[Cerpen] Poker Face

Helo, everybody... sekarang saya datang di malam minggu yang selalu begitu-begitu -,-. Hari ini saya datang dengan suasana yang berbeda. Yang biasanya abstrak, kini sedikit konkret sedikitlah. 

Dan, saya datang membawa cerpen...! cerpen, men! Gila nggak sih? Gue yang begini-ini? hahaha. Di jaman seperti ini, emang cerpen punya tingkatan yang lebih ketimbang hikayat.

Tapi, gimana ya.... tetep cinta sama hikayat... hahaha XD

Ah, udahlah jangan kebanyakan ngetik melulu. So let's check this out :D

Poker Face

oleh : Lamia (Melodi) Putri Damayanti, @LamiaPutriD

“Putus?” dahinya berkerut heran. Ia bertanya-tanya, kenapa gadis yang hampir empat bulan menjadi pacarnya tiba-tiba mendeklarasikan sebuah kata yang menyimbolkan perpisahan.

            Aku terdiam, kemudian mengangguk malas. Benar. Gadis yang menjadi pacarnya memang aku. Aryani. Seorang gadis berpenampilan biasa saja, tidak terlalu good looking, kata orang sih, agak kampungan dan hemat dalam berbagai hal – kecuali hal-hal yang berkaitan dengan hobinya.

Seperti saat ini, ketika berada di kafe super mewah, aku hanya memesan segelas es teh. Padahal aku yakin, orang yang yang sekarang duduk di depanku, tidak akan segan-segan membayarkan makanan dan minuman yang aku pesan – bahkan jika harganya mahal sekalipun. Tapi, toh sebentar lagi orang ini sudah bukan siapa-siapaku lagi.

            Namanya Prima. Siapa yang tidak kenal Prima? Cowok paling tampan dan popular di sekolah. Punya segudang bakat, dari akademik sampai non akademik. Seorang anak beruntung yang lahir dalam keluarga berekonomi jauh di atas rata-rata, fisiknya nyaris sempurna dan sangat karismatik.

Berbeda seratus delapanpuluh derajat denganku. Kalau orang-orang melihat kami berdua, mungkin mereka akan mengira aku adalah pembantu anak orang kaya yang ditugaskan untuk menjaga anak tersebut.

Lagipula, dia adalah seorang playboy yang tidak tanggung-tanggung dalam bergonta-ganti pacar. Pacaran paling sebentar adalah satu jam, dan pacaran paling lama adalah saat denganku. Aku juga heran, mantannya yang bak model itu saja hanya bertahan beberapa hari, bahkan ada yang baru satu jam jadian langsung diputusin. Tapi herannya, dia bisa sebetah ini pacaran denganku? Aku jelas tidak secantik Alexa, ketua cheerleader yang nyaris sempurna fisiknya. Aku juga jelas tidak sekaya Fera, saingan berat Alexa yang sampai saat ini keduanya masih gencar mengejar-ngejar Prima. Padahal, sudah jelas Prima adalah pacarku.

Ah, aku jadi sewot memikirkannya. Buat apa juga akan memikirkan hal-hal seperti itu. Toh, sebentar lagi aku sudah tidak punya keterikatan dengan Prima.

            Kalau boleh jujur, aku masih sayang dengan Prima. Sangat malah! Tapi ada satu hal yang tidak aku sukai darinya. Sifat kekanak-kanakannya! Orang-orang tidak akan pernah percaya dengan wibawa yang tampak pada wajahnya. Apalagi, dia adalah seorang kapten basket. Ketua OSIS pula! Sifatnya yang konyol dan lebih kekanak-kanakan dari anak kecil sekalipun pasti tak akan mengundang curiga dari berbagai spekulasi penggemarnya.

            Mereka hanya tahu, bahwa Prima sosok yang sempurna.

            Siapa yang menyangka bahwa  remaja lelaki paling karismatik di sekolah adalah seorang Gamer sejati.

            Dan yang pasti dia selalu menyuruhku untuk menemaninya di warnet atau tempat-tempat game center. Alasannya untuk menghilangkan rasa penat. Tapi, aku selalu merasa tidak nyaman. Aku seperti pengasuh balita, yang selalu menjaga bocah ingusan yang selalu kegirangan tiap melihat barang yang tampak mengagumkan. Lagipula, kebanyakan pengguna game online kan laki-laki, aku jadi berasa menjadi alien di tempat itu. Sudah begitu, tingkah lakunya ketika bermain game online sungguh menjengkelkan dan kadang membuatku risih. Kadang ia berteriak atau mengumpat ketika kalah.

            Awalnya, aku memang tidak terlalu menghiraukan sikapnya. Tapi, lama-lama aku jengah! Di depan orang lain, dia akan bersikap dingin, cool, sok berwibawa dan bersikap sempurna. Tapi ketika hanya berdua denganku – saja, dia akan mengubah sifat artifisialnya itu menjadi sebuah realita yang tak dapat dipercaya.

            Bukannya aku tidak menerima dia apa adanya. Tapi aku tidak suka dengan perubahan sikapnya. Mengapa dia selalu pasang sikap palsu terhadap orang lain? Mengapa hanya di depanku saja, sifat aslinya itu keluar. Lagipula, dia juga tidak pernah memperhatikanku. Yang ada di pikirannya hanya game online, saja!

            “Kenapa?” dia bertanya dengan nada agak parau. Aku tahu, sifat kekanak-kanakannya pasti akan muncul dengan tiba-tiba.

            “Aku nggak suka sikap kamu yang kayak anak kecil. Kamu itu palsu, di depan mereka kamu sok cool, sok berwibawa, giliran cuma aku yang ada di deketmu, sifat aslimu keluar. Kenapa sih gak apa adanya aja? Don’t show your poker face.”

            Dia menghela napas pelan. Sungguh, ketika dia menghela napas, dia tampak lebih dewasa – dan nampak letih. Tapi, aku yakin sebentar lagi dia akan merengek seperti anak kecil. Dia akan sangat berbeda ketika hanya bersamaku.

            “Ar, kamu tau? Cuma kamu yang bisa bikin aku apa adanya. Cuma di depan kamu, aku bisa ngelakuin hal-hal yang aku suka. Cuma kamu yang ngasih luang waktu dan ruang gerak buat aku. Cuma di depan kamu, aku gak malu sama apa yang aku suka. Aku gak malu untuk nunjukin diriku yang sebenarnya. Aku gak perlu jadi orang lain yang harus tampil tanpa cacat. Cuma kamu yang gak nuntut apapun. Cuma di depan kamu, aku gak perlu lagi pake poker face,”

            Aku tertegun. Serentetan ucapannya barusan benar-benar membuatku tercengang, seperti merasakan tsunami yang tiba-tiba menerjangku di padang pasir. Tidak wajar, mengejutkan dan melambungkan. Membuat rasa kesal yang telah mengering kini dihujani sebersit rasa senang. Jujur, aku senang mendengarnya. Membuatku terharu. Membuatku besar kepala tapi juga membuatku malu. Rasanya campur aduk dan tak terkatakan.

 “Kamu tahu, kenapa aku suka gonta-ganti pacar?”

            Aku menggeleng pelan.

            “Karena nggak ada satu pun yang bisa ngertiin aku. Yang mereka tau, cuma gimana aku harus ngertiin mereka. Mereka gak melihat aku apa adanya. Aku harus tampil sempurna. Mereka maksa aku untuk bertingkah palsu. Aku juga muak! Makanya aku mutusin mereka. Aku gonta-ganti pacar bukan karena aku suka mainin cewek, tapi karena aku nggak suka sama sikap mereka. Mereka itu cuma mentingin status, prestise semata!” ungkapnya menggebu-gebu.

            “Bagi mereka, aku cuma barang yang hanya di-show off-in doang. Kamu beda, Ar. Cuma di depan kamu, aku bisa bebas jadi diri aku sendiri. Aku gak harus susah-susah pasang poker face,”

            Aku tambah tertegun. Meresapi tiap kata-katanya. Sebuah paragraf yang sepertinya telah terkungkung lama, dan kini ia bebaskan. Dan setiap kalimat yang ia ucapkan benar-benar membuatku tersanjung, membuat hatiku merintih malu sekaligus senang. Membuatku merenungi tiap kata yang ia ucapkan.

            “Aku gak suka jadi ketua OSIS, apalagi ketua basket.. Rasanya pengen aku buang semua jabatan itu kalau ujung-ujungnya aku dituntut untuk selalu tampil sempurna.,”

            Aku menghela napas pelan, menundukkan kepalaku melihat kaki-kaki meja kafe yang terlihat kokoh. Mengapa di saat aku benar-benar yakin ingin berpisah dengannya, ia malah mengutarakan hal-hal yang membuatku tertegun heran – sekaligus senang? Apa ini triknya? Setiap ucapannya bagai menerbangkanku ke luar angkasa. Bahkan rasanya, aku bisa bernapas di antariksa. Seakan ia memberikanku oksigen untuk bertahan hidup. Semakin tinggi semakin sesak, tapi ketika itu pula ia datang membawa udara. Dia benar-benar membuatku mengecap keheranan yang amat dalam – sekaligus perasaan senang.

            “Dan aku pengen kamu tahu, aku suka kamu udah dari lama. Sejak kita masih SMP,”

            SMP? Aku kaget dan heran dengan ucapannya. Aku langsung mengangkat wajahku, dan secara tak sengaja langsung berhadapan dengan wajahnya. Matanya tampak menerawang jauh.

            “Aku kan gak satu sekolah sama kamu?” tanyaku heran. Setelah lama terdiam, akhirnya aku angkat bicara.

            “Tapi aku sering liat kamu,” dahiku berkerut heran. Tapi dia malah tersenyum. “Warnet Link?” tanyanya, seperti memberikan pancingan dalam teka-teki.

            Warnet Link? Ah – ! Aku hampir terperanjat dari tempat dudukku. Serasa ada listrik yang menyetrum otakku, melebarkan memori yang hampir terhapus. Memori di mana, aku yang terkenal hemat akan langsung menghambur-hamburkan uang untuk sebuah hobi – yang kini hampir terlupakan.

            “Aku masih ingat jelas, kamu adalah satu-satunya cewek yang ada di warnet itu. Satu-satunya cewek yang doyan game online. Kamu cuek banget, walaupun seisi warnet mandang miring kamu. Di saat cewek seumuran kamu pada suka bersolek, kamu malah nongkrong di warnet. Kamu gak malu, kamu kelihatan biasa saja,”

            Aku terdiam. Bahasa mana pun tak aku gunakan, aku bungkam dalam diam. Hanya lirikan mata yang mengutarakan bahasa. Hanya menyesapi kalimat-kalimat yang diucapkan Prima dengan hati-hati. Aku terharu. Walaupun mengingat sikapnya membuatku jengkel. Tapi, ketika ucapannya terngiang-ngiang tanpa henti, rasanya ada yang bergejolak di dalam hati.

            “Sejak saat itu, aku pikir kamu beda, Ar. Cewek paling beda. Kamu gak perlu berpura-pura,”  dia menghela napas sebentar.

“Dan itu yang paling membuat aku suka sama kamu. Aku pikir, kamu pasti menerimaku apa adanya. Tapi, ternyata aku salah…” katanya, membuat hatiku berdenyut sakit.

            “Kamu yang salah Prim…” desisku lirih, hampir tidak terdengar. Tapi aku yakin Prima masih bisa mendengarnya. “Aku nerima kamu apa adanya. Tapi kamu kau gak peka sama perasaanku,” kataku. Prima tampak mengerutkan keningnya.

            “Aku juga butuh luang waktumu. Aku bukannya nggak nerima kamu apa adanya. Aku juga pengen sekali-kali kamu ngalah. Tiap kita pacaran, pasti di game center melulu.” Kataku kesal, dan membuat Prima tertawa.

            “Habisnya, aku kan ngeliat kamu waktu masih SMP. Kamu kan dulu maniak game. Jadinya aku pikir kamu suka sama hal-hal kayak gitu,”

            “Itu kan waktu aku SMP, sekarang aku udah SMA,” kataku senewen.

            “Jadi?” aku menatapnya heran. Tapi kemudian menyadari suatu hal – tentang latar belakang, tujuan, dan hasil pembicaraan ini.

            “Jadi apa?” kataku sedikit menggodanya. Dia sedikit mendengus kesal, tampang kekanak-kanakannya mendadak muncul.

            “Jadi kita?” tanyanya penasaran, seakan memberikan semua keputusan kepadaku.

            “Kita putus,” ujarku tegas. Dan tampak matanya mendelik sempurna, wajahnya tampak lemas dengan ekspresi sedih yang tak bisa kudeskripsikan. Yang, jelas kedua tangannya tampak mengepal kesal.

            “Kita putuskan main game online sekarang,” kataku sambil nyengir, membuatnya mendesah lega dan kemudian mengacak-acak rambutku kesal.

            “Eehh… apaan sih!” aku langsung sewot ketika rambutku yang telah ditata rapi ia acak-acak.

            “Jadi gak putus kan?” ia ikutan nyengir khas anak-anak.

            “Ehm…” aku berpura-pura menimang-nimang jawaban. Dalam hati aku tertawa geli menatap ekspresi penasarannya.

            “Kita tanding main Ayo Dance, kalo aku menang, kamu harus belajar untuk apa adanya di depan orang lain!”tantangku.

            “Oke, siapa takut?” dia balik menantangku. “Aku juga udah muak jadi seorang poker face.”

***

Hahaha... gimana-gimana? Sedikit pamer ya :P... cerpen ini pernah dimuat di majalah kawanku edisi 134... (ceritanya pengen sombong nih...? Mau pamer kok jujur amat) Ya biar deh, pamer-pamer sekalian... dijujur-jujurin, daripada sok nyari alesan nggak relevan, ya nggak? (ente ngomong apa sih?)

Tapi, kalo boleh jujur, sampe sekarang masih nggak nyangka, kok bisa cerpen ini nyangkut di majalah itu. Kebetulan waktu ke toko buku itu, iseng ngobrak-abrik jajaran majalah, eh nggak taunya nemu cerpen satu ini. Berhubung cerpen pertama langsung hebring di toko buku. Lebai banget deh ya? Biarin deh, yang penting dapet duit *syududududu. Alhamdulillah :3. Keep say a lot of thanks to Allah :3

Mmm... segitu aja kali, ya... kapan-kapan mungkin mau posting cerpen lain lagi :D

dan di sini Mountain Pirates lagi menyendiri sambil menekuni materi ujian praktek. Wish me luck. BISMILLAH :D

sumber gambar :  http://piratevoyager.com/SHARE-COMPARE/using/2/stoicface.jpg