[Cerpen] Pulpen-Pulpen Kebingungan


Oleh Lamia Putri Damayanti

Suasana di dalam ruangan berbentuk segi empat tampak sepi senyap. Hanya ada gemerisik suara kertas yang dilepas dari kumpulannya. Secarik kertas putih terhempas kecil di atas meja persegi berwarna coklat. Ukuran kertas itu setara dengan kertas folio bergaris. Di dekat kertas putih itu terdapat kertas lain berukuran sama. Di dalamnya terdapat banyak kalimat yang diakhiri dengan tanda tanya. Penjelasan dari kalimat berakhiran tanda tanya tersebut harus diutarakan ke dalam kertas putih yang masih kosong.
Ttiga pulpen berwarna hitam, biru, dan merah tampak berbaring.  Mereka menatap langit-langit ruangan itu dengan wajah tegang.
Hari pengorbanan – sebut mereka.
Hari di mana, ujung kepala mereka akan ditekan dan mengeluarkan tinta tanpa ampun. Rasanya tidak sakit, hanya nyeri yang akan mendera tubuh mereka berhari-hari.
Satu di antara mereka, Pulpen Hitam tampak terangkat, dipaksa berdiri dan terayun sebentar kemudian bergerak lebih dekat ke arah kertas putih. Pulpen Hitam tampak melirik kertas putih itu sejenak – nampak ragu. Namun, tubuhnya terus terangkat menuju sang kertas putih, dan kini mereka sudah saling berhadapan. Sepintas, Pulpen Hitam sudah bergerak maju untuk menggoreskan tinta hitamnya pada kertas putih itu. Tetapi, belum sampai setitik tinta meresap di atas kertas putih tersebut, pulpen pertama bergerak mundur.
“Pulpen Hitam, mengapa tidak jadi kau sumbangkan tintamu untuk kertas yang tak bernoda ini?” Pulpen Biru tampak keheranan. Dalam pembaringannya, dia tetap serius memperhatikan pengorbanan yang akan dilakukan Pulpen Hitam. Dia yakin, sebentar lagi, ia akan melakukan hal yang sama.
“Aku tidak mengerti apa yang diceritakan oleh kertas ini. Aku tidak tahu tinta seperti apa yang harus kuberikan untuknya. Aku bingung. Aku harus berkorban hari ini,  tapi, aku tidak tahu, pengorbanan apa yang harus kuberikan.” jelas Pulpen Hitam. Ia bergerak semakin mundur. Guratan kebingungan terdengar menggelitik. Menguarkan berbagai pernyataan yang semakin membingungkan.
“Memang apa yang kertas ini bicarakan? Apa isi di dalamnya? Apakah gurauan? Ataukah seruan? Apa hanya sekedar pernyataan?” Pulpen Merah ikut bertanya-tanya.
“Aku tidak tahu.  karena itu, aku mengurungkan niatku untuk menorehkan tintaku di atas kertas putih itu. Aku takut, tinta yang akan aku goreskan ke dalamnya hanyalah kesia-siaan belaka. Aku tidak ingin menyakitinya dengan membuat coretan asal. Aku tidak ingin, kebingunganku membuat kertas putih itu bernoda tanpa makna,”
Pulpen Hitam berjalan mundur dan menggelindingkan tubuhnya ke arah Pulpen Biru. Ia kembali dalam pembaringan senyap.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Pulpen Biru sambil tetap menerawang ke langit-langit.
“Entahlah, mungkin kita hanya perlu menunggu kebingungan ini segera berakhir dan pengendali kita menemukan penjelasan dari semua ini dan mengambil salah satu dari kita.”
“Atau setidaknya, kita menunggu guliran waktu yang sudah ditentukan. Tiba saatnya nanti, kita pasti akan segera merelakan tinta kita,” tambah Pulpen Merah.
Beberapa menit berlalu, tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu dari pulpen itu akan diangkat menuju kertas putih yang hanya terdiam. Entahlah, tidak ada yang tahu pasti apa yang ada di dalam kertas putih itu. Semuanya masih kosong. Bersih tanpa pemikiran apapun. Tidak ada cerita di dalamnya. Tidak ada dongeng maupun legenda yang berkisah di dalamnya. Semuanya masih tetap dalam keadaan kosong. Sampai suatu masa, ketiga pulpen itulah yang harus menentukan cerita apa yang akan terhampar di sana.
Seharusnya, hanya dengan sedikit menyesuaikan tema, kertas itu akan dengan cepat terisi. Namun, pengendali mereka masih tampak segan untuk menguras tinta mereka.
