[Cerpen] Reality Bite’s

Oleh : Lamia Putri Damayanti

Sudah hari kelima aku tidak masuk sekolah. Hari kelima. Dan, Sheila, gadis aneh, si murid baru yang beberapa bulan lalu datang, duduk di sebelahku, dan mengatakan akan berteman baik denganku tidak menjengukku sampai detik ini! Dia bahkan tidak menelepon, tidak mengirimiku pesan untuk sekedar bertanya bagaimana kabarku.  Menanyakan perkembanganku, atau apalah itu. Bahkan, ketika beberapa teman perwakilan kelas menjengukku lusa kemarin, dia tidak ikut. Dia tidak ada di antara mereka.
Dia menghilang setelah membuatku begini. Apa maunya? Dia yang membuatku sakit begini. Mengajakku menjadi panitia sebuah konser amal yang tidak jelas sampai malam. Gara-gara konser itu, kalung pemberian ibuku yang sangat kusayangi hilang.  Entah jatuh dimana, mungkin jatuh ketika Sheila menarikku ke sana ke mari. Aku heran, apakah konser sekonyol itu pantas disebut konser amal. Entahlah. Mungkin konser itu sama tidak jelasnya dengan keberadaan Sheila sekarang.
Dan tidak hanya itu, Sheila, si anak baru itu, yang katanya ingin berteman baik denganku disukai oleh Rama. Seseorang yang aku suka sejak aku masih SMP. Aku dengar, Rama mengajak Sheila pacaran. Aku tidak tahu, apakah Sheila menerimanya atau tidak. Tapi yang jelas, jika dia menerimanya, aku rasa dia bukan teman yang baik.
Juga tentang kemarin lusa, ketika perwakilan kelas menjengukku, mereka juga memberikan hasil ulangan beberapa minggu terakhir. Semua hasil ulanganku jelek. Semuanya masuk remedial. Semuanya. Dan semuanya karena Sheila, selama guru memberikan materi, dia terus mengajakku ngobrol. Aku hanya berbasa-basi menanggapinya. Aku tidak enak hati untuk menyela ceritanya yang dilebih-lebihkan itu.
Beberapa bulan Sheila menjadi murid baru di sekolah, dia berhasil merebut perhatian di sekolah. Menjadi anak yang easy going dan gampang bergaul dengan siapa pun. Tidak seperti aku yang pemalu dan menutup diri. Aku yang selalu berada di dekatnya seolah dianggap angin lalu. Hanya Sheila yang disapa sekali pun kami berjalan berdua di koridor sekolah.
Aku rasa, hidupku baik-baik saja sebelum kedatangan Sheila. Benar-benar sangat baik. Tapi kini, aku semakin tidak berarti. Dia pembohong dengan mengatakan akan menjadi teman baikku. Aku merasa dapat pengaruh tidak baik darinya. Dia membuat nilai-nilaiku turun, dimarahi dan dihukum guru, dia merebut Rama, dan membuatku sakit begini. Dan dia tidak menyesal. Dia tidak meminta maaf. Dia tidak mau repot-repot datang ke rumah, padahal sudah jelas dia tahu rumahku.
Aku rasa, aku pantas membencinya sekarang.
***
Sebelas hari setelah penyakit cacar mengganggu itu pergi. Aku sudah diperbolehkan masuk sekolah. Sebelum aku masuk kelas, aku berpapasan dengan Sheila. Dia menyapaku, tersenyum senang karena aku masuk sekolah hari ini. Dia pikir aku sakit karena siapa? Tapi aku tidak memedulikannya, aku berlalu pergi tanpa menggubrisnya sedikitpun. Dan hari ini, aku terpaksa duduk di sebelahnya – lagi. Padahal, aku sudah berusaha datang sepagi mungkin agar  tidak duduk di sebelahnya.
