Berkunjung ke Rumah Teman
http://rnbdesigngroup.com |
Rasanya lucu
juga memikirkan hal ini; berkunjung ke rumah teman. Kalau orang Jawa lebih
akrab menyebutnya sowan. Dan
tiba-tiba saja hari ini saya terpikirkan hal tersebut. Selain lucu, saya juga
merasa ada hal-hal yang hilang dari tradisi ini. Rasanya sudah lama sekali tidak
berkunjung ke rumah teman untuk hal-hal yang sepele.
Artinya saya
tidak benar-benar berniat berkunjung karena hal khusus yang harus disampaikan.
Misalnya saja seperti yang saya lakukan bulang kemarin. Saya berkunjung ke
beberapa teman saya – yang kebetulan jarak rumahnya dengan rumah saya sampai
belasan kilometer. Hal yang menyebabkan saya begitu menggebu-gebu ingin
berkunjung adalah karena kami sudah lama tidak bertemu.
Bahkan, dari
salah seorang teman itu, saya hampir tidak bertemu dengannya sampai satu tahun.
Karena merasa tidak sanggup menanti satu semester untuk meluangkan bertemu satu
hari, saya nekat mencari alamat rumahnya dan bertandang ke sana – sendirian.
Entahlah, waktu itu saya hanya berpikir saya harus berkunjung ke rumah teman-teman
terdekat saya. Setidaknya, itu adalah salah satu simbol bahwa saya tidak pernah
main-main dengan relasi pertemanan dan silaturahim.
Saat ini tradisi
itu kian memudar. Kalau dulu saya selalu mencari alasan agar bisa ke rumah
teman. Sekarang saya dan beberapa teman mengandalkan alat komunikasi berupa
ponsel pintar. Mereka mungkin menawarkan kemudahan. Tetapi tidak pernah
mememberikan kenyataan, kesempurnaan, dan keabadiaan. Saya pribadi tidak
terlalu suka jika harus ngobrol dengan Bapak dan Ibuk melalui telepon. Jika
saya sudah kelewat kangen, saya harus segera pulang. Sebab, melihat dan meraba
menyempurnakan pendengaran yang tidak pernah saya tahu bagaimana kondisi
sebenarnya.
Sebab itu saya
tiba-tiba jadi merindu dengan kebiasaan berkunjung ke rumah teman dengan
alasan-alasan yang sederhana. Dulu, dulu sekali, di awal tahun 2000-an, sedang
ngetrend-ngetrendnya berkunjung ke rumah teman malam-malam hanya untuk bertanya
tentang pekerjaan rumah. Lucunya, terkadang mereka datang hanya untuk
memastikan apakah PR yang diberikan memiliki makna intruksi yang bisa dipahami
bersama atau tidak. Dulu saya dan teman-teman bahkan berdiskusi rumah siapa
lagi yang akan kami tandangi. Walaupun hanya berjarak beberapa RT rasanya cukup
senang bisa berkunjung ke rumah orang lain.
Sewaktu masih
sekolah dasar (SD), teman-teman saya sering sekali datang ke rumah untuk
hal-hal yang sepele. Waktu itu ponsel masih sangat mahal dan tidak semua rumah
memiliki sambungan kabel telepon. Rumah saya dan teman-teman sekelas pun
berdekatan. Jadi, rasanya, tidak ada alasan lagi untuk tidak berkunjung. Walaupun
hanya urusan sepele seperti bertanya PR, mengerjakan tugas bersama, atau hanya
sekadar ingin tahu kamar masing-masing.
Lucu juga
mengingatnya. Dulu kalau mampir ke rumah teman, ruang pertama yang ingin saya
dan teman-teman saya jelajahi adalah kamar. Entah apa yang membuat anak-anak
seperti kami senang berkunjung ke kamar orang dan bermain-main dengan
pajangan-pajangan lucu seperti patung-patung kecil dan pigura-pigura foto.
Kalau sekarang? Kamar adalah ruang pribadi. Ruang privat yang bahkan kedua
orang tua pun kadang memiliki batas untuk tidak masuk. Yah, kecuali fakta bahwa
saya adalah seorang anak kos yang tidak mungkin menyembunyikan kamar saya.
Sebab, kamar adalah satu-satunya ruang yang saya miliki di tanah perantauan.
Saat masih SD
dulu, beberapa teman saya datang ke rumah hanya untuk menanyakan pekerjaan
rumah, meminjam buku paket, atau mengerjakan LKS bersama. Waktu itu rasanya
sangat menyenangkan jika ada kunjungan. Tamu-tamu Bapak juga masih banyak dan
biasanya selalu bertandang sampai semalaman. Beberapa membawakan bingkisan
seperti kue basah, ayam panggang, ikan bakar, martabak, dan lain-lain. Saya
senang kalau ada teman Bapak yang datang. Ada saja makanan yang dikirimkan.
Sayangnya Ibu selalu melarang kami memakan makanan-makanan itu kalau tamunya
belum pulang. “Ora ilok,” begitu kata Ibuk. Dan saya kadang berharap tamu-tamu
Bapak cepat pulang supaya saya dapat memakan bingkisan-bingkisan mereka dengan
segera. Kini, rumah sepi. Tamu-tamu sudah tidak ada lagi.
Saya berpikir
mungkin karena teknologi semakin canggih. Hal-hal sepele tidak lagi harus
ditempuh dengan cara-cara yang rumit. Ada banyak sekali cara berkomunikasi yang
begitu mudah dilakukan tanpa harus bertandang ke rumah orang. Padahal dulu
banyak sekali alasan-alasan yang bisa saya kemukakan agar bisa main ke rumah
orang.
Tapi kini?
Rasa-rasanya
semua itu telah lepas begitu saja, luruh bersama waktu dan kemudahan-kemudahan
yang ditawarkan. Saat ini jarang sekali pintu diketok-ketok dengan jahil
kemudian pelakunya lari entah kemana. Tidak ada lagi yang berkunjung hanya
untuk menanyakan PR dan numpang ngerjain tugas karena tidak punya buku paket.
Tidak ada pula yang tiba-tiba datang meminta mengerjakan LKS bareng-bareng.
Sekarang, semua
itu, tradisi itu, hilang...
Ya, terkadang
saya ingin mengutuk teknologi. Sebab karena dia, kadang acara srawung bertatap muka jadi lenyap begitu
saja. Mereka memang menawarkan kemudahan, tetapi bukan keabadiaan. Bukan pula
kenyataan. Yang bisa seketika diraba, disentuh, dirasakan, dan hirup aroma
semerbaknya dalam-dalam.
Ah, saya rindu
berkunjung ke rumah teman. Mungkin suatu saat, saya perlu berkunjung ke rumah
teman-teman saya lebih banyak lagi. Tidak hanya dengan alasan karena lebaran
dan sudah lama tidak bertemu. Mungkin dengan alasan sepele, alasan sederhana
seperti numpang makan. Hahaha.
Oh, ya, kebetulan bulan lalu saya berkunjung ketiga orang teman saya. Di ketiga tempat itu juga saya dapat makanan gratis dan suguhan yang menyenangkan. Rasanya seperti hanya berkunjung untuk numpang makan. Memang, tidak tahu malu!
Comments
Post a Comment