UU Penyiaran No. 32/2002: Produk Hukum yang Inkonsistensi terhadap Demokratisasi


            Runtuhnya rezim Orde Baru membawa Indonesia pada proses reformasi politik. Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 merupakan salah satu produk demokrasi yang lahir dari semangat penggebrakan otoritarianisme. Sebelumnya penyiaran di Indonesia diatur oleh UU No. 47/1997 dan berada di bawah naungan Departemen Penerangan. Namun saat rezim Orde Baru runtuh dengan ditandai likuidasi Departemen Penerangan tahun 1999, muncul ide untuk mengubah sistem otoriter ke demokratis dengan membawa kembali frekuensi ke ranah publik.[1] Setelahnya, perumusan revisi undang-undang serta pembentukan badan regulator yang independen diusulkan oleh Komunitas Penyiaran Indonesia (KPI).[2]
            Awalnya UU Penyiaran No. 32/2002 menjadi spirit dari sistem yang lebih demokratis. Terdapat lima indikator untuk mengukur sejauh mana undang-undang baru ini bersifat lebih demokratis, yaitu; (1) kehadiran KPI sebagai regulator penyiaran; (2) munculnya sistem siaran berjarinagan; (3) Dijaminnya keberadaan lembaga penyiaran komunitas dan publik; (4) pembatasan lembaga penyiaran swasta; dan (5) niatan mendorong lembaga penyiaran (utamanya televisi) lokal.[3]
            Namun telah lebih dari satu dekade sejak undang-undang tersebut muncul, kelima indikator tersebut masih belum diterapkan dengan sempurna. Demokratisasi yang diyakini akan terjadi melalui undang-undang tersebut mulai dipertanyakan karena pada beberapa kasus, sistem penyiaran kembali pada nilai-nilai otoritarian. Menyikapi hal tersebut, Wahyuni berpendapat bahwa asas dan prinsip sistem penyiaran yang seharusnya direalisasikan adalah sistem penyiaran demoktatis.[4] Sejalan dengan yang dikemukakan Wahyuni, Amir Effendi Siregar juga menyatakan bahwa UU No. 32/2002 akan mengubah arah sistem penyiaran. Sebelum reformasi, sistem penyiaran di Indonesia menganut otoritarianisme dan sentralistis. Munculnya UU Penyiaran no. 32/2002 menjadi landasan gerakan yang lebih demokratis dan desentralistis.[5]
            Namun pada kenyataannya beberapa klausul dalam undang-undang saling tumpang-tindih dan bahkan bertentangan dengan peraturan menteri (permen).[6] Permen No. 22 adalah salah satu contoh bentuk kontradiksi antara pelaksanaan undang-undang dan Permen. Isi Permen tersebut telah mengabaikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen yang mengatur siaran.
            Menyikapi persoalan yang demikian, dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi yang ingin dijalankan dari Undang-undang No. 32/2002 belum dapat terpenuhi karena belum sejalan dengan Permen. Padahal konsep mengenai penyiaran yang ideal telah ditetapkan dalam undang-undang penyiaran no. 32/2002. Dalam undang-undang tersebut telah memuat karakter dan prinsip pengelolaan media penyiaran.

Karakterisasi Media Penyiaran masih Belum Tercapai
            Karakter media penyiaran di Indonesia terdiri dari empat hal, yakni: (a) penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional (Pasal 6 ayat 1);  (b) dalam sistem penyiaran nasional tersebut, negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 6 ayat 2); (c) dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Adil dan terpadu yang dimaksud di sini dengan demikian adalah pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara daerah dan pusat (Pasal 6 ayat 3); (d) Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran. Komisi ini kemudian disebut dengan Komisi Penyiaran Indonesia (Pasal 7 ayat 1).[7]
            Keempat karakteristik tersebut menggambarkan bagaimana sebuah konsep media penyiaran seharusnya. Namun dalam implementasinya, berbagai lembagai penyiaran masih mengabaikan empat karakteristik tersebut dan belum mencapainya sebagai bentuk demokratisasi.    Satu sistem penyiaran nasional sendiri memilki makna bahwa penyiaran dilakukan dengan jaringan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Artinya, selain siaran harus bersifat nasional (mencakup konten lokal dan budaya setempat), penyiaran juga harus dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
            Sedangkan poin utama dalam karakteristik yang kedua menyinggung permasalahan frekuensi. Dalam hal ini, frekuensi adalah benda (milik) publik yang bersifat terbatas dan tujuan utama pemberdayaannya adalah untuk memakmurkan rakyat[8]. Artinya publik berhak memperoleh keuntungan sosial. Publik melalui lembaga yang mewakili mereka berhak menentukan perlu tidaknya suatu lembaga penyiaran dilahirkan, baik penyiaran komersial publik maupun komunitas.
            Namun, perdebatan mengenai frekuensi menjadi persoalan utama dari seluruh sikap dasar menyangkut regulasi penyiaran. Berkali-kali masyarakat mengalami kecolongan frekuensi tetapi tidak menyadarinya. Frekuensi yang seharusnya menjadi domain publik malah beralih menjadi kepentingan ekonomi dan politik sebagian kalangan elite dan pemilik modal untuk diperdagangkan dengan cara-cara kolutif, non prosedural, dan tidak transparan.[9]
            Padahal, UU Penyiaran No. 32/2002 telah membatasi penggunaan frekuensi demi menghindari praktik monopoli dan oligopoli dalam penguasaan media. Sebagaimana yang tertuang dalam UU penyiaran pasal 1 ayat 8, frekuensi seharusnya tak bisa diperdagangkan begitu saja.[10] Tetapi realitas yang ada tidaklah demikian. Kepemilikan frekuensi tetap saja berada pada segelintir kalangan elite dan pemilik modal. Hal ini terjadi karena UU penyiaran yang tersedia tidak mampu menghalangi hasrat pengusaha dalam berbisnis. Untuk memiliki frekuensi lebih dari yang ditetapkan, pengusaha dapat melakukannya melalui perdagangan saham. Dalam UU Perseroan Terbatas No. 40/2007 hal demikian tidak dilarang.[11]
            Persoalan frekuensi ini juga akan melatarbelakangi masalah sistem stasiun jairngan (SSJ) dan siaran Lokal. Keduanya merupakan karakteristik ketiga yang harus terdapat dalam media penyiaran di Indonesia. Telah disebutkan sebelumnya bahwa penyiaran dilaksanakan dalam satu sistem siaran nasional. Dalam hal ini yang memiliki hak penyiaran nasional ialah TVRI dan RRI.[12] Bagi lembaga penyiaran swasta harus menganut SSJ dan memuat siaran lokal sebagai salah satu pemenuhan informasi kedaerahan bagi masyarakat.
            Namun selama ini penyiaran di televisi swasta (nasional) sangat Jakarta-sentris. Padahal televisi sebagai salah satu dari perangkat media massa dibutuhkan dalam demokrasi jangkauan nasional yang mencakup berbagai daerah. Namun, berita “daerah” hanyalah berita yang dikirim oleh para wartawan kontributor di berbagai daerah ke Jakarta.[13] Proses informasi selalu berdasarkan bagaimana ‘orang-orang’ di Jakarta mengaturnya.
            Padahal dalam undang-undang penyiaran telah diatur bahwa konten siaran lokal setidak-tidaknya 10% dari seluruh siaran. Namun tidak ada ketentuan apakah siaran lokal harus diudarakan saat prime-time atau waktu-waktu tertentu. Yang jelas, kita dapat melihat bahwa siaran lokal selalu diletakkan pada jam-jam yang tidak produktif seperti pukul 02.00 dini hari. Bahkan beberapa lembaga penyiaran swasta tidak memuat siaran lokal.
            Beralih pada persoalan sistem stasiun jaringan (SSJ), Indonesia belum sepenuhnya dapat menerapkan konsep ini. Proses peralihan dari siaran nasional ke SSJ pun membutuhkan waktu yang cukup lama dan sempat tertunda. SSJ yang seharusnya telah dilaksanakan akhir tahun 2007, baru berjalan mulai awal tahun 2010. SSJ merupakan upaya menciptakan keragaman informasi media massa selayaknya merefleksikan struktur dan isinya sesuai dengan keragaman realitas sosial, ekonomi, dan budaya. SSJ berusaha agar stasiun jaringan tidak bersifat sentralistik di Jakarta saja. Namun juga di daerah-daerah lain sehingga masyarakat lebih banyak memiliki banyak variasi dalam memilih siaran. Namun dalam kenyataannya saat ini, SSJ masih dirasa sulit bagi institusi media penyiaran dan masih mengukuhkan siaran nasional dengan pusat di Jakarta.
            Persoalan Jakarta-sentris dan keterlambatan SSJ tidak semata-mata dikarenakan karena lalainya lembaga penyiaran swasta dalam mematuhi perundang-undangan. Ketimpangan dalam pelaksanaan siaran lokal juga diakibatkan masa lalu undang-undang yang kompleks. Kita mewarisi sistem dan regulasi lama (UU No. 24/1997) yang sangat berkebalikan dengan undang-undang baru (UU No. 32/2002).
            Berdasarkan undang-undang lama, stasiun TV swasta wajib berkantor pusat di ibukota negara, sehingga televisi nasional terkonsentrasi di Jakarta. Sementara Undang Undang baru justru mendorong munculnya penguatan daerah dengan keberadaan stasiun-stasiun TV lokal, beserta local content-nya.[14]
            Jika meninjau permasalahan yang didapat dari ketiga karaktersitik di atas, kita bertolak mengenai masalah pengawasan regulasi. Kehadiran KPI sebagai badan regulator merupakan salah satu refleksi demokrasi yang diusung UU No. 32/2002. Dalam sistem penyiaran yang demokratis, pengatur penyiaran tidak dilakukan oleh pemerintah, tapi lembaga negara yang independen.[15]
            Namun dalam implementasi yang sesungguhnya, undang-undang tersebut tidak melahirkan lembaga regulator yang progresif. Wahyuni menyatakan bahwa alasan utama adalah tidak terjadinya perubahan fundamental dalam hal regulator penyiaran.[16] Dalam hal ini, kita dapat memahami bahwa aktor dalam birokrasi pengawasan media penyiaran adalah orang-orang yang sama dengan sistem baru.
            Paulus Widiyanto, menyatakan bahwa KPI seharusnya mampu mengelaborasi hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang. Namun, dalam kenyataannya KPI tidak menjadi regulator yang tunggal.[17] KPI hanya berkutat pada sisi konten saja. Sementara perizinan tetap berada di tangan pemerintah. Adapun pemerintah diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) dalam mengatur perizinan siaran.

