Menimbang Ulang Rencana Pembangunan Bandara Kulon Progo

Pembangunan Bandara Internasional di Kulon Progo akan dimulai pada Mei 2016. Sementara itu, masyarakat Kulon Progo yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) tetap menolak. Kini, mereka tengah berjuang untuk masa depan anak-cucu mereka dan bumi pertiwi.


Lahan Pertanian di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo


Berada di bagian barat pesisir pantai Selatan Jawa, ombak-ombak yang berdebur akan memecah. Ombak yang pecah itu diakibatkan oleh bebatuan tetrapod atau alat pemecah ombak yang dipasang berjejeran. Mereka menjadi bulir-bulir air tatkala saling berbenturan. Di tempat itulah, kita akan menyaksikan pemandangan pantai yang unik dibanding pantai lain di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Tempat itu adalah  Pantai Glagah yang berada di Kecamatan Temon, Kapupaten Kulon Progo. Pantai ini  tepat dikunjungi saat matahari terbenam dan membiaskan cahaya pada bulir-bulir ombak yang terpecah oleh tetrapod tatkala keduanya berbenturan. Jika berwisata ke Pantai Glagah, kita  juga akan menjumpai banyaknya penjual semangka dengan harga relatif murah. Buah-buah itu merupakan hasil panen warga setengah. Rata-rata mata pencaharian utama warga Kecamatan Temon memang petani. Mereka menanam berbagai jenis tumbuhan, mulai dari tanaman palawija sampai sawah. Menurut penuturan Agus Supriyanto, salah satu warga Desa Glagah, semua jenis tanaman dapat tumbuh di wilayah ini. “Lahan di tempat ini memang produktif,” jelasnya.


Hamparan lahan pertanian berupa kebun cabai, melon, semangka, dan terong pun akan dengan mudah kita saksikan ketika menuju Pantai Glagah. Kita juga akan menjumpai petani Kulon Progo yang sibuk menggarap lahannya. Seperti yang terjadi pagi itu (17/03), suasana di Desa Glagah tetap sibuk dengan aktivitas pertaniannya. Beberapa petani tampak menyiangi tanaman dan memberikan pupuk.  


Sayangnya, aktivitas pertanian di Desa Glagah dan sekitarnya tidak akan bisa dinikmati lagi beberapa tahun ke depan. Sebab, Glagah dan lima desa lain yaitu Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebon Rejo, dan Temon Kulon akan dialihfungsikan menjadi bandara. Setelah kasasi dikabulkan oleh MA September lalu,  pembangunan Bandara Internasioal secara resmi telah ditetapkan di Kulon Progo. Meski begitu, aktivitas di desa Glagah dan kelima desa terdampak lainnya masih tetap sama.


Pemindahan bandara dari Yogyakarta ke Kulon Progo memang sudah menjadi wacana sejak  2011. Menurut keterangan Tommy Soetomo, Direktur Angkasa Pura, Bandara Adisutjio sudah tidak memungkinkan lagi untuk dipergunakan. Jumlah penumpang sudah melebih batas. Kapasitas Bandara Adisujito hanya bisa memuat 1,2 juta penumpang. “Namun, pada tahun 2013 jumlah penumpang  mencapai 5,6 juta,” ujarnya.




Masih menurut Tommy, bandara baru di Kulon Progo dapat memuat penumpang hingga 15 juta. Bandara yang akan dinamai Nyi Ageng Serang ini membutuhhkan lahan sebesar 637 hektar. Luasan itu disebut-sebut mencapai sepertiga dari Bandara Soekarno Hatta. Pembangunan bandara ini rencananya akan menghabiskan dana sebesar 7 triliun yang didapat dari berbagai mitra.





Berdasarkan hasil survei lapangan tim Feasiblitty Studies (FS) pembangunan bandara, Kulon Progo memang mendapat penilaian tertinggi. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah wilayah Kulon Progo yang luas, masih minim pemukiman, dan terletak di pesisir pantai Selatan Jawa. Namun, Tim FS juga menemukan beberapa kekurangan seperti adanya potensi gempa dan tsunami.




Tetap Menolak

Meski telah ditetapkan, warga akan tetap menolak pembangunan bandara karena akan merusak lingkungan dan menghilangkan lahan produktif. Warga pun sebetulnya telah menolak rencana pembangunan bandara sejak 2011. Penolakan ini kemudian menyatukan warga dari keenam desa tersebut dengan membentuk organisasi Wahana Tri Tunggal (WTT).


Sekitar 700 kepala keluarga tergabung dalam WTT. Kebanyakan mereka adalah masyarakat yang terkena dampak langsung dari pembangunan bandara. Selain pemilik lahan, banyak juga masyarakat luar daerah yang menggantungkan nasibnya di Kulon Progo.“Banyak masyarakat luar daerah yang bekerja menjadi petani penggarap dan pedagang di sekitar sini.,” ungkap Agus.  


Selain itu, warga WTT juga menyebutkan bahwa prosedur pembangunan bandara menuai banyak kecurangan terutama saat konsultasi publik. Sejak semula, pemerintah dan pengembang hanya menghitung suara warga yang hadir dalam konsultasi publik saja. Sehingga, warga yang absen tidak dihitung pendapatnya. Padahal menurut Agus, warga yang menghadiri konsultasi publik sengaja diarahkan untuk menyetujui proyek pembangunan bandara.


Purwinto, Ketua WTT demisioner, beralasan dengan menghadiri konsultasi publik artinya mereka menerima pembangunan bandara dengan syarat. Akhirnya, dua kali konsultasi publik warga WTT memilih tidak datang. “Kami memilih tidak datang karena menolak dan tidak ada kompromi. ” tegas Hermanto, salah satu warga Palihan.


Pada tahap sosialisasi pematokan yang lalu (23/11/15), Ari Yuwirin, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY mengklaim bahwa warga sudah ikhlas dengan pembangunan bandara. Dilansir dari liputan6.com, warga yang terdampak pembangunan bandara menyetujui adanya pembangunan. Padahal, saat itu WTT menegaskan bahwa mereka tidak mengizinkan jika lahan pertanian mereka dipatok.

"Tidak boleh dipatok"/@Lamia


Putusan Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY telah dikeluarkan sejak 31 Maret 2015 oleh Gubernur DIY. Namun warga yang tergabung dalam WTT menggugat Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tersebut. Awalnya, gugatan dimenangkan oleh WTT sehingga surat putusan tersebut dicabut oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). SK tersebut dinilai bertentangan dengan dengan Peraturan Daerah DIY Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DIY Tahun 2009-2029. Surat Keputusan tersebut dianggap melanggar Pasal 23 dan 51 Perda RTRW. Namun, peraturan mengenai RTRW sendiri langsung direvisi pada tahun 2012 sehingga pasal yang dilanggar sudah tidak ada lagi.  


Pemerintah DIY pun mengajukan kasasi kepada MA dan dikabulkan sehingga pembangunan bandara tetap lanjut. November tahun lalu sampai Maret 2016 adalah pengukuran lahan calon bandara. Proses ini tentunya mendapatkan perlawanan dari warga. Tercatat telah terjadi bentrok beberapa kali dan menimbulkan korban luka-luka  seperti yang terjadi pada 16 Februari 2016. “Pihak BPN membawa serta aparat yang jumlahnya ratusan saat itu. Dengan membawa aparat, saya kira hal itu sudah termasuk tindakan represif terhadap warga. Apalagi kini telah ada korban,” tutur Agus yang juga merupakan Humas WTT.


Menurut Ari Maret lalu (11/03), tim appraisal kini sedang dibentuk untuk menentukan harga ganti rugi lahan.  Namun ganti rugi itu pun juga menimbulkan gejolak karena nominalnya yang tidak sesuai. Warga yang awalnya mendukung beralih menjadi kontra. “Mereka (pro) ingin dibayar saat pematokan sebesar tujuh juta,” ujan Agus.








Kronologi Rencana Pembangunan Bandara



Meneropong Masa Depan



Aksi Pura-Pura Mati yang dilakukan oleh WTT pada (26/10/15)/ @Lamia


Sebagai dampak akan dibangunnya bandara, Bambang Tri Budi Harsono, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kulon Progo, menegaskan adanya ganti rugi layak yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah. Namun, warga Kulon Progo tetap menolak pembangunan bandara tersebut. Menurut Martono, keberadaan bandara tidak memberikan dampak positif bagi petani walaupun mendapatkan ganti rugi. “Kami tidak meminta ganti rugi atas lahan kami. Sebab, kami tidak menjualnya kepada Angkasa Pura dan kami akan tetap mengelolanya,” jelas Martono.
                                                                                

Keberadaan bandara jelas akan memberikan dampak yang besar kepada para petani di masa depan. Bambang Suwignyo, anggota LSM Dinamika, mengatakan bahwa kesejahteraan dan lowongan pekerjaan akan menjadi persoalan utama yang akan dialami oleh petani. Hilangnya lahan pertanian yang biasa mereka kelola tentu akan menyebabkan para petani kehilangan pekerjaan.  Mengantisipasi hal tersebut, Angkasa Pura telah memberikan jaminan pekerjaan di bandara. “Namun yang jadi pertanyaan, lowongan pekerjaan itu nantinya untuk siapa?” ujar Suwignyo.


Para petani pun pesimis akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan mampu menyejahterakan mereka. “Rata-rata petani hanya lulusan SD. Tidak mungkin jika kami ditempatkan pada posisi-posisi strategis seperti pilot,” jelas Agus yang juga merupakan Humas WTT. Angkasa Pura  juga menegaskan bahwa jaminan pekerjaan bagi para petani Kulon Progo diperuntukkan bagi mereka yang memenuhi kualifikasi. Adapun yang tidak memenuhi kualifikasi akan mendapatkan tawaran pekerjaan sebagai kuli panggul.


Mendengar hal tersebut, Agus pun semakin pesimis dengan kehadiran bandara. Menurutnya, bekerja menjadi kuli panggul tidak memberikan kesejahteraan sama sekali. Selain itu, sebagian warga yang telah memasuki usia tidak produktif tentu tidak akan mendapatkan pekerjaan di bandara. Ia juga meragukan bahwa pekerjaan tersebut akan mengakomodasi seluruh warga terdampak di Kulon Progo. “Memangnya yang bisa jadi kuli panggul berapa orang? Lagipula, pekerjaan kami ini sebagai petani, bukan buruh. Menjadi kuli panggul tidak akan membuat kami lebih sejahtera,” jelasnya.


Menanggapi hal tersebut, Ir. Aris Nugroho M. MA, Sekretaris Dinas Pertanian Kulon Progo menjelaskan, para petani masih bisa menggunakan keterampilannya untuk merawat rumput di bandara. Aris menjelaskan bahwa hal tersebut akan diakomodasi oleh Angkasa Pura. Tetapi, lagi-lagi WTT menyangsikan hal tersebut. “Merawat rumput tentu hasilnya tidak sebanding dengan mengolah lahan milik kami sendiri,” ujar Agus.


Menurut Aryadi Subagyo, Humas Angkasa Pura, wilayah Temon nantinya akan dijadikan Airport City.  Wilayah itu nantinya akan menjadi pusat industri, pusat perbelanjaan, serta tujuan wisata yang baru. Jika rencana ini diwujudkan, AB Widyanta, Dosen Sosiologi, mengkhawatirkan luas lahan pertanian yang dikonversi akan makin besar. Artinya, makin banyak orang yang harus beralih profesi. Menurutnya, harus ada antisipasi yang dilakukan jika bandara benar-benar dibangun. “Penyiapan warga untuk beralih profesi jadi pilihan terakhir yang harus diambil,” terangnya.


Selain persoalan alih profesi, masalah penggantian lahan juga menjadi kegelisahan para petani. Pasalnya, hingga kini Pemerintah Daerah belum memberikan kejelasan relokasi dan ganti rugi. “Kami akan tinggal di mana setelah itu? Sementara penggantian lahan membutuhkan proses yang lama,” ujarnya.  “Bandara sama sekali tidak memberikan kesejahteraan bagi kami,” lanjut Agus.

Melihat apa yang terjadi di Kulon Progo, Suwignyo mencontohkan kasus serupa yang terjadi di Lombok pada tahun 2006. Pembangunan bandara tersebut kini menimbulkan berbagai persoalan sosial seperti ketiadaan lowongan pekerjaan dan minimnya kesejahteraan. Warga yang dulunya menjadi petani beralih profesi menjadi pedagang asongan, bahkan pencopet. Melihat hal tersebut, WTT tentu tidak ingin mengalami hal yang sama. “Keinginan kami hanya satu, yaitu bertani!” jelas Martono. “Kami mempertahankan lahan kami bukan hanya untuk penghidupan tetapi juga masa depan. Masa depan anak-cucu kami dan masa depan bumi,” tegasnya.


Salah seorang petani mencoba menghalang-halangi pematokan./@Lamia


Referensi:
Kusnul Isti Qotimah dalam “Bandara Kulon Progo, Tim Appraisal Segera Terbentuk,” http://m.harianjogja.com/baca/2016/03/21/bandara-kulonprogo-tim-appraisal-segera-terbentuk-702756, diakses pada 15 Maret 2015
Lamia Putri Damayanti dalam “Celah Hukum Konversi Lahan Calon Bandara”, http://www.balairungpress.com/2015/10/celah-hukum-konversi-lahan-calon-bandara/, diakses pada 15 Maret 2015.
Lamia Putri Damayanti dalam “Kasasi Kabul, WTT Gelar Aksi 15 Hari”, http://www.balairungpress.com/2015/10/ma-kabul-wtt-gelar-aksi-15-hari/, diakses pada 14 Maret 2015.
Fathi Mahmud dalam “Pemerintah Janji Ganti Rudi Lahan Pembangunan Bandara Kulon Progo, terarsip pada http://news.liputan6.com/read/2376202/pemerintah-janji-ganti-rugi-lahan-pembangunan-bandara-kulonprogo, diakses 14 Maret 2015
http://print.kompas.com/baca/2015/06/24/Proses-Pengadaan-Tanah-Bandara-Kulon-Progo-Berhent

Sumber Ilustrasi:
Catatan:
1.       Daerah Istimwa Yogyakarta menganut sistem pemerintahan kerajaan. Oleh karena itu, pada beberapa wilayah terdapat tanah yang merupakan milik kerajaan. Tanah ini biasa disebut Sultanaat Ground dan Pakualaman Ground (SG/PAG).
2.       Semua foto adalah dokumentasi milik pribadi yang diambil saat liputan.
3.       Penulis mengambil beberapa ilustrasi di internet. Tetapi hanya mengambil ilustrasi pesawat saja yang digunakan untuk membuat infografis kondisi bandara AD dan Rencana Pembangunan Bandara baru. Untuk melihat ilustrasi tersebut dapat dilihat di tautan link.


Comments

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi