Sepanjang Solo: Jalan Merengkuh Sejarah Media
Lokananta dan Monumen Pers: Dua
Sejoli Solo Pencerita Media Indonesia
Langit masih mendung, cahaya
matahari belum lugas menembus kerumunan awan pagi itu. Pukul 06.15, biasanya
kampus FISIPOL UGM masih sepi. Hanya terdengar derau resah sapu dan dedaunan
kering yang berserakan. Namun, pagi itu gerombolan mahasiswa berjas sewarna
karung goni telah berkumpul di taman San Shiro FISIPOL. Sesekali canda dan tawa
terdengar seiring keluhan-keluhan akan penantian panjang teman mereka yang
belum datang.
Hari itu, 12 Mei 2014, 127 Mahasiswa
Jurusan Ilmu Komunikasi (JIK) UGM akan melakukan
perjalanan menuju kota Batik, Solo. Perjalanan tersebut merupakan salah satu
kegiatan penunjang akademik yang dilakukan di luar kelas. Sebagai salah satu
bentuk referensi nyata dari mata kuliah Sejarah Ilmu Komunikasi dan Media.
Maka, pada hari tersebut, mahasiswa JIK UGM 13 – yang biasa disebut Composer
mengunjungi Lokananta dan Monumen Pers.
Kedua tempat tersebut merupakan
rekam jejak sejarah ilmu komunikasi dan media. Lokananta merekam jejak dunia
musik Indonesia. Sedangkan Monumen Pers bergerak mengabadikan aset-aset penting
berkaitan dengan Pers Indonesia.
Waktu telah menunjukkan pukul 06:30.
Sinar matahari mulai berpendar menghasilkan berkas-berkas yang menyipitkan
mata. Beberapa mahasiswa masih juga belum berdatangan. Suasana semakin heboh
dan riuh. Beberapa di antaranya masih sibuk mengirim pesan dan menelepon
teman-teman mereka yang masih berada di kos. Entah terlelap dalam buaian mimpi,
entah masih mandi, atau pun dalam perjalanan. Sebagian lagi memilih bersendau
gurau dan menjahit cerita.
Tak berselang berapa lama, gerombolan
mahasiswa itu telah dipandu masuk ke dalam bus yang telah siaga di Grha Sabha
Pramana (GSP). Kami semua berbondong-bondong menuju GSP. Di sana, telah tersedia tiga bus yang akan membawa
kami menuju kota Solo.
Akhirnya, seluruh ‘personil’
Composer telah datang. Melewati batas waktu yang ditentukan, (seharusnya pukul
06:45), kami berangkat pukul tujuh lebih. Kami mulai tidak sabar untuk segera
meluncurkan diri menuju kota Solo. Maka, pagi itu, tiga bus melaju menuju arah
selatan, membelah lautan mekanik mulai dari sepanjang Jalan Gejayan.
Perjalanan memakan waktu kurang
lebih dua jam. Saat di dalam bus, awalnya semua anak-anak berbaur dalam satu
diskusi, baik lucu maupun haru. Namun tak berselang lama, mereka terlelap di
kursi masing-masing. Hanya aku – satu-satunya yang tidak tidur. Hanya aku pula –
satu-satunya yang bernyanyi tidak jelas. Melantunkan lagu Unconditionally milik Katy Perry dengan sumbang sembari
membayangkan akan menyanyikannya di studio musik Lokananta.
Sekitar pukul setengah sepuluh,
akhirnya kami sampai di Lokananta. Awalnya, aku pikir Lokananta berada di
pinggir Jalan Raya yang besar. Tetapi ternyata, Lokananta masuk ke sebuah jalan
yang agak kecil dari jalan raya besar pada umumnya. Pertama kali melihat
Lokananta, yang terbersit di benakku adalah bangunan gersang yang tidak
terawat. Lokananta sendiri terletak di di
jalan Ahmad Yani 387, Solo.
Studio rekaman musik Lokananta bukan
bangunan besar bertingkat yang mewah. Melainkan bangunan peninggalan Belanda
yang dari luar tampak ‘kusam’. Tetapi, disitulah letak aroma khas sejarahnya.