Sulitnya Mengimplementasikan Prinsip Pengelolaan Media Penyiaran
            Kesulitan implementasi prinsip pengelolaan media penyiaran terjadi karena tidak terlaksananya karakterisasi yang harus terdapat dalam media. Berdasarkan UU No. 32/2002, prinsip dasar pengelolaan media penyiaran adalah sebagai berikut:

                        ...prinsip penjaminan dari negara agar aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif bagi publik. Dalam hal ini, publik harus memiliki akses            yang memadai untuk dapat terlibat, memanfaatkan, mendapatkan perlindungan, serta           mendapatkan keuntungan dari kegiatan penyiaran. Guna mencapai keberhasilan dari             prinsip ini, juga dibutuhkan prinsip lain, yang secara melekat (embedded)      menyokongnya, yakni prinsip diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) dan       diversity of content (keberagaman isi) dari lembaga penyiaran. Dengan kedua prinsip            diversity ini diharapkan, negara dapat melakukan penjaminan terhadap publik melalui      penciptaan iklim kompetitif antar lembaga penyiaran agar bersaing secara sehat dalam   menyediakan pelayanan informasi yang terbaik kepada publik.[18]
           
            Prinsip-prinsip yang tertuang dalam undang-undang tersebut mencakup keterbukaan akses, partisipasi, serta perlindungan dan kontrol publik, diversity of ownership (keberagaman kepemilikan), dan diversity of content (keberagaman isi). Prinsip yang pertama memberikan peluang akses bagi setiap warga negara untuk menggunakan dan mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional. Pada prinsip ini mencakup persoalan tentang pemanfaatan frekuensi, penjaminan informasi, partisipasi dalam pembangunan nasional, serta pengawasan dan kontrol publik dari KPI.
            Sejauh ini, implementasi dari prinsip pengelolaan ini telah termanifestasi. Masyarakat saat ini mampu mengakses informasi melalui TV Swasta setiap hari selama 24 jam. Namun, pada hakikatnya kemudahan akses informasi yang diperoleh masyarakat adalah semu. Televisi – khsusnya swasta tidak mengedepankan informasi yang aktual dan dibutuhkan masyarakat. Televisi hanya berorientasi pada komersialisasi dan bisnis industri hiburan yang dilakoninya.
            Untuk mewujudkan prinsip pertama dibutuhkan diversity of ownership dan diversity of content. Keduanya merupakan konsep yang harus dipertahankan untuk menjaga demokratisasi media. Diversity of ownership ditujukan agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan modal (capital) dalam lembaga penyiaran, serta saat bersamaan diarahkan untuk mendorong adanya pelibatan modal dari masyarakat luas di Indonesia.  Sementara diversity of content berarti menjamin keberagaman isi siaran, yang selaras dengan  semangat dan eksistensi kultur bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralis. Artinya, berbagai kelompok budaya, etnik, agama, ras dan golongan mempunyai posisi dan peluang yang sama dalam penyiaran.
            Diversity of ownership dan diversity of content memang penting tetapi tidak cukup diterjemahkan hanya dengan keberadaan sebanyak-banyaknya lembaga penyiaran swasta di daerah, dengan pemilik yang beragam latar belakangnya. Sistem penyiaran yang demokratis tidak identik dengan sekadar jumlah stasiun televisi yang banyak dan dimiliki sembarang orang. Tetapi ada karateristik lain yang harus dipenuhi, yaitu quality of information and culture available to public. Dalam hal ini, kesimbangan antara jumlah media, kepemilikan yang beragam, dengan daya dukung ekonomi amatlah penting diperhitungkan agar kualitas isi terjaga.
