Obituari Orang-Orang Pinggiran
Baru saja saya mendapatkan kabar
kematian, tentang seseorang yang mesti meregang nyawa ketika bekerja.
Barangkali kematian yang datang ketika bekerja adalah sebuah kewajaran. Dan
pada dasarnya, bukankah kematian memang tidak pernah tertebak kapan akan
bermula dan kapan pula akan berakhr? Kita pun tak pernah bisa menentukan, juga
tidak pernah bisa mengatur bagaimana cara terbaik untuk pergi. Namun, bukankah
saat bekerja adalah pertanda? Bahwa setiap manusia selalu berjuang sampai titik
darah penghabisannya. Hanya untuk mengisi periuk-periuk kosong. Dan setelah
penuh dengan bulir-bulir nasi, kepadanyalah akan ia bagi, tanpa menyisakan
sedikit pun untuknya.
Kematian Irma Bule, seorang
biduan asal Karawang mampu menggegerkan Indonesia baru-baru ini. Tidak hanya
menjadi bahan perbincangan di masyarakat Indonesia, beberapa jurnalis asing
turut meliput berita duka ini. Salah satu video detik-detik menjelang
kematiannya yang diunggah di youtube pun ditonton oleh jutaan orang dalam waktu
kurang dari satu minggu. Beberapa orang asing turut melihat karena penasaran
dengan kematian ibu tiga orang anak itu.
Irma Bule, begitu sapaan
perempuan berkulit putih dan berambut pirang itu, meninggal akibat gigitan ulat
di pahanya. Dilansir dari berbagai sumber media, seekor ular kobra menggigit
pahanya saat ia melakukan pentas. Konon, ia tidak sengaja menginjak ular
tersebut sehingga – sebagaimana intuisi hewan yang hendak menyelamatkan diri,
ular tersebut secara spontan menggigit Irma.
Ajaib! Perempuan berusia 29 tahun
tersebut mampu bertahan dalam gigitan ular sekitar lebih dari lima menit. Ia
bahkan meneruskan jogedannya. Tetap menyanyi di atas panggung yang gemerlap
demi beberapa ratusribu rupiah. Padahal,
menurut beberapa penelitian, manusia hanya mampu bertahan lima menit saja
setelah digigit oleh ular kobra.
Namun, Irma Bule bahkan bertahan
hampir satu jam setelah digigit oleh ular mematikan itu. Salah satu kantor
berita luar negeri bahkan menerbitkan artikel ketahanan tubuh Irma yang mampu
bergulat denga bisa mematikan ditubuhnya selama hampir satu jam. Bagaimana Irma
tetap bertahan untuk menari dan bernyanyi bukan semata-mata karena memang dia
seorang manusia sakti. Lebih dari itu, kekuatannya melawan rasa sakit dari
racun mematikan itu adalah karena pengalaman hidupnya yang keras.
Lahir dari keluarga miskin dan
mesti menghadapi kemiskinan membuat Irma mesti memperjuangkan kehidupannya,
ibunya, dan anak-anaknya. Dalam salah satu berita, dengan sesenggukan, Encum,
ibunda Irma mengatakan bahwa ia adalah seorang pekerja keras. Saban malam ia
menerima begitu saja tawaran manggung dengan bayaran tidak seberapa itu. Harus
dihadapkan dengan jamahan lelaki jahat dan juga mesti memakai pakaian mini di
malam hari ia lakukan demi menghidupi ketiga putrinya. Di pagi hari, Irma Bule
tidak lantas beristirahat setelah pentas. Ia masih bekerja menjual sepatu dan
pakaian. Dalam benaknya, ia memiliki cita-cita yang begitu mulia, menyekolahkan
ketiga putrinya setinggi-tingginya dan membiayai umroh ibunda tercintanya.
Dengan kehidupan yang begitu
keras itu, mana mungkin Irma tidak bisa menghadapi gigitan ular? Dengan
kehidupan yang begitu keras dan pengalamannya dalam mengatasi semua itu,
rasa-rasanya bisa ular kobra tidak pernah sebanding dengan perjuangannya. Nalurinya
mengatakan bahwa ia harus tetap melakukan pertunjukkan sekalipun pawang ular
menyuruhnya untuk berhenti. Bayaran malam itu tidak boleh lenyap begitu saja
hanya karena gigitan seekor ular. Mungkin, dalam benaknya, ia hanya ingin
membawa pulang beberapa lembar uang untuk mengisi periuk esok hari.
Kisah Irma adalah potret kematian
orang pinggiran – yang diperantarai oleh kisah tragis seorang perempuan yang
mesti terbelenggu dalam kemiskinan. Bagaimana kemudian kemiskinan
membelenggunya, dan ia tidak memiliki jalan lain selain mengobyekkan dirinya
sendiri. Siapa pula yang menginginkan bekerja dengan tangan-tangan usil yang
setiap saat bisa menggerayanginya? Irma adalah salah satu contoh dari sekian
perempuan yang mesti mengorbankan harga dirinya untuk sesuap nasi bagi
keluarganya. Ia rela menggunakan pakaian-pakaian seksi. Ia juga rela
mendapatkan sorotan mata tajam yang siap memangsa. Ia pun juga dengan sukarela
membiarkan siulan-siulan seronok menghampirinya.
Kematian Irma tentu mendapatkan sorotan
media, bahkan media luar negeri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Komentar-komentar pun bertebaran atas kematian Irma yang tragis itu. Pada
komentar video youtube, orang-orang mencibir bahwa peristiwa kematian Irma
adalah azab dari Tuhan. Perbuatan Irma sebagai biduan dangdut dianggap sebagai
perbuatan maksiat karena telah berani mengumbar aurat. Apa yang dialami oleh
Irma adalah hukuman dunia karena ia berani bertingkah begitu seronok.
Lalu, apakah memang demikian?
Apakah yang dialami oleh Irma
adalah azab dari Tuhan? Kematiannya adalah hukuman? Saya lebih mengamini bahwa
ini adalah “hukuman” bagi orang yang terpenjara dalam kemiskinan. Dan bak
cerita-cerita yang sering kita dengar, bukankah banyak orang miskin yang selalu
dihukum oleh ketidakadilan? Kematian Irma adalah bentuk ketidakadilan atas
sistem yang timpang. Kemiskinan yang membabi buta. Juga penindasan atas
identitasnya sebagai perempuan. Hanya karena ia seorang biduan yang sering
mengenakan baju terbuka, lantas orang-orang menutup mata bahwa kematiannya
sebenarnya telah membuka tabir yang begitu mengenaskan tentang kemiskinan.
Orang-orang malah mengira bahwa kematiannya adalah azab dari tindakan
maksiatnya.
Lalu apakah perbuatan Irma memang
suatu tindakan maksiat? Bukan. Irma mengumbar auratnya, memperlihatkan pahanya,
bergoyang dengan begitu seronok bukanlah tindakan maksiat. Semua itu karena
Irma adalah orang miskin. Orang-orang pinggiran – yang dalam pikirannya adalah
tentang bertahan hidup. Berjuang untuk periuk esok hari.
Lalu, apalah kematian Irma adalah
azab?
Banyak orang yang lupa tentang
cerita mengharukan yang terjadi berabad-abad lalu tentang seorang pelacur yang
masuk surga hanya karena memberikan air terakhirnya kepada seekor anjing
kehausan. Bukankah suatu hal yang tidak mungkin pula jika Irma bisa masuk surga
pula karena ia telah menghidupi empat orang dalam keluarganya? Bukankah Tuhan
sangat baik? Bukankah tidak adil jika kita menuduh peristiwa ini sebagai bagian
dari azab. Jika kita mau membuka mata, kita akan tahu bahwa peristiwa ini
adalah satu dari sekian banyak kisah orang-orang pinggiran yang terbelunggu kemiskinan.
Jika kita mau memahami lebih saksama, kisah Irma adalah contoh dari sekian
banyak perempuan yang terbelenggu penindasan dan kemiskinan. Merekalah yang
akan terus mendengungkan obituari-obituari menyedihkan orang-orang pinggiran.
Dan, bilamana kita menghentikan obituari-obituari itu?
Dan,
Dan,
Bilamanakah semua ini akan berakhir?
Comments
Post a Comment