Dari bentuk bangunan, kita bisa langsung menilai bahwa dalam bangunan ini,
terdapat jejak-jejak bersejarah yang telah terangkum dalam satu kisah. Bangunan tersebut seakan-akan menceritakan
kepada kita, para awak composer, tentang perjalanan salah satu studio rekaman
musik pertama di Indonesia.
Keluar dari bus yang ber-AC, udara
kota Solo dengan hangat menerpa. Walaupun tetap panas, setidaknya tidak sepanas
kota Yogyakarta. Mengingat panasnya kota Yogyakarta, seringkali, aku dan
temanku mempertanyakan cuaca panas yang luar biasa di Yogyakarta. Tapi untuk saat
itu, aku tidak mau memikirkan tentang panasnya kota Pelajar. Aku ingin
mengintip kota Solo yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya.
Mbak-mbak Dosen, Mbak Ipeh dan Mbak
Mutia – yang ternyata satu bus dengan ku memandu kami untuk berkumpul sejenak
di depan gedung Lokananta. Sembari memperhatikan betul kondisi Lokananta yang
memprihatinkan aku mulai berpikir – tempat ini sepertinya tidak spesial jika
dilihat dari kondisinya. Hanya sebuah bangunan tua yang disebut-sebut sebagai
studio musik rekaman pertama di Indonesia.
Setelah semuanya keluar dari bus,
kami mulai diajak masuk ke dalam Lokananta – membelah bangunan-bangunan
peninggalan Belanda. Satu persatu lorong dan lobi di lewati, di sisi kanannya
terdapat ruang-ruang kecil berisikan alat-alat rekaman musik zaman dulu.
Sewaktu melewatinya – pada saat itu, pikiranku langsung berubah. Lokananta
memang sebuah tempat yang spesial.
Mungkin dari luar, Lokananta hanya
sejarah yang diabaikan. Secuil kizah zaman dulu yang dibiarkan berlalu. Tetapi
ketika mulai masuk ke dalam gedung, ia seakan bercerita bahwa Lokananta adalah
tempat di mana, musik bisa dilantunkan dan diabadikan dalam pita hitam pertama
kali di Indonesia.
Gedung tersebut berbentuk persegi
dengan lahan kosong di tengahnya. Di sekitarnya terdapat lorong yang tidak berujung
– berkesinambungan dari tempat ke tempat. Di sekelilingnya terdapat ruang-ruang
tempat menyimpan aset berharga di Lokananta. Suara lagu ‘Burung Kakak Tua’
mengiringi langkah kaki kami kecil kami.
Berjalan melewati lorong-lorong itu,
kami dikumpulkan dalam sebuah ruang studio rekaman musik yang sangat besar.
Berbeda dengan ruang studio musik pada umumnya, ruangan ini didesain khusus
dengan ukuran yang besar. Tentunya kapasitas yang dapat dimuat juga sangat
banyak. Buktinya, sebanyak 127 mahasiswa dapat masuk ke dalamnya.
Di dalam ruangan tersebut, para ‘pemangku’
Lokananta menjelaskan kepada kami tentang seluk beluk Lokananta. Mulai dari
sejarah, proses perekaman, kearsipan dan penyimpanan media yang dilakukan di
sana.
Ada ironi dalam setiap cerita yang
mereka kumandangkan. Ada kontradiksi dalam tiap kisah yang mereka dongengkan.
Dalam dialog interaktif singkat, antara kami; para awak Composer dengan
karyawan Lokananta. Terdapat keprihatinan yang meledak. Hal tersebut
dikarenakan Lokananta; sebagai salah satu aset berharga di Indonesia antara
dilupakan dan terlupakan. Tempat tersebut tidak didanai dengan pantas, sehingga
terbengkalai.
Lokananta: Dari Departemen
Penerangan sampai Menjadi Perum Percetakan Negara RI.
“Lokananta, salah satu contoh kisah
klasik – bagaimana sebuah aset berharga mengalami kegelisahan. Antara
terlupakan dan dilupakan.”