            Dalam menyikapi persoalan keberagaman kepemilikan dan isi, karakter pengelolaan media penyiaran mengenai frekuensi sebagai ranah publik, sistem stasiun jaringan, dan siaran lokal harus terpenuhi. SSJ dan siaran lokal yang sampai saat ini belum terlaksana menjadi akar dari permasalahan keberagaman kepemilikan dan isi karakter. Stasiun TV berjaringan diarahkan menuju pada penghargaan diversity of culture.  Artinya setiap budaya diberikan hak untuk tampil. Selain itu, program siaran juga harus sesuai dengan etika yang tertuang dalam P3SPS. KPI, sebagai badan regulator harus mengawasai konten siaran sesuai dengan P3SPS yang telah ditetapkan.
            Jika menilik permasalahan kepemilikan, kita bisa menengok ke masa lalu bahwa dulunya media penyiaran di Indonesia dikuasai oleh kroni-kroni Soeharto. Tampaknya berbagai lembaga media penyiaran dimiliki oleh orang yang berbeda-beda. Namun pada kenyataannya, semua media penyiaran saat orde baru di bawah kuasa Soeharto dan antek-anteknya. Tidak berbeda jauh dengan sekarang, kepemilikan media hanya direngkuh oleh segelintir elite. Persoalan penyiaran yang lain adalah tentang monopoli media.
            Kini sepuluh stasiun televisi yang semestinya berjaringan namun bersiaran secara nasional, dimiliki semakin sedikit perusahaan karena pemindahtanganan kepada pihak lain. Pemindahtanganan ini terjadi pada stasiun televisi TV7 kepada pihak Trans Corporation yang sudah memiliki Trans TV, pemindahtanganan izin siaran TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) dan Global TV kepada pihak MNC yang telah mempunyai RCTI, pemindahtanganan Lativi menjadi TV One, dan mergernya Indosiar dan SCTV.
            Padahal Indonesia telah lama mempunyai aturan mengenai cross ownership media seperti yang termuat di dalam UU No. 32/2002 tentang penyiaran antara lain di pasal 20. UU tersebut juga telah memiliki aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.52/2005 tentang Penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan terdapat di pasal 35 mengenai pembatasan kepemilikan silang.  
            Permasalahan media penyiaran di Indonesia memang begitu kompleks dan mencakup banyak hal. Apalagi, permasalahan ini tidak hanya berakar pada satu persoalan saja. Namun persoalan ini lahir dari struktur yang pada awalnya sudah tumpang-tindih. Perubahan regulasi setelah reformasi yang berbanding terbalik dengan undang-undang yang baru juga menjadi faktor munculnya ketimpangan dalam regulasi media penyiaran. Hal ini dikarenakan undang-undang lama tetap mewarisi sifat otoritarianisme yang tertinggal dalam birokrasi pengelolaan media penyiaran. Sekali pun UU No. 32/2002 didaulat sebagai kelahiran demokratisasi media penyiaran di Indonesia. Undang-undang tersebut masih menyimpan banyak ambiguitas dan inkonsistensi antara ototitarian dan demokratis. Diperlukan revisi yang intensif agar UU No. 32/2002 benar-benar menjadi regulasi yang bersifat demokratis tanpa menyisakan sifat otoritarian.

Referensi:
Armanda, Ade. 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia (Semua Mengalir ke Jakarta), Yogyakarta: Bentang.
Judhariksawan. 2010. Hukum Penyiaran. Jakarta: Rajawali Press
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LkiS
Mc Quail, Denis., Mass Communication Theory, Fifth Edition, Sage Publication, London,
            Thousand Oaks, New Delhi, 2005
Pandjaitan, Hinca IP dan Amir Effendi Sieragar (eds.). 2003 Membangun Sistem Penyiaran yang Demokratis di Indonesia. Jakarta: PT Warta Global Indonesia.
Rianto, Puji. 2011. Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan. Yogyakarta: Yayasan Tifa.
__________dkk., 2012, Digitalisasi Televisi di Indonesia: Ekonomi Politik, Peta Persoalan, dan Rekomendasi Kebijakan. Yogyakarta: PR2Media-Yayasan Tifa
Sudibyo, Agus, 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. LkiS: Yogyakarta.

Jurnal:
Wahyuni, Hermin Indah, “Ekonomi Politik Kebijakan Penyiaran Indonesia: Aspirasi, Pilihan, dan Realitas”. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Vol. 10 No 2 (November 2006)
Siregar, Amir Effendi, “Melawan dan Mencegah Monopoli serta Membangun Keanekaragaman, Jurnal Sosial Demokrasi, Volume 3, No 1 (Juli-September 2008)

Daring:
Hidayat, Agung, Benturan Regulasi di Media Penyiaran dalam http://www.balairungpress.com/2013/02/benturan-regulasi-di-media-penyiaran/, diakses tanggal 18 Oktober 2014
Sudibyo, Agus, “Regulasi Penyiaran KPI atau Pemerintah” dalam http://agussudibyo.wordpress.com/2008/03/28/regulator-penyiaran-kpi-atau-pemerintah/  diakses pada 18 Oktober 2014.
Hanry Subiakto, “Televisi dan Regulasi Sistem Siaran Berjaringan” dalam http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70830-media-Regulasi%20Penyiaran.html, diakses tanggal 18 Oktober 2014
Ketentuan UU Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia dapat diakses di ww.kpi.go.id.




[1] Masduki, Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal (Yogyakarta: Lkis), hlm. 14
[2] Ibid., hlm. 114
[3] Puji Rianto, Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan, (Yogyakarta: Yayasan Tifa) hlm. 22-26
[4] Hermin Indah Wahyuni, “Ekonomi Politik Kebijakan Penyiaran Indonesia: Aspirasi, Pilihan, dan Realitas”. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Vol. 10 No 2 (November 2006), hal. 160
[5] Amir Effendi Siregar, “Melawan dan Mencegah Monopoli serta Membangun Keanekaragaman, Jurnal Sosial Demokrasi, Volume 3, No 1 (Juli-September 2008)
[6] Puji Rianto dkk, 2012, Digitalisasi Televisi di Indonesia: Ekonomi Politik, Peta Persoalan, dan Rekomendasi Kebijakan, (Yogyakarta: PR2Media-Yayasan Tifa),  hlm. 40.
[7] Lih. Ketentuan UU Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia dapat diakses di ww.kpi.go.id.
[8] Masduki, Regulasi Penyiaran: Dari otoriter ke Liberal (Yogyakarta: Lkis), hlm. 15.
[9] Agus Sudibyo, “Regulasi Penyiaran KPI atau Pemerintah” dalam http://agussudibyo.wordpress.com/2008/03/28/regulator-penyiaran-kpi-atau-pemerintah/ diakses pada 18 Oktober 2014.
[10] Lih. UU Penyiaran No. 32/2002 Pasal 1 ayat 8
[11] Agung Hidayat, Benturan Regulasi di Media Penyiaran dalam http://www.balairungpress.com/2013/02/benturan-regulasi-di-media-penyiaran/  , diakses tanggal 18 Oktober 2014.
[12] Puji Rianto, 2012, Dominasi TV Swasta (Nasional), Tergerusnya  Keberagaman Isi dan Kepemilikan, (Yogyakarta: Yayasan Tifa), hlm. 23
[13] Ade Armanda, 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia (Semua Mengalir ke Jakarta), (Yogyakarta: Bentang), hlm. 29.
[14] Hanry Subiakto, “Televisi dan Regulasi Sistem Siaran Berjaringan” dalam http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70830-media-Regulasi%20Penyiaran.html, diakses tanggal 18 Oktober 2014
[15] Hinca IP Pandjaitan dan Amir Effendi Sieragar (eds.) Membangun Sistem Penyiaran yang demokratis di Indonesia, (Jakarta: PT Warta Global Indonesia, 2003), hal 186.
[16] Hermin Indah Wahyuni, Op.Cit., hal 166.
[17] Puji Rianto, Loc.Cit.
[18] Lih. Ketentuan UU Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia dapat diakses di ww.kpi.go.id.


Catatan: Ditulis dan dikerjakan dengan sepenuh hati untuk tugas UTS beberapa waktu lalu. Dan diunggah ketika sedang mengerjakan tugas take home UAS Media Penyiaran (lagi). Dalam posisi inkonsistensi dan paradoksial.

Comments

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi