Hikayat Putih Abu-abu
“Ahoooi…
tersimpan sebuah kisah ternama, tuanku. Cerita para manusia-manusia yang pernah
muda dulu. Ahoooi… dengarlah hikayat kisah ini tuanku. Terbait jelas kepadamu
untuk bercerita. Ahoooi…. Menari mendengar tuanku, dongeng dari balada putih
berabu-abu di sudut air mengalir di tepi-tepi. Ahoooi… mari memulai tuanku,
hikayat ternama dari sebuah kisah yang berkala itu. Kisah yang akan membawa
tuanku sekalian, terlena karenanya. Ahooi… mari tuanku, siapnya hikayat telah
dihidangkan. Biar jadi menu yang tak tertunda,”
I
Kepada
kawan, yang melangkah bersama di lantai terakhir gedung tua. Kepada para
sahabat yang mengalungkan putih dan abu-abu
di batas senja. Untuk terakhir
kali, biar lukisan kita yang bercerita. Tentang indahnya sebuah masa. Dengan
gradasi pasang surutnya. Biar
terperangkap erat pada tiap lembarnya. Untuk mengingatkan pada sebuah era yang
tak akan pernah terlupakan. Di mana perjuangan adalah emas yang tak ternilai.
Di mana waktu menelan kelegaan. Dan, ketika kita hanya bisa tertunduk tanpa
menengadah.
Di
sana, sebuah ruangan berkilauan yang diberi pembatas berdinding kayu. Matahari
tak pernah lepas menyengat, angin enggan menyapa dalam penat. Jejak-jejak yang pernah ditinggalkan tak akan
pernah terhapus, walau setahun, dua tahun bahkan berabad-abad berlalu. Biar
jadi cerita, saksi bisu kaki-kaki meja dan kursi yang akan bercerita dari masa
ke masa tentang kita; salah satu penghuni ruangan yang terbagi di tengahnya
Lantai
ini, bukan lantai terakhir kita berlari. Bukan akhir dari perjuangan kita
meniti setiap tangga di lantai sebelumnya. Ini adalah awal, kawan. Sebuah gempita
dan gemerlap yang berterbangan bagai embun berkilauan di siang hari.
Dan,
pada saatnya nanti tiba, biarlah kita singgah sejenak, berbagi kabar bersama
untuk sekian lama. Mengingat masa ini, bernostalgia.
II
Kepada
kawan putih abu-abu, yang kini akan terpisahkan oleh waktu. Bukan saatnya,
berelegi kawan. Bukanlah tragedi yang harus ditangisi, melainkan kisah yang
harus lekat di memori.
Ingatkah
saat awal kita berpijak, memilin angan sambil beralksiah pada saksi-saksi bisu
di lantai paling dasar gedung tua? Ingatkah
kawan, saat pertama kita berada. Di hadapkan pada dua pilihan. Ingatkah kawan,
masa-masa transisi dan perjuangan dari titik balik putih biru? Kita yang biru,
harus menghadapi abu-abu yang kelabu.
Mega
mendung yang kelabu, menggelung di langit-langit sana. Seakan ingin menderas,
menguapkan ribuah hujan yang tak terkira? Habislah kita, beragam rintangan
menghadang. Kisah baru akan terlaksana.
Dan,
biru langit itu kini berubah, abu-abu kelabu yang terbang tinggi. Bercerita ia
tentang hujan dan badai. Kisah kelabu putih abu-abu. Menyiratkan elegy yang
berkidungkan matahari yang memudar.
Tapi,
kawan, benarkah abu-abu itu adalah kidung di siang hari?
III
Kepada
kawanku yang berselonjor di pertengahan ketinggian gedung. Lantai dua yang
temaram. Lantai dua dengan dua kubu yang bersebelahan. Sebuah kisah baru dan
kehidupan baru. Kita berada pada satu bujur, melintang di lantai yang sama.
Menyapa di balik kayu-kayu yang berdecit menghela.
Ingatkah tentang sebelumnya? Masa sebelum kita
berada di lantai dua. Tentang kebimbangan dua pilihan. Langkah yang kadang tak
pasti, kebingungan mencari arah. Mencari kubu yang diinginkan. Hingga akhirnya
tersandung di lantai satu setengah.
Kelelahan.
Kehilangan arah. Menangis dalam diam. Ini lebih dari sulit dari kebiruan yang
dulu, kawan. Abu-abu ini begitu pekat, sampai menembus kabut pun hanya akan
membuat kita tersesat.
Tapi,
ingatkah kawan? Bahwa kita tidak sendiri. Kita ada di sini bersama-sama,
menautkan tali temali kita. Saling meyakinkan, saling memberi harapan. Bahwa
kita, pasti bisa melalui semua ini tanpa harus beradu dengan badai lagi.
Ingatkah
kawan?Jari jemari kita saling memberi keyakinan. Kita bangkit lagi, melangkah
dengan ketinggian yang lebih pasti. Kita berlari bersama walau berbeda kubu.
Ingatkah kawan? Kita menanjaki sepuluh tangga satu persatu dengan penuh
keyakinan. Kita kuat karena kita bersama. Berjalan bersama-sama menaiki tangga
lantai dua.
Ingatkah
kawan? Hari itu, kita mulai menikmati abu-abu ini. Abu-abu yang kita yakin akan
berakhir penuh warna. Biarlah saat ini, hujan dan badai menghujam tiap langkah.
Tapi
sampai saat itu tiba, biar abu-abu bercerita sampai selesai. Sampai kita
terlena betapa menyenangkan abu-abu yang kelabu itu.
III
Dan,
ingatkah saat-saat yang tak mungkin luput dari ingatan? Kita tak pernah lepas
dari warnah merah jambu, kawan. Semburat lembayung yang tergores pada hamparan
padang abu-abu. Dari merah muda sampai merah tua. Menghambur warna itu
menjelajahi sketsa gedung tua. Membius para muda mudi untuk saling berkasih.
Ingatkah
saat kita menatap malu-malu pada seorang terkasih. Menyelipkan surat cinta atau
terkadang bertingkah berlebihan hanya untuk mendapatkan perhatiannya? Atau
mungkin, sengaja duduk di sampingnya hanya untuk sekedar bercerita.
Di
sudut sana, berpasang-pasang tangan bergandengan, menikmati masa muda yang
sangat merah muda. Suci dan tanpa bergelora. Di
sinilah, semuanya berhias, memasang diri dengan lengkungan bibir manisnya,
menghias mata dengan kerlingannya.
Tapi,
ada kalanya kita hanya duduk terdiam, mengamati dari balik jeruji besi.
Mengagumi dari sudut tergelap yang tak terlihat. Ada kalanya merah muda kita
terlalu muda, sampai kekaguman itu menjadi utopia.
Dan,
pada saat itulah, para gembala putih abu-abu mulai menggembalakan merah
jambunya. Berkelana menuruni tangga sambil bertegur sapa pada sesamnya;
setingkat, atau pun atas bawah.
IV
Ingatkah
kawan?
Ketika
kita saling berbisik, “Tidak terasa,”
Kita
bergumam, “Tingkat terakhir,”
Dan
kita berkata sambil menahan rasa, “Akan berakhir,”
Sebuah
tingkat terakhir, di mana matahari semakin dekat, menghanguskan tiap pori-pori
yang ingin bersandar sejenak. Sebuah tingkat tertinggi, di mana angin bertiup
semakin kencang, berhembus tanpa rasa, seakan ingin meluruhkan jiwa raga.
Sebuah tingkat terberat, di mana segala rasa tercampur aduk.
“Ah,
tidak terasa. Ini tingkat terakhir, dan akan berakhir,”
Terkadang
kita tidak menyadarinya. Atau bahkan, malah enggan menyadarinya. Malas untuk
berkata-kata, karena ini hanya akan menyakitkan jiwa.
Perpisahan
adalah kesakitan. Tapi tanpa kesakitan, kita tak akan meraih kebahagiaan.
Awal
dan akhir adalah paket sederhana yang setiap orang pasti memilikinya. Entah
berawal suka atau duka, ataukah berkahir bahagia atau sedih. Yang, jelas semua
terbungkus pada tiap paket yang dikirimkan ke satu orang ke orang lainnya.
Ini
bukan akhir kawan. Bukan.
Ini
bukan akhir perjuangan kita, di mana kita sering terjatuh dan terseret oleh
luka.
Lihatlah
lebih seksama, koridor yang selalu kita lalui tak lagi temaram. Lorong-lorong
yang suram tak lagi tampak kelam.
Saat
ini, kita dapat tengadah, menjulurkan kelima indra untuk melihat. Melihat
langit-langit di atas sana.
“Ahoi,
langit tak lagi abu-abu kawan. Kini biru lagi,”
Badai
berakhir. Hujan dengan mega mendung yang kelabu telah berakhir. Kelabu
menghilang. Biru berdatangan.
Dan
kita mendapat satu paket lagi.
Sebuah
pelangi; lengkap dengan tujuh warnanya. Tidak lagi hanya merah, biru atau pun
abu-abu.
Kini,
tujuh warna dengan kisahnya masing-masing.
Pelangi
yang harus kita lewati dengan jangkah kaki pasti.
“Ahoi,
bukan akhir kawan. Pelangi bukan tamatnya cerita ini,”
Inilah
dia kawan, awal dari sebuah akhir.
Pelangi
kita masing-masing, dari abu-abu badai yang menerjan selama tiga tahun
terakhir. Biar kita genggam, biar kia peluk erat sampai menjadi cita dan mimpi.
Biarlah menjadi sebuah jalan beserta pilihan-pilihannya.
Itulah
dia, mimpi kita kawan, yang kita bagi tiga tahun terakhir ini. Sebuah pelangi
kita masing-masing; mimpi kita masing-masing. Cari ujungnya dan bawa terbang
sampai ke angkasa.
Dan,
telah dikatakannya sebelum. Bawa pelangi kalian masing-masing dan ceritakanlah
isinya, bawalah serta kisah di dalamnya.
Ceritakanlah;
pada kawan-kawan yang berjuang bersama pada tiga gradasi dan hidupnya.
“Ahoi!!!
Perjuangan kita belum berakhir, kawan,”
“Ahoi,
langit memang selalu biru. Tapi mega akan terus berarak…. Ahoi… berlarilah
kawan, semoga kita bertemu lagi…
***
“Ahoooi….
Dan telah terkabarkan kepadamu tuanku sekalian. Sebuah kisah yang melankolis
dengan serentetan drama kolosalnya. Bukannya akhir tuanku, mereka masih
melangkah. Turut serta pada kedamaian warna di perujungan. Ahoii… belumlah
berakhir tuanku, kisah yang telah terceritakan. Ahoi…. Masih adakan
berlari-larian tuanku. Sekitaran ombak menjadi debu yang menjelmakan mantra.
Ahoi… belum berakhir tuanku… Adalah kisah serupa yang akan turut serta merentet
bersambungan dengankan,”
Ahoi, men… gue barusan
bikin hikayat :P. Hikayat bro! Hikayat! Wkwkwkwk. Ini terobosan sastra baru.
Mana ada sih anak jaman sekarang yang demen hikayat, bahasa klisa tak mudah
dimengerti mana ada yang ngelirik. Hahaha.
Tapi, itu bukan
hikayat tulen sob, hikayat yang masih dipertanyakan. Nggak tau juga kenapa
tiba-tiba kepikiran bikin beginian. Sebenernya yang bahasanya hikayat pun Cuma awal
akhir paragraf yang pakai ahoi…
Kenapa juga musti
pakai Ahoi?
Nggak tau juga sih.
Yang jelas, saya pengen aja mosting hikayat aneh satu ini. Hehehe. Soalnya,
soalnya, soalnya…. Masa putih abu-abu saya akan berakhir u,u. Dan saya
mengharapkan pelangi dari mega mendung tiga tahun terakhir ini.
Yah, inilah SMA. Beda
banget dari jenjang pendidikan lain. Kayaknya aja seneng, tapi perjuangannya
men! Ibarat menembus kabut di lautan yang berbadai. Berlebihan deh, kayaknya.
Tau ah! Tapi yang
jelas, kalau kita bisa menembus kabut di ujung sana. Kita bakal dapet hadiah
nggak terkira. Pelangi, yang siapapun tahu, itu jalan menuju cita-cita kita.
Jalan menuju hidup yang sebenernya.
Tapi… berat banget
harus pisah u,u. Dimana dong?
Well, LIFE MUST GO ON!
Kita nggak akan terus stag gitu, hidup jalan, men. Dan hidup nggak akan nunggu,
kita yang ngejar. Sebelum semuanya terlambat.
Dan hikayat ini aku
persembahkan teruntuk almamater tercinta. Gladiool High School Magelang, SMANSA
’13. Keep rockin guys! Keep dreaming!
Wake up your dreams
and let’s reach it together.
Kita semua pasti
sukses. PASTI. TANPA ADA PENGECUALIAN. Tetap berusaha. Doa dan usaha kita
berperan serta bersama :D. Allah pasti ngasih yang terbaik buat kita :D.
Semangat guys…!!!
But this is it hikayat
ala author Lamia (amin. Amin. Amin )
Tertulis 9 Februari
2013. Penulis. Lamia (Melodi) Putri Damayanti.
ahoi..."ini bukan akhir, kawan." bukan!
ReplyDeleteelok sangat hikayat yang tuan catat...ahoi
Maaf baru balas, Terimakasih Sulam aksara. Salam kenal dari saya :)
ReplyDelete