Hari ini, aku benar-benar tidak menghiraukannya. Namun, beberapa kali, aku tampak melihat Rama melintas di depan kelasku dan menyapa Sheila dengan gayanya yang sedikit urakan. Semua orang  di dalam kelas ikut melihat, terkadang menanggapi dengan ikut tertawa, bahkan memanggil Rama. Tapi ada juga yang mengabaikan.
Aku, tidak masuk keduanya. Aku hanya kesal – lebih tepatnya, cemburu. Satu sekolah dengan Rama hampir lima tahun, dan dia tidak menyapaku. Malah menyapa Sheila yang baru dia kenal. Aku melirik ke arah Sheila. Tampangnya biasa-biasa saja, dia bahkan cenderung tidak peduli dengan kehadiran Rama.
Suasana masih saja kaku, dia tidak memulai pembicaraan. Entahlah, hari ini dia tidak seantuasias kemarin. Sampai bel pulang berbunyi pun dia tidak mengajakku ngobrol. Dia tampak melamun sendirian. Seolah di situasi seperti ini, akulah pihak yang salah. Dan akulah yang harus memulai untuk memperbaiki semuanya dari awal.
            Kami masih saling diam, sementara aku melirik Sheila dalam diam. Beberapa anak berhamburan keluar kelas. Setelah kelas cukup sepi, kulihat Rama masuk kelas. Dengan cengengesan dia berjalan ke arah Sheila dan mengajaknya pulang bersama. Tapi Sheila menolak. Aku tidak mengerti mengapa Sheila menolaknya. Tapi yang jelas, aku tidak suka melihat kedekatan mereka. Mereka baru kenal beberapa bulan, tapi sudah akrab. Aku dan Rama sudah saling mengenal lima tahun. Tapi Rama bahkan tidak menjengukku ketika sakit. Mungkin mereka sedang jalan berdua. Ah! Memikirnya sudah membuatku jengah.
“Aku ada urusan, Ram.” Sheila menggeleng. Dia menolak sambil tersenyum. Senyumnya tampak penuh arti.
Tapi, bukannya pergi, Rama malah duduk di depan Sheila, menunggui Sheila yang tengah merapikan tasnya. Dunia seakan milik mereka berdua. Mengacuhkan yang memperhatikan mereka dengan seksama. Dan mereka berdua, sama sekali tidak menyadarinya.
 “Eh, udah sembuh Ren?” sapa Rama – akhirnya menyadari keberadaanku. Setelah aku menunggu lama. Aku hanya mengangguk, tidak berani menatapnya.
“Bagus deh, kalau gitu, Sheila jadi nggak kesepian lagi,”
Aku menoleh perlahan. Menyimak baik-baik yang diucapkan Rama. Siapa sebenarnya di sini yang kesepian? Siapa yang ditinggalkan?
“Oh ya, kamu bisa gitar kan? Mau nggak gabung di grup band aku? Dijamin asik deh, nggak bakal nyesel,” Rama langsung mengalihkan perhatian. Kembali pada Sheila, lagi. Untuk kesekian kalinya.
Lagi-lagi Sheila menggeleng. Sepertinya Sheila tidak tahu, betapa inginnya aku berada di posisinya sekarang. Aku tentu akan terus mengangguk, menyanggupi permintaan Rama. Tapi sayangnya aku tidak bisa bermain gitar. Aku sangat jauh dibandingkan Sheila.
“Nggak bisa Ram, banyak urusan. Sekarang pun aku juga banyak urusan. Kamu bisa kan nggak ganggu? Aku bener-bener lagi kepingin tenang.” Rama tampak tersentak mendengarnya, namun ia cepat-cepat berdiri. Sadar diri akan situasi.
“Ya udah deh, aku pulang duluan yaa… Kalau kamu berubah pikiran kamu bisa sms aku.”
Sheila tampak menghela napas seiring dengan kepergian Rama.
“Dari kemarin Rama ganggu terus, padahal aku kepengin tenang. Diajakin ngobrol serius, ngomonginnya band melulu. Emang nggak ada yang lain?”
“Kenapa kamu nolak?” akhirnya aku bersuara.
“Males,”
“Males?” nadaku adak meninggi. “Kamu tau nggak daridulu aku kepengin banget diajakin ngobrol sama Rama. Tapi sampai detik ini juga aku belum pernah. Dan kamu, baru beberapa bulan udah bikin Rama ngajakin kamu ngobrol,”
“Lho? Rama aja yang kurang kerjaan ngajakin ngobrol. Obrolannya juga nggak penting. Dengar sendiri kan tadi? Toh, aku juga nggak ladenin. Kamunya terlalu pengecut, udah kenal lima tahun tapi nggak berani ngobrol. Tadi aja cuma angguk-angguk. Gimana kalian bisa ngobrol?”
“Kamu ditembak sama Rama kan?”
“Kok jadi mengalihkan pembicaraan sih?”
“Jawab aja kamu ditembak kan sama Rama?”
“Iya. Tapi aku tolak. Habisnya dia cemen banget sih jadi cowok. Sama sekali nggak bisa diandalkan. Yang ada di pikirannya cuma band. Aku minta bantuan dia ke tempat konser ama kemarin aja dia nggak berani karena udah malem. Cemen banget kan?”
“Cemen?”
Dia mengangguk santai. Seolah tidak ada beban ketika mengatakannya.
“Kamu kok bisa tenang-tenang aja sih? Kamu tau nggak? Aku suka sama Rama dari dulu. Dari SMP! Dan kamu yang baru datang berapa bulan sudah ditembak sama dia!” akhirnya aku meledak. Entahlah. Aku benci ketidak pekaannya.
“Jangan marah dong, aku kan nggak tau kamu suka sama Rama,”
Aku mengepalkan tanganku erat.
“Cowok kayak Rama nggak pantes dipuja-puja. Dia cemen kaya begitu. Jeleknya lagi, baru kenal cewek berapa bulan udah main suka aja. Apa nggak mencurigakan tuh? Lagian, kamu nggak pernah cerita kalau suka sama dia. Aku juga nggak minta dia buat sama aku kok. Dianya aja yang aneh,”
Aku diam saja. Tidak menjawab. Serius, Sheila benar-benar menyebalkan sekarang. Seenaknya dia mengatakan bahwa Rama cemen.
            “Ren, kamu kenapa sih? Kamu marah gara-gara Rama nembak aku? Tiba-tiba jadi nggak jelas begini.” tanya
“Nggak jelas?” aku menatap tajam Sheila. “Nggak jelas banget kamu bilang?” suaraku semakin meninggi. “Kemarin kemana aja selama aku sakit? Kamu nggak jenguk aku kan? Bahkan, tanya kabar lewat telepon aja nggak. Harusnya kamu sadar, siapa yang bikin aku sakit. Ngajakin jadi panitia konser amal dadakan dari pagi sampai malam. Kalung pemberian ibuk hilan, kamu tahu? Ah, mana mungkin kamu tahu. Kamu nggak peka!”
“Lho, kok jadi nyalahin aku, sih? Aku nggak mau kamu sakit kok. Salah kamu sendiri pakai baju yang tipis dan aneh begitu. Aku kan sudah bilang kalau sampai malam dan harus bawa jaket. Kenapa kamu jadi nyalahin aku? Kamu sendiri yang pakai baju seperti itu. Tahu sendiri itu konser amal bukan konser yang lain,” jawabnya santai. Dan hal itu membuatku geram. Bisa-bisanya dia melempar fakta semudah itu? Memang kemarin aku pakai baju dengan kain yang agak tipis dan ada lubang kecil di bagian bawah leher. Tapi hal itu pasti bisa diantisipasi kalau acaranya tidak sampai malam kan?
“Gampang banget kamu ngomongnya. Kamu pikir sakit sebelas hari gara-gara cacar itu enak. Kamu dateng itu kayak bencana. Gara-gara kamu nilai aku turun. Gara-gara kamu, aku dihukum guru, kamu rebut semua perhatian orang, dan kamu juga merebut Rama!”
