Posts

Showing posts from 2017

Fragmen

#1 "Ya, aku bukannya nggak suka. Suka banget malah. Tapi aku tahu diri, kok," "Kok gitu?" "Nggak mau terjebak untuk kedua kalinya," "Apa hubungannya?" "Hmm... nggak tahu..." "Jadi?" "Kok, jadi?" "Suka atau enggak?" "Ya... suka... kan aku udah bilang," "Terus?" "Ya udah," "..." "Aku sadar diri. Dia emang orang yang mudah dicintai dan mencintai. Sesederhana itu. Makanya aku jadi tahu diri," "Aku bingung kamu ngomong apa," "Sama, sebenernya aku juga bingung daritadi aku ngomong apa. Kita ngomongin apa," #2 "Aku cari uang yang banyak biar bias makan yang enak-enak terus! Tipikal banget ya, cuman ngurusin perut sendiri!" "Kalau makanan enak berarti kamu mikirin lidahmu dong," "Hehehe... jadi bukan perut ya?" "Bukan, kamu cuman nggak mau merasakan sesuatu yang buruk. Setelah semuanya bur

Kebijakan Registrasi Kartu Seluler Ancam Keamanan Data Pribadi

Mulai 31 Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018, pemerintah menetapkan kebijakan baru untuk melakukan registrasi penggunaan kartu seluler dengan memberikan NIK dan KK. Meski dianggap menjadi salah satu langkah menekan angka kriminalitas, kebijakan tersebut tidak terlepas dari berbagai persoalan, terutama terkait dengan keamanan data pribadi. Data pribadi menjadi persoalan yang pelik dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sebab, tidak ada kejelasan mengenai nasib data pribadi yang akan diberikan pada perusahaan jasa provider. Hal itu diutarakan oleh Sinta Dewi, Ketua Cyber Law , Fakultas Hukum Unpad dalam diskusi publik bertajuk, “Regulasi Seluler: Wajib Registrasi, Perlindngan Tak Pasti?”. Selain Sinta, diskusi tersebut juga menghadirkan Rony Primanto, Kepala Dinas Kominfo DIY dan Heru Tjatur, CTO Kumparan. Acara yang berlangsung pada Sabtu (28/10), menjadi wadah untuk membaca ulang kebijakan wajib registrasi menggunakan NIK dan KK, terutama hak-hak perlindungan masyarakat terhadap d

Tentang Manusia dan Kemanusiaan Bagian 1

“Mbak, jangan kaya orang bego ya kalau di Jakarta. Pokoknya hati-hati. Jangan percaya siapapun. Selalu waspada,” Hampir semua sopir gojek yang mengantar saya ke stasiun atau bandara mengatakan hal demikian sewaktu tahu saya mau ke Jakarta. Lugas sekali ngomongnya. Bahkan terkesan agak terburu-buru. Seolah-olah saya harus segera tahu dan membuat banyak siasat yang jitu untuk mengatasi semua ketakutan-ketakutan dan ancaman-ancaman mengerikan setiba di Jakarta. Kadang-kadang, saya jadi berpikir, apa yang perlu ditakuti dari Jakarta? Mengapa setiap kali kaki saya melangkah menuju ke sana, orang-orang selalu menasihati dengan nada setengah takut dan was-was. Kalau harus memilih, saya jauh lebih takut dengan selokannya yang berwarna hijau, sampah-sampah yang berserakan, air yang katanya bersih tapi cuman oplosan kaporit, kemacetan, dan kegaduhan-kegaduhan lain yang awet dalam hiruk-pikuk. Tetapi, dibandingkan ketakutan setengah mati akibat air kotor dan sanitasi yang mengerikan,

Pertanyaan tentang Menikah

“Kalau panjenengan mau menikah kapan? Masih lama atau sebentar lagi?” “Sinten?” gagapku bertanya. “Nggih panjenengan,” “Oh, masih lama, hehehe,” jawabku sambil tertawa. Meski kedengaran berbeda. Tidak loss, tidak jujur, dan seperti dipaksakan. *** Sejujurnya, saya selalu merasa geli ketika ditanyai perihal menikah. Rasa-rasanya saya belum cocok mendapatkan pertanyaan seperti itu. Rasa-rasanya saya belum pantas. Meskipun, secara usia, saya sudah legal untuk melangsungkan pernikahan. Teman-teman seusia saya, bahkan yang lebih muda saja sudah mendului menikah. Beberapa yang lain sudah punya momongan. Sayangnya, buat saya pernikahan itu perjalanan yang panjang. Bagi saya, menikah adalah sebuah keputusan terbesar untuk menjadi dewasa. Kalau tak salah ingat, dosen saya yang pernah bilang bahwa menikah adalah perkara menjadi dewasa. Orang-orang yang memutuskan menikah adalah mereka yang (berani) memutus masa “kanak-kanaknya”, memasuki satu fase yang dewasa, mendewasakan, me

Petani yang Lugu

Sebab mereka adalah petani, mana mungkin punya ide sebrilian menyemen kaki. Pasti ada orang lain di balik itu semua. Pasti ada ada aktor berkepentingan lain. Pasti mereka dimanfaatkan. Pasti begini. Dan pasti begitu. Lalu, bagaimana pula caramu memastikan semua kemungkinan-kemungkinan yang jelas-jelas adalah ‘mungkin’. Saya selalu tidak setuju ketika aksi rakyat selalu dipelintir. Terlepas memang dipolitisasi atau tidak, apa yang dilakukan oleh para petani Kendeng pastilah bukan sekadar ide-idean yang keluar dari mulut orang lain. Apalagi, dengan menyebut bahwa mereka adalah petani-petani yang lugu – yang cuman ngerti bagaimana mencangkul tanah, menggemburkan tanah, mengairi sawah, menyambung saluran irigasi, memanen padi, dan lain sebagainya. Ide nyemen kaki itu sangat mengawang dan jauh dari identitas mereka sebagai petani. Kalau mau menggunakan bahasa yang jahat sekalian, petani-petani itu terlalu polos untuk tahu bagaimana caranya menyuarakan aspirasi. Kalau mau lebih

Kehilangan dan Menghilang

Dulu, sewaktu sepupu jauh saya yang masih berusia delapan meninggal, teman-teman seusianya berdatangan untuk melayat. Mereka berdiri di luar rumah sembari menangis dan mengantarkan jenazah sepupu saya hingga ke liang lahat. Saya, yang waktu itu masih remaja, tidak mengerti mengapa mereka menangis. Apakah mereka telah memahami dengan benar apa arti kehilangan? Apakah mereka memahami bagaimana rasa sakit atas kehilangan itu bermula? Atau mereka memahami kehilangan itu sama seperti ketika mereka kehilangan pensil kesayangan mereka atau bola sepak mereka? Yang jelas, saya mulai memahaminya ketika salah satu dari menyeletuk sembari menangis keras ketika jenazah sepupu saya mulai ditimbun tanah. Ia bilang ia tak akan pernah bertemu dengan sepupu saya lagi. Ia bilang, dalam waktu setahun sampai menjadi bertahun-tahun, hingga selamanya, ia tak akan pernah lagi bertemu dengan sepupu saya. Selama-lamanya, ketika ia mengetuk pintu rumahnya, tidak aka nada lagi yang membukakan pintu dan mengaj

Johana

Muka gadis itu bulat dengan poni rata menutupi dahinya. Rambutnya lurus, hitam, dan dipotong sebahu. Meski matanya sipit, manik matanya kelihatan bulat dan bercahaya. Gadis cilik itu memang keturunan Cina. Tetangga – baru yang belakangan ini aku kenal. Usianya sembilan tahun dan mencintai skuternya. Dia sering berlalu lalang di depan rumah dengan skuternya. Setiap aku panggil, dia cuman tersenyum dan tetap asyik mengendarai skuter kesayangannya. Aku biasa memanggilnya Jo. Nama panjangnya Johana. Pertama kali berkenalan, aku pikir gadis cilik itu akan sangat pendiam. Tapi ternyata tidak, ia mirip ibunya – yang suka sekali menceritakan banyak hal. Sama seperti ketika kami duduk berdua sembari menikmati malam yang dingin karena hujan turun dengan sangat deras. Aku hanya bertanya, “Jo… Johana… Kalau kakak manggil Johana kok kepanjangan ya. Teman-teman kamu biasanya manggil apa?” Sebelum menjawab – Jo selalu tersenyum lucu sembari memperlihatkan lesung pipinya. Matanya ikut terseny

Orang Kafir itu (Tidak) Jahat

Hendaknya kita perlu berefleksi – kembali pada titah bahasa mengenai kafir itu sendiri. Sadar atau tidak, kita terjebak pada stigma bahwa istilah “kafir” adalah makna umpatan. Persis seperti kata bangsat yang akhir-akhir lebih banyak berseliweran di lini masa sosial media daripada di udara. Padahal, kafir adalah kafir. Ia menejermahkan orang-orang yang tidak mengamini Allah SWT dan Nabi Muhammad. Jadi, sebetulnya, tidak salah jika saya mengatakan bahwa orang budha dan hindu itu kafir. Sebab mereka tidak mengimani Allah dan juga Kanjeng Nabi. Namun, kita selalu menganggap bahwa kafir adalah kata yang begitu kasar. Padahal kafir adalah istilah dari sebuah agama yang tujuannya sama sekali tidak untuk menyudutkan apalagi menghina mereka yang tidak mengimani Allah. Perwujudan artikulasi mengenai kafir adalah untuk membedakan mana kelompok yang Islam dan mana yang tidak mengimani Allah SWT. Beriman dalam Islam adalah sebuah proses dan perwujudan yang panjang. Kita tidak bisa seenaknya

Mengambil Jarak dari Keramaian

Image
  sumber : link Waktu itu baru menuju tengah malam ketika mobil terus bergerak menuju utara Bali setelah sebelumnya menjemput kami di pelabuhan Gilimanuk. Suasana pelabuhan Gilimanuk tadi begitu Hanya ada beberapa penjaga dan pedagang asongan yang nyaris tertidur karena tak juga kedapatan pelanggan. Suasana begitu gelap – seperti malam-malam biasanya. Bukankah malam memang tak pernah tidak gelap? Malam selalu begini, tidak pernah berubah sekalipun. Meski begitu, tetap banyak yang mencintainya. Mencintai sesuatu yang konstanta: sebuah ketetapan. Aku bisa merasakan jalanan Bali yang lebih manusiawi dibandingkan jalan provinsi antara Magelang dan Yogyakarta. Semua itu menyebabkan kantukku bertambah. Sesekali, untuk menghilangkan rasa kantuk yang sebetulnya sudah aku tebus di atas kapal, aku melihat kanan dan kiri jalan yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Kata seorang pria yang menjemput kami di pelabuhan tadi, tempat yang tengah kami lewati ini ada

Pemanfaatan Big Data dalam Jurnalisme

Lamia Putri Damayanti [1] Saat ini, kita telah memasuki era big data – era di mana setiap harinya data diproduksi secara terus-menerus melalui berbagai macam situs web dan media sosial. Menurut Kevin P. Murphy, Research Scientist Google, saat ini terdapat satu triliun situs web di internet yang setiap harinya terus mengunggah berbagai macam informasi baik berbentuk teks, foto, video, dan lain sebagainya. Internet sebagai pemicu munculnya big data ini diduga telah menghasilkan 90% data. Jumlah data tersebut sangatlah besar dan diramalkan tidak akan berhenti selama pengguna internet terus mengunggah dan mengunduh data melalui sistem jaringan nirkabel tersebut. Dikutip dari Forbes, data tersebut akan tumbuh lebih cepat dari sebelumnya dan pada tahun 2020, sekitar 1,7 megabyte informasi baru akan dibuat setiap detik untuk setiap manusia di planet ini. Jumlah data yang sangat besar di mana manusia membutuhkan teknologi yang canggih untuk membacanya. Big data sendiri di