Sampai akhirnya, pada guliran waktu ke duapuluh menit, Pulpen Biru harus menghadapi dunia nyata. Tubuhnya diangkat dan dibawa menuju kertas putih. Tubuhnya diputar seratus delapan puluh derajat. Kini, kepalanya menghadap kertas putih tersebut.
Dalam hitungan beberapa detik, kepala Pulpen Biru ditumbukkan ke arah kertas putih tersebut. Namun, tidak ada tanda-tanda, tintanya akan digoreskan lebih banyak. Dengan posisi terbalik seperti itu, Pulpen Biru dibiarkan begitu saja.
“Semua tintaku terkumpul di kepalaku, rasanya berat dan pening!” pekik Pulpen Biru. Dengan tiba-tiba Pulpen Biru dihempaskan di atas kertas putih tersebut dengan agak kasar. Seperti tercampakkan, Pulpen Biru berusaha menggelindingkan tubuhnya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Pulpen Hitam dengan cemas.
“Aku tidak apa-apa. Aku hanya bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan pada kertas putih itu. Kebingungan ini semakin menjadi-jadi.”
Pulpen Hitam dan Pulpen Biru menatap bengis ke arah kertas putih yang dalam detik ini masih tetap kosong. Tidak ada apapun di dalamnya. Hanya ada kebisuan.
“Giliranmu Pulpen Merah. Berikan dia ultimatum.”
“Aku tidak yakin,” jawab Pulpen Merah dengan tidak pasti. “Kalian tahu? Selama ini, akulah pulpen yang paling jarang digunakan. Aku jarang sekali digunakan untuk menulis. Aku jarang sekali mengorbankan tintaku. Tintaku hanya dianggap hiasan bagi mereka. Aku tinta terakhir yang digunakan,”
“Pulpen Merah, sekaranglah waktumu untuk menunjukkan pada seluruh pulpen-pulpen di dunia ini bahwa kau bukanlah pulpen yang jarang digunakan, kau bukanlah yang terakhir!” Pulpen Hitam tampak meyakinkan, walaupun Pulpen Merah masih meragu.
Namun, Pulpen Biru dan Pulpen Hitam terus meyakinkan Pulpen Merah. Kebingungan ini harus segera terjawab. Harus ada penjelasan dari semua ini.
Beberapa menit berdebat, Pulpen Merah akhirnya bangkit dari pembaringannya. Dengan ragu, ia mendekat ke arah kertas kosong tersebut. Kemudian melirik ke arah kertas lainnya yang berisikan banyak kalimat berakhiran dengan tanda tanya. Dengan seksama, Pulpen Merah memindai kertas satu dengan yang lainnya bergantian.
Pulpen Hitam dan Pulpen Biru tampak harap-harap cemas di belakang Pulpen Merah. Namun, Pulpen Merah tampak tidak bergeming dari tempatnya berada.
“Kau tidak memberikan apapun padanya?” tanya Pulpen Biru ketika tiba-tiba Pulpen Merah berjalan kembali ke arah mereka.
“Tidak,”
“Mengapa?”
“Aku memang ditakdirkan jadi yang terakhir menulis di kertas itu. Aku hanya bertugas menulis dua angka di sana. Sisanya, yang jauh lebih banyak, adalah tugas kalian,”
“Maksudmu?”
“Aku hanya memberi nilai, dan kalianlah yang dinilai,”
“Aku tidak mengerti, aku semakin bingung. Apa maksudmu?”
Pulpen Merah tampak menghela napas panjang, “Kalimat di sana bukanlah seruan, apalagi guraun, tapi pernyataan. Kalianlah yang berhak menjawab atas pertanyaan tersebut. Kalian tinggal menyesuaikan dengan tema pertanyaan yang ada. Kemudian, akulah yang akan menilai,” Pulpen Hitam dan Pulpen Biru tampak melongo. Masih kebingungan.
“Seharusnya aku tidak di sini, aku di meja guru,” Pulpen Merah tiba-tiba terangkat menjauh dari Pulpen Hitam dan Pulpen Biru yang masih kebingungan.
Pertanyaan apa yang harus dijawab? Tema apa yang dimaksud? Mereka masih bingung. Dan kertas putih itu masih terhampar dengan kekosongan.

***

Sedikit personifikasi, sedikit analogi. Semua kalian mengerti apa maksud terselubung cerpen ini. Hahaha. Masih enggak ngerti?
Ini maksudnya nggak bisa ngerjain soal ulangan. Tapi dibikin cerpen yang alay kayak begini.
Tau nggak kenapa aku bisa bisa bikin cerpen seabsurd ini?
Ini karena matkul dasar penulisan yang tiba-tiba aku dapet tema "Jawablah sesuai dengan tema,"
Njuk aku kudu nulis cerpen opo sik sesuai mbek tema kui? :")
Heeee???
Dan, maka, yang terjadi, terjadilah! Lahirlah para pulpen-pulpen kebinguna.


Comments

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi