyak sekali kasus-kasus pelanggaran etika penyiaran yang terulang kembali karena sanksi masih minim.
            Beberapa hal terkait pelanggaran etika penyiaran adalah sebagai berikut, yaitu pelanggaran informasi, pelanggaran (penyalahgunaan) frekuensi publik,  pelanggaran konten (isi) dan lain hal sebagainya. Media penyiaran menjadi salah satu sumber informasi utama bagi masyarakat Indonesia. Sayangnya, tujuan yang terdengar sangat berharga itu tidak dibarengi dengan rasa tanggung jawab dari pemilik media. Para penguasa frekuensi melakukan berbagai cara supaya televisi dan radio yang dimiliki juga memberikan manfaat bagi kalangan terbatas. Salah satu caranya adalah melakukan berbagai modifikasi informasi yang akan disampaikan.


TRans TV Menyiarkan acara pernikahan Raffi ahmad dan Nagita

            Selain itu, terjadi juga monopoli informasi yang menampilkan satu bahasan secara berlebihan sehingga bisa dianggap telah melanggar hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang beragam. Salah satu contoh yang belum lama terjadi adalah prosesi pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita yang pertama kali dipelopori oleh Trans TV pada 16 dan 17 Oktober 2014 kemudian RCTI mengikutinya untuk bagian resepsi.
            Sebelum prosesi dilaksanakan, stasiun TV tersebut telah memberikan porsi lebih untuk menayangkan pra acara pernikahan Raffi dan Gigi. Namun parahnya, pada 17 Oktober 2014 Trans TV menyiarkan prosesi secara live dengan durasi sekitar 17 jam. Atas perbuatan ini, KPI kemudian melayangkan surat teguran tertulis dikarenakan pemakaian durasi acara tidak wajar dan tidak memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik frekuensi. Sanksi yangdijatuhkan adalah tidak boleh menayangkan re-run serta tidak diperkenankan untukmengulang praktik semacam itu lagi.

            Selanjutnya pada tanggal 12 Desember 2014, pasangan Anang-Ashanty juga melakukan hal yang serupa. Namun, dalam hal ini konteks yang disiarkan adalah proses persalinan Ashanty secara live. Fenomena ini kontan saja mendapat berbagai macam reaksi yang keras. Beberapa orang bahkan menyatakan ketidaksetujuannya melalui media online. Tanggal 16 Desember 2014, KPI akhirnya menegur Anang-Ashanty.

           

KPI seharusnya bersama Pemerintah menyelaraskan konten siaran berdasarkan pada etika sehingga memberikan manfaat kepada publik sebagai pemilik sah frekuensi siaran seolah masih sangat mudah dihiraukan. Selain itu, hak masyarakat atas informasi yang benar dan bermanfaat telah banyak terampas di level ini. Kepemilikan Frekuensi – sekali lagi harus kembali dikukuhkan sebagai milik publik.


            Berbicara mengenai persoalan frekuensi, salah satu kasus yang menjadi sorotan publik adalah terganggunya pilot pesawat dengan musik-musik dangdut yang bocor dari frekuensi radio komunitas. Tentu saja hal ini dapat mengancam keselamatan penumpang dan awak pesawat. Keberadaan radio komunitas yang kurang diperhatikan membuat radio tersebut tidak memiliki alat yang memenuhi standar. Beberapa radio komunitas menggunakan alat rakitan yang tidak memenuhi syarat keamanan. Akibatnya frekuensi radio komunitas sering berubah-ubah dan bocor ke frekuensi penerbangan. Permasalahan bocornya frekuensi ini dipicu oleh munculnya beragam radio komunitas yang tidak mengantongi izin. Munculnya radio komunitas yang tidak berizin ini didukung oleh faktor sulitnya mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengudara. Jika ditarik lebih jauh lagi, kesulitan mendapatkan izin disebabkan oleh keterbatasan ruang atau frekuensi untuk radio komunitas. Karena keterbatasan kanal itu, masyarakat menjadi tidak memiliki tempat untuk mengembangkan kreativitasnya. Padahal dikatakan sebelumnya bahwa radio komunitas memegang peranan yang begitu penting bagi perkembangan masyarakat.
            Terkait persoalan diversitas media penyiaran baik nilai, kepemilikan, maupun konten masih jauh dari yang diharapkan. Dominasi televisi swasta mampu mematikan televisi lokal. Ada begitu banyak pelanggaran terkait keberagaman kepemilikan media. Pada kenyataannya, pembatasan lembaga swasta pun tidak menghalangi ruang gerak mereka. Acuan pembatasan lembaga swasta yang diatur dalam pasal 18 ayat 1 yang mengatakan “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi,” seolah diabaikan oleh pihak lembaga penyiaran swasta itu sendiri. [7]
            Konten-konten yang terdapat dalam media penyiaran sangat homogen dan tidak mendidik. Publik sebagai pemegang kuasa penuh atas frekuensi rasa-rasanya dibodohi dengan tayangan-tayangan tidak penting. Padahal sebagai institusi yang melayani publik, konten siaran yang ditayangkan adalah yang substansial dengan kepentingan publik. Keberagaman isi siaran seharusnya dibuat selaras dengan semangat dan eksistensi kultur bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralis. Dengan kata lain faktor-faktor yang ada dalam budaya dan SARA (suku, agama dan ras) memiliki peluang yang sama atau memiliki derajat yang sama untuk mengembangkan diri melalui media penyiaran. Pengembangan ini tentunya didukung dengan konten-konten dalam penyiaran yang beragam dan sesuai dengan asas, tujuan, fungsi dan arah siaran yang ada dalam UU no. 32 Tahun 2002. Namun, pada kenyataannya masih banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran – khususnya swasta.
            Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran padadasarnya dirancang berdasarkan amanat yang diberikan Undang-undang Republik IndonesiaNo. 32/2002 tentang Penyiaran kepada Komisi Penyiaran Indonesia. Dalam Pasal 8 UU dinyatakan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia memiliki wewenang menetapkan Standar Program Siaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran, serta memberikan sanksi terhadap pelanggaran Standar dan Pedoman tersebut. Namun pelanggaran penyiaran itu sampai sekarang masih saja terjadi dengan cara terang-terangan dan dapat dikatakan dengan suatu kesalahan yang fatal. Biasanya terjadi dalam masalah kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan merupakan suatu hal yang umum dan biasa terjadi di dalam program-program televisi atau lainnya
           Masalah lainnya tentang pelecehan kelompok masyrakat tertentu, kata-kata kasar, makian, narkotika, alkohol, rokok, suku yang dipermainkan, ras yang diejek atau diolok-olok, agama, judi, tayangan supranatural korupsi, dan lain sebagainya. Segala pelanggaran media berupa apa pun itu sebenarnya dapat diatasi namun tidak dengan cara yang gampang tentunya. Salah satu jalan keluarnya adalah si penulis berita sudah seharusnya memperhatikan prinsip-prinsip kode etikjurnalistik, yakni menampilkan berita yang akurat, adil dan tidak berpihak pada bagian manapun dan bersifat netral. Tanpa dapat ditawar, lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program faktual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan (imparsialitas) Begitu juga perlakuan terhadap nara sumber.                     
           Dalam setiap program yang melibatkan narasumber, lembaga-lembaga penyiaran harus menjelaskan secara terus-terang, jujur, dan terbuka tentang sifat, bentuk, dan tujuan dari acara. Harus dipastikan narasumber sudah benar-benar mengerti semua hal tentang acara di mana mereka akan berpartisipasi. Pihak yang harus bertanggungjawab dalam hal terjadinya pelanggaran adalah lembaga penyiaran yang menyiarkan program yang mengandung pelanggaran tersebut. Dalam hal ini, walaupun lembaga penyiaran memperoleh atau membeli program dari pihak lain (misalnya Rumah Produksi), tanggung jawab tetap berada di tangan lembaga penyiaran. Demikian pula, kendati pun sebuah program yang mengandung pelanggaran sebenarnya adalah program yang disponsori pihak tertentu, tanggungjawab tetap berada di tangan lembaga penyiaran. Dalam hal program bermasalah yang disiarkan secara bersama oleh sejumlah lembaga penyiaran yang bergabung dalam jaringan lembaga penyiaran, tanggungjawab harus diemban bersama oleh seluruh lembaga penyiaran yang menyiarkan program bermasalah tersebut.
              KPI meminta agar publik tidak bias terhadap keberadaan mediaa yang saat ini salah menyiarkan maupun menayangkan informasi ke publik. Sebaiknya para penonton ataupun publik dapat menyaring dengan benar, mana yang baik dan mana yang kurang baik atau dapat kita katakan dapat menyaring informasi yang ada. Sebab kebijakan publik terhadap perkembangan media saat ini sangat lah diharapkan.
         Begitu juga tindakan lembaga penyiaran yang harus diperhatikan, yakni lembaga penyiaran dilarang menyiarkan secara langsung peristiwa kerusuhan atau perkelahian fisik yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat. Begitu juga dalam meliput dan menyajikan laporan tentan konflik antar kelompok masyarakat, lembaga penyiaran dilarang berpihak pada salah satu kelompok atau dengan sengaja menyajikan informasi yang dipercaya mampu menyulut kemarahan salah satu kelompok.[8]
         Sebetulnya prinsip etika penyiaran yang tercantum dalam media penyiaran sudah memenuhi standar dalam mengatur laju penyiaran. Namun, sayangnya hal tersebut tidak ditunjang dengan badan regulasi indepen yang mumpuni. Maksudnya, di sini adalah regulator media penyiaran masih mengalami dualitas. Artinya, belum jelas siapa yang sepenuhnya memiliki wewenang dalam menegur pelanggaran kode etik media penyiaran. Selain itu, perlu dirumuskan sanksi tegas untuk lembaga media penyiaran. Dalam hal ini, masih banyak kasus pelanggaran etika penyiaran yang berulang. Dapat disimpulkan lembaga penyiaran lain tidak belajar dari teguran tersebut. KPI bersama pemerintah seharusnya lebih tegas dalam kontrol dan pengawasan penyiaran. Jangan sampai lembaga penyiaran yang seharusnya melayani masyarakat, malah menjadikan publik sebagai omset iklan mereka. Selain itu, KPI dan pemerintah harus berani menunjukkan eksistensi pribadi mereka dengan sebagai salah satu badan yang lebih tinggi daripada lembaga penyiaran swasta. Sehingga, KPI dan pemerintah tidak lagi diremehkan.
         Adapun permasalah kekuatan lembaga penyiaran yang sulit ditundukkan adalah adanya dominasi kepemilikan. Sialnya, beberapa pemilik lembaga penyiaran adalah mereka yang  memiliki kuasa di tangan pemerintah. Untuk memperbarui konsep etika penyiaran memang perlu diperlakukan pembenahan yang intensif. Kalau perlu UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 harus direvisi setiap tahun agar relevan dengan konteks budaya populer yang berkembang setiap saat. Selain itu, aturan pelaksanaa yang dibuat berdasarkan UU Penyiaran harus sinkron dan tidak tumpang tindih. Jangan sampai persoalan etika penyiaran serupa dengan digitalisasi televisi yang masih belum jelas regulasinya.





[1]Ashadi Siregar. Etika Siaran Televisi. http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/etika-siaran-televisi.pdf, diakses pada tanggal 24 Desember 2014
[3]Sumber: www.kpi.go.id
[4]Laporan Hasil Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia dalam Rangka Hari Pers Nasional 2006, hlm. 99.
[7] www.kpi.go.id
[8] Chiara dkk. Etika Media Penyiaran. Presentasi Kelas.



Sumber Foto:

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxxpXiix6nRJbDKgNQcx-jnYoeivu4a-zRhTXEqxBEFhE3GOF9WTBCEaAMifoj1G2rXCP2jrqsOz3Hv9eghb550Gp5ADB5b9d0Md-FFr__qDRxD9Xda-1xVdr4zT6_4VBkStxTMsTaW1U/s1600/whitespace_broadband-1.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg3Y42sddInTK4n4jRBta_IrCnGU5FF4IfVnPY5yqgMG9wy23bHNohFs-sZuTGt-35kcDLliLPjq8pkYcXSOOq13A6iSIOSKhZyeaWBzxpi2Sj-l9unO4snDd_T-4Oh387zkLcTUV_OzV4/s1600/p1.jpg
http://img2.bisnis.com/bandung/posts/2014/03/26/505155/wartawan_inmagine_bisnisjabar2.jpg
http://daulatrakyat.co/wp-content/uploads/2014/08/TV-Digital.jpg
https://aws-dist.brta.in/2013-07/05ba8f04e79f0a9d26080f1af1ebe8bb.jpg
https://img.okezone.com//content/2014/10/17/33/1053471/LR9xbiR8ZP.jpg
http://assets.kompas.com/data/photo/2014/10/17/2234046rafi780x390.JPG
http://remotivi.or.id/sites/default/files/Frekuensi%20Milik%20Publik%20(yang%20bener).jpg

Comments

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi