Posts

Showing posts from 2016

Perempuan-Perempuan tanpa Cincin di Jari Manis

Aku memilih duduk di bagian agak pojok ruangan dan menyandar ke dinding. Selain menyandar ke dinding adalah sebuah kebiasaan dudukku yang aneh sekaligus pemalas, berjalan mengitari festival selama berjam-jam ternyata cukup melelahkan dan memaksaku untuk menyandarkan punggung di suatu tempat. Dan aku memilih tembok dingin ini – menjauh dari kerumunan orang dan suara-suara yang berisik. Aku berusaha memejamkan mata di tengah gemerasak orang-orang berbicara. Rasa-rasanya, aku ingin di sini saja sampai festival selesai. Sesaat kemudian kesunyianku buyar. Aku mendengar seseorang mendekat. Karpet di sebelahku mulai berderak-derak. Aku pun membuka mata dan melihat seorang perempuan mendekatiku. Ia tersenyum kea rahku dengan begitu hangatnya dan kemudian berkata bahwa ia ingin bergabung. Aku hanya tersenyum kecil dan mempersilakannya. Rambut perempuan itu pendek seperti lelaki tetapi senyumnya sangat manis. Ia membawa sekotak makanan yang ia dapat gratis di depan meja staff relawan. “S

Usia Sebuah Gagasan

"Dengan kata lain, apakah umur perdebatan yang dimediasi Internet tersebut akan lebih panjang daripada karya Goenawan sendiri di era pra-internet? Argumen utama yang diketengahkan di sini adalah bahwa umur gagasan menjadi pendek. Gagasan tersebut sulit bertahan bukan lantaran minim kualitas atau hampa, melainkan atensi pembaca yang cepat sekali berpindah pada gagasan lain." Jadi ingat salah satu diskusi dengan salah seorang teman waktu ramai-ramainya senjakala media cetak -- terutama opini Bang Bre yang dicecar habis-habisan. Saat itu saya membaca sebuah opini di blog tentang "berbalas gagasan" yang kini bisa dilakukan dengan mudah di blog di internet. Tidak perlu lagi mesti mengirimkan ke media cetak dan menunggu dimuat minggu berikutnya. Beruntung kalau dimuat. Jika tidak? Sial lah nasibnya. Dengan adanya internet, orang-orang bisa berbalas gagasan dengan mudah di blog pribadi atau media-media daring yang memproduksi wacana. Seperti yang terjadi sa

Obituari Orang-Orang Pinggiran

Baru saja saya mendapatkan kabar kematian, tentang seseorang yang mesti meregang nyawa ketika bekerja. Barangkali kematian yang datang ketika bekerja adalah sebuah kewajaran. Dan pada dasarnya, bukankah kematian memang tidak pernah tertebak kapan akan bermula dan kapan pula akan berakhr? Kita pun tak pernah bisa menentukan, juga tidak pernah bisa mengatur bagaimana cara terbaik untuk pergi. Namun, bukankah saat bekerja adalah pertanda? Bahwa setiap manusia selalu berjuang sampai titik darah penghabisannya. Hanya untuk mengisi periuk-periuk kosong. Dan setelah penuh dengan bulir-bulir nasi, kepadanyalah akan ia bagi, tanpa menyisakan sedikit pun untuknya. Kematian Irma Bule, seorang biduan asal Karawang mampu menggegerkan Indonesia baru-baru ini. Tidak hanya menjadi bahan perbincangan di masyarakat Indonesia, beberapa jurnalis asing turut meliput berita duka ini. Salah satu video detik-detik menjelang kematiannya yang diunggah di youtube pun ditonton oleh jutaan orang dalam waktu

Menimbang Ulang Rencana Pembangunan Bandara Kulon Progo

Image
Pembangunan Bandara Internasional di Kulon Progo akan dimulai pada Mei 2016. Sementara itu, masyarakat Kulon Progo yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) tetap menolak. Kini, mereka tengah berjuang untuk masa depan anak-cucu mereka dan bumi pertiwi. Lahan Pertanian di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo Berada di bagian barat pesisir pantai Selatan Jawa, ombak-ombak yang berdebur akan memecah. Ombak yang pecah itu diakibatkan oleh bebatuan tetrapod atau alat pemecah ombak yang dipasang berjejeran. Mereka menjadi bulir-bulir air tatkala saling berbenturan. Di tempat itulah, kita akan menyaksikan pemandangan pantai yang unik dibanding pantai lain di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Tempat itu adalah  Pantai Glagah yang berada di Kecamatan Temon, Kapupaten Kulon Progo. Pantai ini  tepat dikunjungi saat matahari terbenam dan membiaskan cahaya pada bulir-bulir ombak yang terpecah oleh tetrapod tatkala keduanya berbenturan. Jika berwisata ke Pantai Glagah, kit

Iman

Image
Tulisan ini merupakan keberlanjutan dari unggahan sebelumnya, ateis . Sila dibaca terlebih dahulu untuk memaknai duduk perkaranya. via www.islam.com. Aku baru saja membaca sebuah buku, di dalamnya tertulis “Sesungguhnya iman seseorang yang terafdal ialah ia merasa bahwa Allah bersamanya di mana saja,”. (HR. Hakim dan Baihaqi). Beberapa waktu lalu, aku menulis tentang kesendirian – juga rasa sepi yang tidak pernah sirna. Aku bahkan sempat menyebutnya sebaga rasa sakit dan bahkan penderitaan. Aku mengkonklusikan bahwa perasaan itu berkaitan dengan ketidakpercayaanku terhadap Tuhan. Aku menduga; mungkin saja aku sudah menuju tahap ateis. Sebab, jika aku percaya padanya, bukankah aku tidak perlu merasa kesepian? Sebab, Tuhan selalu bersamaku di mana saja. Ternyata, letak permasalahannya ada pada iman; yang mudah melemah itu – juga hati; yang mudah sekali terbolak-balik itu. Ada kesalahan besar yang terletak dalam otakku, yaitu merepresentasikan iman. Bagaimana menangkup s

Ateis,

Image
via http://s5.favim.com Aku tidak pernah tahu bawah kesendirian bisa semenyakitkan ini. Dulu, aku benar-benar tidak menyangka, jika dan hanya jika, kesepian bisa membuatku begitu menderita. Aku tak pernah tahu, ternyata terjebak dalam sunyi bisa membuatku mual berkepanjangan. Ini benar-benar menyakitkan. Padahal, aku pernah sekali berpikir; mungkin dunia akan sangat menyenangkan jika aku seorang yang memilikinya. Aku bisa menguasai semuanya tanpa gangguan apapun. Pada akhirnya, aku bisa berbuat sesukaku. Aku hanya perlu mendengarkan diriku sendiri. Dan orang lain – tentang orang lain—aku tak perlu bersusah payah mendengarkan mereka. Sayangnya, semua itu jauh dari ekspektasi. Kecintaanku terhadap sunyi berakhir senyap – dia pun juga tergerus. Tiba-tiba saja aku teringat, bukankah Adam juga merasa kesepian? Ia pernah menjadi satu-satunya manusia di bumi ini. Aku pikir dia seharusnya bahagia. Ia tidak perlu repot dengan urusan orang lain. Tetapi rupanya, seorang Adam pun juga p

Keterkaitan Pemahaman Praktik Komunikasi yang Etis dengan Konsepsi Ruang Publik dan Profesionalisme

       Konsep ruang publik yang akan dibahas di sini adalah konsep yang diutarakan oleh seorang filsuf Jerman, yaitu Jurgen Habermas.  Mengutip apa yang telah dimaklumatkan oleh Habermas, ruang publik adalah sebagai berikut: a domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens… deal with matters of general interest without being subject to coercion…(to express and publicize their views) . [1] Jürgen Habermas menjelaskan konsep ‘ruang publik’ sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari negara ( state ) dan pasar ( market ). Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memilik akses untuk menjadi pengusung opini publik. Opini publik ini berperan untuk memengaruhi, termasuk secara informal, perilaku-perilaku yang ada dalam ‘ruang’ negara dan pasar. Konsep ruang publik diambil dari sejarah ruang publik kaum borjuis di Jerman pada abad delapan belas. [2] Ketika berbicara mengenai ruang publik dalam konteks media massa akan berbeda deng

Pentingnya Pemahaman Kode Etik oleh Pekerja di Bidang Komunikasi

Kode etik profesi juga diterapkan di bidang komunikasi. Komunikasi yang dimaksud di sini adalah komunikasi massa – artinya berhubungan dengan massa (publik). Dalam hal ini beberapa profesi yang mencakup bidang komunikasi adalah Jurnalis, Humas, pekerja iklan, dan lain sebagainya. Tiap profesi memiliki kode etik-nya masing-masing sesuai dengan peran-peran yang dijalankan. Pemahaman para pelaksana profesi komunikasi terhadap kode etik tentu menjadi hal yang penting. Mengapa begitu? Sebab pola interaksi yang dilakukan oleh para pelaksana profesi di bidang komunikasi berhubungan langsung dengan masyarakat. Sesuai dengan terma komunikasi itu sendiri, komunikasi merupakan proses pertukaran makna informasi melalui suatu media tertentu. Proses komunikasi sendiri terjadi ketika komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan. Proses komunikasi atau penyampaian pesan ini sifatnya bisa linear (satu arah), interaksional maupun transaksional. [1] Harold Lasswell dalam karyannya, The Structure

Menilik Dualisme Status Tanah di Yogyakarta

  Munculnya UUPA seharusnya telah menyeragamkan sistem tata kelola pertanahan. Namun, hal tersebut tidak berlaku di Yogyakarta. Bahkan, Sultan mengklaim bahwa tidak ada tanah negara di Yogyakarta. Belakangan ini, Yogyakarta digaduhkan dengan persoalan surat kekancingan yang terjadi di berbagai wilayah. Beberapa di antaranya adalah gugatan 1,12 Milyar pada lima PKL oleh penguasa bernama Eka Aryawan dan ancaman penggusuran warga Watukodok oleh Enny Supiani. Baik Eka maupun Enny merasa memiliki hak atas tanah tersebut karena telah memegang surat kekancingan. Persoalan sengketa tanah di DIY memang tengah marak terjadi, baik dilihat melalui pola vertikal maupun horisontal. Orang-orang saling mengklaim tanah sebagai ruang hidup dang penghidupan mereka. Udiyo Basuki mengatakan bahwa persoalan tanah di Yogyakarta disebabkan adanya ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah dan ketiadaan persepsi yang sama dalam pengelolaan tanah. [i] Hal ini bisa dilihat dari kemunculan surat kekan