“Rama kan bukan pacar kamu. Aku nggak merebut dong,” Aku diam. Benar. Rama bukan siapa-siapa aku. Seharusnya aku tak berhak bicara begini.
“Kamu mengambil semua yang kamu mau dengan mudah,” ujarku perlahan.
Sheila tampak menatapku tajam. “Siapa bilang semua itu yang aku mau?”
            “Kamu kok jadi kaya anak kecil begini sih, Ren. Aku pikir kamu lebih dewasa ketimbang aku. Tapi, nyatanya enggak. Kamu kayak anak kecil. Kamu melimpahkan semua kesalahan ke orang lain atas apa yang kamu perbuat sendiri,”
“Apa kamu pikir semua itu yang aku mau?” Sheila beranjak dari tempat duduknya. “Bukan itu yang aku mau Ren. Bukan. Kamu tahu kenapa aku menolak pacaran dengan Rama? Karena aku memang tidak suka dengannya. Kamu tahu kenapa aku menolak masuk band-nya? Karena aku kepengin bisa punya banyak waktu sama kamu. Aku lebih suka main sama kamu. Kenapa aku mengusir Rama tadi? Karena aku jauh lebih tenang hanya berdua denganmu, aku ingin punya waktu buat main dan cerita sama kamu, Ren. Kamu tahu kenapa aku ngajakin kamu jadi panitia konser amal? Aku cuma ingin kamu lihat, bahwa kamu bisa melakukan sesuatu apa yang dulu orang bilang enggak. Aku sama sekali nggak berharap kamu kena penyakit cacar, kalungmu hilang, atau bahkan jadi pacar Rama. Sama sekali nggak Ren. Dan itu yang aku mau, kita berteman baik. Aku hanya ingin, kita punya waktu yang lebih banyak untuk saling mengenal,” Sheila kini mengambil tasnya. Membuatku terdiam. Aku tidak bisa berbicara untuk saat ini.
Dia berjalan menuju pintu kelas. Tanpa menoleh ke arahku.
“Kalau kamu ingin punya waktu bersamaku, kenapa kamu nggak jenguk aku kemarin?”
Sheila berhenti sebentar. Tapi dia tidak menoleh ke arahku.
“Kamu nggak punya waktu kan?” Bukannya menjawab, Sheila melangkahkan kakinya keluar kelas. Sheila benar-benar menghilang dari hadapanku. Tenggelam di antara daun pintu yang terbuka lebar, cahaya matahari siang itu tampak menerobos di antaranya.
***
Setelah hari itu, aku dan Sheila tampak jarang berbicara. Kami saling diam. Jika aku punya kesempatan, terkadang aku pindah tempat duduk. Tapi hari ini, aku tak perlu repot-repot karena Sheila tidak masuk. Tidak ada yang tahu di mana dia.
Sebelum bel masuk berbunyi masuk, Rama tampak masuk ke kelas. Untuk pertama kalinya dia menghampiriku. Benar, menghampiriku. Karena kali ini, Sheila tidak ada.
“Hai, Ren!” sapanya ramah. Untuk pertama kalinya. Hanya aku seorang.
“Ada apa Ram?” aku mencoba memberanikan tidak berada dalam zona diam atau isyarat. Seperti yang dikatakan Sheila, aku tidak mau pengecut.
“Begini, Ren, aku diberi titipan surat ijin sama Sheila. Tadi pagi dia kesini. Dia bilang, dia kepengin kamu yang ngasih surat ijin itu ke guru,”    
Aku menatap surat itu. Surat biasa. Bukan surat spesial. Hanya sepucuk surat permohonan izin.
“Memang Sheila sakit apa?” tanyaku penasaran.
“Lho, kamu nggak tahu? Kupikir, kamu yang paling tahu soal dia. Soalnya dia sering cerita soal kamu. Katanya sih, dia seneng banget bisa punya temen seperti kamu.” Dia cengengesan. Sementara aku meremas surat itu pelan.