Lokananta digagas oleh R. Oetojo Soemowidjojo
dan R. Ngabehi Soegoto Soerjodipoero pada tanggal 28 Oktober 1956. Lokananta kemudian
diresmikan Menteri Penerangan saat itu, Soedibjo pada tanggal 29 Oktober 1956
dengan status Dinas Transkripsi sebagai bagian dari Jawatan Radio Republik
Indonesia yang bertugas memproduksi piringan hitam untuk bahan siaran RRI seluruh
Indonesia.
Tanggal 1 April 1959, piringan hitam
produksi Lokananta juga dijual kepada masyarakat. Status Lokananta kemudian
diubah dari bentuk Jawatan menjadi Perusahaan Negara berdasar pada Peraturan
pemerintah No. 215 tahun 1961. Saat itu
Lokananta menjadi pabrik piringan hitam pertama di Indonesia.
Pada awalnya Lokananta berada di
bawah naungan Kementrian Departemen Penerangan. Meskipun begitu, Lokananta
diberi hak komersil yang berarti selain menyimpan arsip-arsip negara juga boleh
memperjualbelikan hasil rekamannya untuk mendapat pemasukan. Namun, ketika
pemerintahan berpindah ke tangan Gus Dur, departemen tersebut dibubarkan pada
tahun 1998. Status Lokananta dapat dikatakan sedang mengalami ‘vacuum of power’. Lokananta tidak jelas
berada di bawah naungan siapa. Akhirnya, Lokananta tergabung dalam Perum.
Percetakan NKRI sejak tahun 2004 hingga sekarang.
Memasuki tahun 1960-an hingga
1980-an Lokananta mengalami masa kejayaan. Banyak penyanyi dan pemusik yang
melakukan rekaman di sana. Hal tersebut dikarenakan kualitas perekaman yang ditawarkan.
Hasil rekaman berupa warna suara yang jernih menjadi bentuk kepopulerannya kala
itu. Dari tahun ke tahun, Lokananta terus melahirkan nama-nama besar,
diantaranya adalah Titiek Puspa, Waldjinah, dan Jack Lesmana. Namun, dalam
perjalanannya, Lokananta bukan berarti tak mengalami kendala. Berkali-kali
Lokananta mengalami jatuh bangun.
Jatuh bangunnya Lokananta tidak
jauh-jauh dari hambatan finansial. Tidak hanya itu, memasuki tahun 1990-an,
kaset mulai mengalahkan kepopuleran piringan hitam. Pada tahun itu pula,
bayang-bayang kelumpuhan mulai menghadang Lokananta. Maraknya pembajakan dan
mulai menjamurnya banyak perusahaan rekaman lainnya menjadi faktor utama dari
kemangkrakannya. Akibatnya, kegiatan pemasaran pun sempat terhenti. Bahkan,
sempat dinyatakan pailit dan dibubarkan
pula.
Selama kurang lebih sembilan tahun,
Lokananta mengalami proses likuidasi. Karyawan
yang tersisa pada saat itu pun hanya tinggal terhitung belasan. Saat itu mereka
bahkan rela untuk tidak dibayar hanya karena ingin ‘menjaga’ aset dan apapun
yang tersisa di Lokananta. Hingga kemudian, di tahun 2004 Lokananta perlahan
mulai kembali bangkit dengan bergabung bersama Perum PNRI cabang Surakarta.
Kini, meski tak separah pada masa-masa ketika sedang dalam proses likuidasi,
Lokananta masih terus berusaha untuk bangkit.
Berbagai usaha seperti menyewakan
sepetak tanah di belakang gedung sebagai tempat untuk bermain futsal dan warung
makan di halaman depan dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan perawatan
perusahaan rekaman ini. Ketimpangan ini jelas memperlihatkan bagaimana
pemerintah kurang memberikan perhatian kepada Lokananta.
Lokananta, dengan segala
keterbatasannya berusaha bangkit sendiri dalam hingar-bingar maraknya bisnis
studio rekaman. Padahal, peran Lokananta dalam mengabadikan jejak rekam
Indonesia bisa dibilang sangat penting. Lokananta bukan sekedar studio rekaman
musik maupun perusahaan percetakan semata. Namun sebuah monumen bersejarah yang
patut dipertahankan.
Studio bersejarah ini memiliki
rekaman Indonesia Raya. Studio ini memang menyimpan banyak sejarah perjalanan
musik Indonesia dan bisa dikatakan sebagai titik nol musik Indonesia.
Dalam perjalanan sejarahnya,
musisi-musisi seperti Gesang, Titik Puspa, Waldjinah, Ismail Marzuki, Bubi
Chen, Jack Lesmana, Bing Slamet, Idris Sardi dan masih banyak yang lainnya
pernah melakukan rekaman disana. Ada lebih dari 40 ribu piringan hitam musik
tradisional diseluruh Indonesia berada di sana.
Ribuan master rekaman berbagai genre
musik, dari mulai pop, kroncong, hingga jazz sejak tahun 50-an hingga 80-an
disimpan di sana. Bahkan, master rekaman pidato proklamasi Soekarno juga
tersimpan disana.
Sayangnya seiring dengan waktu,
kisah kejayaan Lokananta kian menghilang. Hampir semua dokumen berharga yang
tersimpan di sana kondisinya sudah kurang layak karena minimnya dana yang
dimiliki oleh Lokananta. Beberapa koleksi pun dijual secara terpaksa kepada
kolektor untuk biaya operasional.
Saat ini, Perum Percetakan Negara RI
Cabang Surakarta (Lokananta) adalah BUMN yang bernaung di bawah Perum
Percetakan Negara Republik Indonesia yang bergerak di bidang usaha rekaman,
penggandaan kaset Audio dan CD.
Kegiatan usaha Lokananta meliputi recording (memproduksi dan memasarkan
kaset dan CD Audio serta penjajakan untuk VCD), broadcasting
(melayani permintaan rekaman studio, penggandaan kaset dan Audio CD baik untuk
sarana media program pemerintah, perusahaan/instansi, organisasi, maupun
perorangan) serta Printing and Publishing (melayani permintaan
percetakan dan penerbitan buku-buku Perum Percetakan Negara RI)
Produksi
Lokananta pada awal berkembangannya adalah sebagai berikut;
1. Degung,
Jaipong, dan Banyumasan
2. Klenengan
Surakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur
3. Beksan
/ Tari, Tayub dan Tandhakan
4. Ludruk,
Banyuwangen dan Gendhing Bali
5. Ketoprak,
Wayang Kulit, Wayang Orang dan Wayang Gole
Namun
seiring berjalannya waktu, Lokananta mulai merambah dunia musik musik
kontemporer. Beberapa waktu yang lalu Glen dan grup musik White Shoes and The
Couples Company merekam ulang lagu-lagu mereka di Lokananta. Saat ini pula,
Glenn tengah mengkampanyekan Lokananta sebagai studio musik rekaman yang
mumpuni. Lewat lagu-lagu yang ia rekam di Lokananta, ia mencoba mengenalkan
Lokananta kepada berbagai pihak.
Lokananta,
saat ini masih berdiri tegak dalam hingar-bingar kota Solo. Dalam dunia yang keras,
Lokananta mencoba kembali bangkit dengan terobosan baru berupa musik
kontempores (modern).
Monumen Pers: Rekam Jejak Pers
Indonesia
“Dari
Penindasan Kolonial sampai Gugatan Reformasi”
“Sepanjang
Jalan menuju Keadilan, Monumen Pers ini bercerita tengan kisah di balik
perjuangan Pers Indonseia”
Di Lokananta, terdapat haru-biru
yang menggemakan hati. Di mana, Lokananta yang dulunya sebagai titik balik
dunia musik di Indonesia mengalami pasang surut sampai akhirnya mangkrak
beberapa tahun.
Beralih dari Lokananta, perjalan
dilanjutkan menuju Monumen Pers. Monumen Pers Nasional terletak di Jl. Gajah
Mada No. 59, Keprabon, Banjarsari, Surakarta. Dahulu dikenal dengan sebutan "Sociteit".
Gedung yang pada awalnya diberi nama
“Sasana Soeka” ini dibangun pada bulan Desember 1918. Gedung tersebut menjadi
saksi sejarah atas berdirinya stasiun radio pertama di Indonesia sekaligus
saksi atas didirikannya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Gedung
tersebut dijadikan Monumen Pers Nasional tepat pada 9 Februari 1978. Tak jauh
berbeda dengan Lokananta, pada awalnya Monumen Pers Nasional juga berada
dibawah naungan Departemen Penerangan, namun kemudian dilikuidasi dan akhirnya
berada dibawah pengawasan Kementrian Komunikasi dan Informasi.
Pada
tanggal 9 Februari 1946 dipergunakan tempat menyelenggarakan Kongres Pertama
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kemudian ditempati Palang Merah Indonesia
(PMI) cabang Surakarta hingga tahun 1977. Pasca likuidasi Departemen Penerangan
RI status Monumen Pers Nasional berada dalam Badan Informasi dan Komunikasi
Nasional. Setelah Lembaga Informasi Nasional diintegrasikan kedalam Departemen
Komunikasi dan Informatika pada tahun 2005 maka Monumen Pers Nasional menjadi
satuan kerja dibawah Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi
Informasi Departemen Komunikasi dan Informatika.
Berdasarkan Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika No.06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tanggal 16 Maret 2011
diputuskan Monumen Pers Nasional adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat
Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dari
peraturan tersebut Monumen Pers Nasional memiliki tugas melaksanakan
pelestarian dan pelayanan kepada masyarakat mengenai Monumen Pers Nasional dan
produk produk Pers Nasional yang bernilai sejarah. Kemudian Monumen Pers
Nasional memiliki fungsi sebagai pelaksanaan pelestarian pemberian pelayanan
kepada masyarakat mengenai Monumen Pers Nasional dan produk pers nasional yang
bernilai sejarah, juga pelaksanaan administrasi Monumen Pers Nasional.
Berbeda dengan gedung Lokananta yang
sederhana. Monumen Pers berdiri tegak dengan gaya arsitekturnya yang khas. Gaya
arsitektur bangunan tersebut diadaptasi dari Candi Borobudur. Beberapa patung
naga yang sedang duduk tampak berjejer di depan Monumen Pers. Patung-patung
tersebut melambangkan kebijaksanaan.
Memasuki gedung monumen tersebut, kita
disuguhkan dengan duabelas patung tokoh penting dalam dunia pers Indonesia.
Tidak hanya itu, di bagian depan terdapat pemancar radio yang digunakan pada
masa perang Gerilya (tahun 1948-1949). Pemancar radio tersebut dijuluki radio “RRI
Kambing”. Hal tersebut karena pemancar tersebut pernah disembunyikan di kandang
kambing untuk menghindari kolonial Belanda.
Sebelum mengelilingi gedung yang
megah tersebut, terlebih dahulu kami melihat tayangan menarik mengenai Monumen
Pers. Di dalam film pendek tersebut diceritakan peran dan fungsi Monumen Pers
tersebut
Selain menyimpan benda-benda
bersejarah, monumen tersebut juga memiliki perpustakaan. Buku-buku yang
tersimpan di dalamnya berjumlah tigabelas ribu. Tidak hanya itu, gedung
tersebut juga memiliki ruang penyimpanan majalah dan surat kabar. Sehingga saat
itu, saya menyempatkan diri berlama-lama untuk membacara majalah dan surat
kabar di sana.
Monumen Pers Nasional ini juga melakukan
digitalisasi berbagai surat kabar dan majalah kuno. Pendigitalisasian disini
bertujuan agar jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu terhadap lembaran surat kabar
aslinya, setidaknya tempat ini masih memiliki back-up-annya berupa gambar
digital. Selain itu, alasan lainnya adalah agar pengunjung dapat mengakses
surat kabar-surat kabar kuno tersebut dengan lebih mudah. Selain itu, Monumen
Pers Nasional juga memberikan pelayanan-pelayanan berupa media center tempat
mengakses data, papan baca untuk masyarakat, perpustakaan, ruang dokumentasi,
pelayanan riset dan kunjungan ilmiah, pameran, seminar, serta pelayanan berupa
MPLIK (mobil pelayanan internet kecamatan).
Sebagai pusat dari barang-barang
bersejarah perkembangan pers Indonesia, Monumen Pers Nasional memiliki
koleksi-koleksi berharga yang merefleksikan nilai-nilai perjuangan pers dari
zaman penjajahan hingga saat ini. Sebut saja beberapa mesin-mesin ketik kuno
yang di produksi sekitar tahun 1920-an. Disini juga bisa ditemukan berbagai
contoh majalah dan koran-koran kuno, dari yang berbahasa Indonesia dengan ejaan
lama hingga yang berbahasa Belanda.
Di Monumen Pers Nasional ini juga
terdapat beberapa perlengkapan yang dipakai oleh wartawan-wartawan yang
mewakili peristiwa bersejarah, seperti perlengkapan terjun payung Trisno Yuwono
yang digunakan untuk merekam fenomena gerhana matahari penuh di Tanjung Kodok,
pakaian dari seorang wartawan perang Hendro Subroto, serta kamera dari wartawan
Fuad Muhammad Syafruddin yang dibunuh akibat kerap mengkritisi rezim Orde Baru.
Selain itu terdapat pula Microfilm,
Portable Mixer, kentongan Kyai Swara Gugah, kamera kuno, berbagai koleksi
etnografi daerah Maluku, telepon antar stasiun, serta bebagai cetakan dan plat
cetakan surat kabar di Indonesia yang bernilai sejarah. Semua barang-barang
tersebut masih dirawat dan tersusun rapi di Monumen Pers Nasional.
Maka dari itu, Monumen Pers Nasional
merupakan refleksi perjuangan para pegiat pers di Indonesia. Tempat tersebut
tidak hanya menjadi media pembelajaran tetapi juga untuk melihat geliat Pers di
Indonesia yang penuh dengan pasang surut. Mulai dari perjalanan Pers Indonesia
di masa kolonial sampai menjebol orde baru untuk mendapatkan kejayaan
reformasi.
Setelah melakukan kunjungan di
Monumen Pers, pukul 16:00, kami bergegas menuju bus. Waktunya pulang, membasuh
rindu di kota Yogyakarta. Ada satu hal yang mengganjal dihatiku; yaitu
kunjungan yang tidak sempurna. Sampai saat ini, aku merasa bahwa kunjungan
tersebut tidak benar-benar membawaku ke dalam sejarah. Hal ini dikarenakan
semua orang lebih memilih berburu foto dan berfoto daripada mencari esensi dari
tempat itu. Entahlah, hanya satu, dua orang saja yang bergegas menuju petugas
yang menjaga tempat tersebut dan bertanya-tanya. Selebihnya, asyik dalam
kelindan foto.
Akan tetapi, aku tetap senang dapat
berkunjung ke Solo. Melihat Lokananta dan Monumen Pers. Aku tidak menyangka, di
kota Solo yang terbilang lebih kecil dari Yogyakarta, ia membawa banyak
sejarah. Dari sana pula, aku merengkuh banyak cerita.
Dan saat ini, aku sedang
berangan-angan untuk kembali ke sana – khususnya Monumen Pers Nasional. Aku
ingin sekali menghabiskan waktu membaca buku di perpustakaan. Semoga aku bisa
kembali ke sana. Dalam perjalanan menuju Yogyakarta, aku terus kepikiran agar
bisa kembali ke sana.
Dan sesampainya di kota Yogyakarta;
mendekati waktu adzan maghrib; seorang teman memanggil, “Ayo latihan Komanus,”.
Lelah hari itu harus dikuras habis sampai latihan drama selesai.
Terakhir, aku ingin menyampaikan
bahwa ponselku, tipe evercoss, hilang di sana. Sepertinya ketinggalan di bus
waktu menelepon Nelsa yang ketinggal di Monumen Pers. Raib. Ah, sudahlah.
Comments
Post a Comment