“Bukan dia yang sakit kok, Ren. Tapi adiknya. Dia harus mengurus adiknya, soalnya sakitnya emang parah. Apalagi dia cuma tinggal berdua sama adiknya. Ibunya kerja jadi TKW di Malaysia. Dan beberapa bulan terakhir, tidak ada kabar. Makanya akhir-akhir ini dia sering murung. Dia khawatir soal ibunya. Ternyata gadis seperti dia punya banyak masalah ya. Semua orang ternyata punya masalah sendiri-sendiri. Egois juga kalau kita cuma fokus sama masalah kita sendiri. Padahal realitanya, kita nggak hidup sendirian,”
Aku tersentak.  Tidak menyangka bahwa apa yang dialami Sheila jauh lebih berat ketimbang aku. Dan aku sempat-sempatnya iri, cemburu, dan menuntut dia atas apa yang dia tidak punya. Benar. Rama benar. Semua orang punya masalah sendiri-sendiri. Dan kita tidak hidup sendirian. Sesuatu yang sangat egois jika aku meyalahkan Sheila atas masalahku sendiri. Aku egois. Sheila benar, aku seperti anak kecil. Tidak semuanya tentang aku, tapi juga tentang orang lain. Aku tidak sadar kalau ada gigi lain pada sebuah roda.
“Ya udah, aku titip suratnya ya Ren. Oh, iya, dia juga bawain ini buat kamu,” Rama menyodorkan kalung pemberian ibuku yang hilang ketika konser amal kemarin. “Minggu lalu dia ngajakin aku nyari kalung ini malem-malem. Tapi aku nggak berani, jadinya aku pulang, hehehe,”
Setelah nyerocos tidak jelas, Rama pergi. Aku barusan memang ngobrol dengan Rama. Tapi aku sama sekali tidak senang. Aku kecewa. Kecewa pada diriku sendiri.
Aku menuntut Sheila, menyalahkan dia atas semua masalahku. Sedangkan dia, juga memiliki banyak masalah. Dan aku bahkan enggan memberikan waktuku untuknya. Sangat enggan, bahkan untuk seseorang yang sudah berjanji akan menjadi teman baikku. Merelakan banyak peluang untuk meluangkan waktu bersama.
Aku memasukkan kalungku. Hari ini juga, aku bertekad untuk mengunjunginya. Setidaknya, untuk memperbaiki semuanya. Mengulangi dari awal. Bukankah tidak ada yang terlambat, sekalipun waktu sudah tergulir jauh? Dan apakah aku tega, membiarkan seorang Sheila sendirian sekarang? Aku benar-benar merasakan, bahwa realita, menggigit dan mengunyahku perlahan, sampai aku tidak sadar atas apa yang aku perbuat. Maaf, Sheila. ***


Hai semuaaa... ini lho janjiku waktu posting kemarin. Dan akhirnya, setelah berbulan-bulan, ada juga cerpenku yang nyangkut di media lain a.k.a Gogirl Magazine. jujur, aku seneng bangeeet... soalnya honornya lebih gede (?). Oh, ya, makasih banget buat Bapak yang ngerelain waktunya cuma buat nyariin majalah Gogirl Magazine edisi bulan September lalu. Bapak emang romantis banget. Pas tahu, cerpen anaknya yang nyeleneh ini masuk majalah, Bapak berusaha nyariin majalahnya. :")
Aku ucapin makasih juga buat temenku, Syevira Salsabila Isnaini a.k.a Bela yang menjadi orang pertama yang tahu cerpenku dimuat. Tanpa pemberitahuan dari dia, aku ragu kalau aku bakal tahu cerpenku dimuat atau enggak.
Pokoknya makasih banget buat bapak dan Bela.
Makasih juga buat Ibuk yang selalu merelakan laptopnya aku utek-utek.
Thaanks my family, my father, my mother, my sister, and my friends.
:*
Salam penuh kasih dari Lamia yang caem. 
Semoga cerpen-cerpenku yang lain - yang sedang berjuang, berhasil meraih kesusksesan mereka. Aamiin :)

Comments

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi