UU Penyiaran No. 32/2002: Produk Hukum yang Inkonsistensi terhadap Demokratisasi
Runtuhnya
rezim Orde Baru membawa Indonesia pada proses reformasi politik. Undang-Undang
Penyiaran No. 32 tahun 2002 merupakan salah satu produk demokrasi yang lahir
dari semangat penggebrakan otoritarianisme. Sebelumnya penyiaran di Indonesia
diatur oleh UU No. 47/1997 dan berada di bawah naungan Departemen Penerangan.
Namun saat rezim Orde Baru runtuh dengan ditandai likuidasi Departemen Penerangan
tahun 1999, muncul ide untuk mengubah sistem otoriter ke demokratis dengan
membawa kembali frekuensi ke ranah publik.[1]
Setelahnya, perumusan revisi undang-undang serta pembentukan badan regulator
yang independen diusulkan oleh Komunitas Penyiaran Indonesia (KPI).[2]
Awalnya
UU Penyiaran No. 32/2002 menjadi spirit dari sistem yang lebih demokratis. Terdapat
lima indikator untuk mengukur sejauh mana undang-undang baru ini bersifat lebih
demokratis, yaitu; (1) kehadiran KPI sebagai regulator penyiaran; (2) munculnya
sistem siaran berjarinagan; (3) Dijaminnya keberadaan lembaga penyiaran
komunitas dan publik; (4) pembatasan lembaga penyiaran swasta; dan (5) niatan
mendorong lembaga penyiaran (utamanya televisi) lokal.[3]
Namun
telah lebih dari satu dekade sejak undang-undang tersebut muncul, kelima
indikator tersebut masih belum diterapkan dengan sempurna. Demokratisasi yang
diyakini akan terjadi melalui undang-undang tersebut mulai dipertanyakan karena
pada beberapa kasus, sistem penyiaran kembali pada nilai-nilai otoritarian. Menyikapi
hal tersebut, Wahyuni berpendapat bahwa asas dan prinsip sistem penyiaran yang
seharusnya direalisasikan adalah sistem penyiaran demoktatis.[4]
Sejalan dengan yang dikemukakan Wahyuni, Amir Effendi Siregar juga menyatakan
bahwa UU No. 32/2002 akan mengubah arah sistem penyiaran. Sebelum reformasi,
sistem penyiaran di Indonesia menganut otoritarianisme dan sentralistis. Munculnya
UU Penyiaran no. 32/2002 menjadi landasan gerakan yang lebih demokratis dan desentralistis.[5]
Namun
pada kenyataannya beberapa klausul dalam undang-undang saling tumpang-tindih
dan bahkan bertentangan dengan peraturan menteri (permen).[6] Permen
No. 22 adalah salah satu contoh bentuk kontradiksi antara pelaksanaan
undang-undang dan Permen. Isi Permen tersebut telah mengabaikan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen yang mengatur siaran.
Menyikapi
persoalan yang demikian, dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi yang ingin
dijalankan dari Undang-undang No. 32/2002 belum dapat terpenuhi karena belum
sejalan dengan Permen. Padahal konsep mengenai penyiaran yang ideal telah
ditetapkan dalam undang-undang penyiaran no. 32/2002. Dalam undang-undang
tersebut telah memuat karakter dan prinsip pengelolaan media penyiaran.
Karakterisasi
Media Penyiaran masih Belum Tercapai
Karakter
media penyiaran di Indonesia terdiri dari empat hal, yakni: (a) penyiaran
diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional (Pasal 6 ayat 1); (b) dalam sistem penyiaran nasional tersebut,
negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan
penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 6 ayat 2); (c) dalam
sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang
adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan
stasiun lokal. Adil dan terpadu yang dimaksud di sini dengan demikian adalah
pencerminan adanya keseimbangan informasi antardaerah serta antara daerah dan
pusat (Pasal 6 ayat 3); (d) Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah
komisi penyiaran. Komisi ini kemudian disebut dengan Komisi Penyiaran Indonesia
(Pasal 7 ayat 1).[7]
Keempat
karakteristik tersebut menggambarkan bagaimana sebuah konsep media penyiaran
seharusnya. Namun dalam implementasinya, berbagai lembagai penyiaran masih
mengabaikan empat karakteristik tersebut dan belum mencapainya sebagai bentuk
demokratisasi. Satu sistem penyiaran
nasional sendiri memilki makna bahwa penyiaran dilakukan dengan jaringan yang
mencakup seluruh wilayah Indonesia. Artinya, selain siaran harus bersifat
nasional (mencakup konten lokal dan budaya setempat), penyiaran juga harus
dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Sedangkan
poin utama dalam karakteristik yang kedua menyinggung permasalahan frekuensi.
Dalam hal ini, frekuensi adalah benda (milik) publik yang bersifat terbatas dan
tujuan utama pemberdayaannya adalah untuk memakmurkan rakyat[8].
Artinya publik berhak memperoleh keuntungan sosial. Publik melalui lembaga yang
mewakili mereka berhak menentukan perlu tidaknya suatu lembaga penyiaran
dilahirkan, baik penyiaran komersial publik maupun komunitas.
Namun,
perdebatan mengenai frekuensi menjadi persoalan utama dari seluruh sikap dasar
menyangkut regulasi penyiaran. Berkali-kali masyarakat mengalami kecolongan
frekuensi tetapi tidak menyadarinya. Frekuensi yang seharusnya menjadi domain
publik malah beralih menjadi kepentingan ekonomi dan politik sebagian kalangan
elite dan pemilik modal untuk diperdagangkan dengan cara-cara kolutif, non
prosedural, dan tidak transparan.[9]
Padahal,
UU Penyiaran No. 32/2002 telah membatasi penggunaan frekuensi demi menghindari
praktik monopoli dan oligopoli dalam penguasaan media. Sebagaimana yang
tertuang dalam UU penyiaran pasal 1 ayat 8, frekuensi seharusnya tak bisa
diperdagangkan begitu saja.[10] Tetapi
realitas yang ada tidaklah demikian. Kepemilikan frekuensi tetap saja berada pada
segelintir kalangan elite dan pemilik modal. Hal ini terjadi karena UU
penyiaran yang tersedia tidak mampu menghalangi hasrat pengusaha dalam
berbisnis. Untuk memiliki frekuensi lebih dari yang ditetapkan, pengusaha dapat
melakukannya melalui perdagangan saham. Dalam UU Perseroan Terbatas No. 40/2007
hal demikian tidak dilarang.[11]
Persoalan
frekuensi ini juga akan melatarbelakangi masalah sistem stasiun jairngan (SSJ)
dan siaran Lokal. Keduanya merupakan karakteristik ketiga yang harus terdapat
dalam media penyiaran di Indonesia. Telah disebutkan sebelumnya bahwa penyiaran
dilaksanakan dalam satu sistem siaran nasional. Dalam hal ini yang memiliki hak
penyiaran nasional ialah TVRI dan RRI.[12]
Bagi lembaga penyiaran swasta harus menganut SSJ dan memuat siaran lokal sebagai
salah satu pemenuhan informasi kedaerahan bagi masyarakat.
Namun
selama ini penyiaran di televisi swasta (nasional) sangat Jakarta-sentris.
Padahal televisi sebagai salah satu dari perangkat media massa dibutuhkan dalam
demokrasi jangkauan nasional yang mencakup berbagai daerah. Namun, berita
“daerah” hanyalah berita yang dikirim oleh para wartawan kontributor di
berbagai daerah ke Jakarta.[13] Proses
informasi selalu berdasarkan bagaimana ‘orang-orang’ di Jakarta mengaturnya.
Padahal
dalam undang-undang penyiaran telah diatur bahwa konten siaran lokal
setidak-tidaknya 10% dari seluruh siaran. Namun tidak ada ketentuan apakah
siaran lokal harus diudarakan saat prime-time
atau waktu-waktu tertentu. Yang jelas, kita dapat melihat bahwa siaran lokal
selalu diletakkan pada jam-jam yang tidak produktif seperti pukul 02.00 dini
hari. Bahkan beberapa lembaga penyiaran swasta tidak memuat siaran lokal.
Beralih
pada persoalan sistem stasiun jaringan (SSJ), Indonesia belum sepenuhnya dapat
menerapkan konsep ini. Proses peralihan dari siaran nasional ke SSJ pun
membutuhkan waktu yang cukup lama dan sempat tertunda. SSJ yang seharusnya
telah dilaksanakan akhir tahun 2007, baru berjalan mulai awal tahun 2010. SSJ
merupakan upaya menciptakan keragaman informasi media massa selayaknya
merefleksikan struktur dan isinya sesuai dengan keragaman realitas sosial,
ekonomi, dan budaya. SSJ berusaha agar stasiun jaringan tidak bersifat
sentralistik di Jakarta saja. Namun juga di daerah-daerah lain sehingga
masyarakat lebih banyak memiliki banyak variasi dalam memilih siaran. Namun
dalam kenyataannya saat ini, SSJ masih dirasa sulit bagi institusi media
penyiaran dan masih mengukuhkan siaran nasional dengan pusat di Jakarta.
Persoalan
Jakarta-sentris dan keterlambatan SSJ tidak semata-mata dikarenakan karena
lalainya lembaga penyiaran swasta dalam mematuhi perundang-undangan.
Ketimpangan dalam pelaksanaan siaran lokal juga diakibatkan masa lalu
undang-undang yang kompleks. Kita mewarisi sistem dan regulasi lama (UU No.
24/1997) yang sangat berkebalikan dengan undang-undang baru (UU No. 32/2002).
Berdasarkan
undang-undang lama, stasiun TV swasta wajib berkantor pusat di ibukota negara,
sehingga televisi nasional terkonsentrasi di Jakarta. Sementara Undang Undang baru
justru mendorong munculnya penguatan daerah dengan keberadaan stasiun-stasiun
TV lokal, beserta local content-nya.[14]
Jika
meninjau permasalahan yang didapat dari ketiga karaktersitik di atas, kita
bertolak mengenai masalah pengawasan regulasi. Kehadiran KPI sebagai badan
regulator merupakan salah satu refleksi demokrasi yang diusung UU No. 32/2002.
Dalam sistem penyiaran yang demokratis, pengatur penyiaran tidak dilakukan oleh
pemerintah, tapi lembaga negara yang independen.[15]
Namun
dalam implementasi yang sesungguhnya, undang-undang tersebut tidak melahirkan
lembaga regulator yang progresif. Wahyuni menyatakan bahwa alasan utama adalah
tidak terjadinya perubahan fundamental dalam hal regulator penyiaran.[16]
Dalam hal ini, kita dapat memahami bahwa aktor dalam birokrasi pengawasan media
penyiaran adalah orang-orang yang sama dengan sistem baru.
Paulus
Widiyanto, menyatakan bahwa KPI seharusnya mampu mengelaborasi hal-hal yang
belum diatur dalam undang-undang. Namun, dalam kenyataannya KPI tidak menjadi
regulator yang tunggal.[17]
KPI hanya berkutat pada sisi konten saja. Sementara perizinan tetap berada di
tangan pemerintah. Adapun pemerintah diwakili oleh Menteri Komunikasi dan
Informasi (Menkominfo) dalam mengatur perizinan siaran.
Sulitnya
Mengimplementasikan Prinsip Pengelolaan Media Penyiaran
Kesulitan
implementasi prinsip pengelolaan media penyiaran terjadi karena tidak
terlaksananya karakterisasi yang harus terdapat dalam media. Berdasarkan UU No.
32/2002, prinsip dasar pengelolaan media penyiaran adalah sebagai berikut:
...prinsip penjaminan dari negara
agar aktivitas penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak
positif bagi publik. Dalam hal ini, publik harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat,
memanfaatkan, mendapatkan perlindungan, serta mendapatkan
keuntungan dari kegiatan penyiaran. Guna mencapai keberhasilan dari prinsip ini, juga dibutuhkan prinsip
lain, yang secara melekat (embedded) menyokongnya, yakni prinsip diversity of ownership (keberagaman
kepemilikan) dan diversity of content (keberagaman isi) dari lembaga
penyiaran. Dengan kedua prinsip diversity ini diharapkan, negara dapat
melakukan penjaminan terhadap publik melalui penciptaan
iklim kompetitif antar lembaga penyiaran agar bersaing secara sehat dalam menyediakan pelayanan informasi yang terbaik
kepada publik.[18]
Prinsip-prinsip
yang tertuang dalam undang-undang tersebut mencakup keterbukaan akses,
partisipasi, serta perlindungan dan kontrol publik, diversity of ownership (keberagaman kepemilikan), dan diversity of content (keberagaman isi).
Prinsip yang pertama memberikan peluang akses bagi setiap warga negara untuk
menggunakan dan mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional. Pada prinsip
ini mencakup persoalan tentang pemanfaatan frekuensi, penjaminan informasi,
partisipasi dalam pembangunan nasional, serta pengawasan dan kontrol publik
dari KPI.
Sejauh
ini, implementasi dari prinsip pengelolaan ini telah termanifestasi. Masyarakat
saat ini mampu mengakses informasi melalui TV Swasta setiap hari selama 24 jam.
Namun, pada hakikatnya kemudahan akses informasi yang diperoleh masyarakat
adalah semu. Televisi – khsusnya swasta tidak mengedepankan informasi yang
aktual dan dibutuhkan masyarakat. Televisi hanya berorientasi pada
komersialisasi dan bisnis industri hiburan yang dilakoninya.
Untuk mewujudkan prinsip pertama dibutuhkan diversity of ownership dan diversity of content. Keduanya merupakan konsep yang harus dipertahankan untuk menjaga demokratisasi media. Diversity of ownership ditujukan agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan modal (capital) dalam lembaga penyiaran, serta saat bersamaan diarahkan untuk mendorong adanya pelibatan modal dari masyarakat luas di Indonesia. Sementara diversity of content berarti menjamin keberagaman isi siaran, yang selaras dengan semangat dan eksistensi kultur bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralis. Artinya, berbagai kelompok budaya, etnik, agama, ras dan golongan mempunyai posisi dan peluang yang sama dalam penyiaran.
Untuk mewujudkan prinsip pertama dibutuhkan diversity of ownership dan diversity of content. Keduanya merupakan konsep yang harus dipertahankan untuk menjaga demokratisasi media. Diversity of ownership ditujukan agar tidak terjadi konsentrasi kepemilikan modal (capital) dalam lembaga penyiaran, serta saat bersamaan diarahkan untuk mendorong adanya pelibatan modal dari masyarakat luas di Indonesia. Sementara diversity of content berarti menjamin keberagaman isi siaran, yang selaras dengan semangat dan eksistensi kultur bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralis. Artinya, berbagai kelompok budaya, etnik, agama, ras dan golongan mempunyai posisi dan peluang yang sama dalam penyiaran.
Diversity of ownership dan diversity of content memang penting
tetapi tidak cukup diterjemahkan hanya dengan keberadaan sebanyak-banyaknya
lembaga penyiaran swasta di daerah, dengan pemilik yang beragam latar
belakangnya. Sistem penyiaran yang demokratis tidak identik dengan sekadar
jumlah stasiun televisi yang banyak dan dimiliki sembarang orang. Tetapi ada
karateristik lain yang harus dipenuhi, yaitu quality of information and culture available to public. Dalam hal
ini, kesimbangan antara jumlah media, kepemilikan yang beragam, dengan daya
dukung ekonomi amatlah penting diperhitungkan agar kualitas isi terjaga.
Dalam
menyikapi persoalan keberagaman kepemilikan dan isi, karakter pengelolaan media
penyiaran mengenai frekuensi sebagai ranah publik, sistem stasiun jaringan, dan
siaran lokal harus terpenuhi. SSJ dan siaran lokal yang sampai saat ini belum
terlaksana menjadi akar dari permasalahan keberagaman kepemilikan dan isi
karakter. Stasiun TV berjaringan
diarahkan menuju pada penghargaan diversity
of culture. Artinya setiap budaya
diberikan hak untuk tampil. Selain itu, program siaran juga harus sesuai dengan
etika yang tertuang dalam P3SPS. KPI, sebagai badan regulator harus mengawasai
konten siaran sesuai dengan P3SPS yang telah ditetapkan.
Jika
menilik permasalahan kepemilikan, kita bisa menengok ke masa lalu bahwa dulunya
media penyiaran di Indonesia dikuasai oleh kroni-kroni Soeharto. Tampaknya
berbagai lembaga media penyiaran dimiliki oleh orang yang berbeda-beda. Namun
pada kenyataannya, semua media penyiaran saat orde baru di bawah kuasa Soeharto
dan antek-anteknya. Tidak berbeda jauh dengan sekarang, kepemilikan media hanya
direngkuh oleh segelintir elite. Persoalan
penyiaran yang lain adalah tentang monopoli media.
Kini
sepuluh stasiun televisi yang semestinya berjaringan namun bersiaran secara
nasional, dimiliki semakin sedikit perusahaan karena pemindahtanganan kepada
pihak lain. Pemindahtanganan ini terjadi pada stasiun televisi TV7 kepada pihak
Trans Corporation yang sudah memiliki Trans TV, pemindahtanganan izin siaran
TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) dan Global TV kepada pihak MNC yang telah
mempunyai RCTI, pemindahtanganan Lativi menjadi TV One, dan mergernya Indosiar
dan SCTV.
Padahal
Indonesia telah lama mempunyai aturan mengenai cross ownership media seperti yang termuat di dalam UU No. 32/2002
tentang penyiaran antara lain di pasal 20. UU tersebut juga telah memiliki
aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.52/2005 tentang
Penyelenggaraan penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan terdapat di pasal 35
mengenai pembatasan kepemilikan silang.
Permasalahan
media penyiaran di Indonesia memang begitu kompleks dan mencakup banyak hal.
Apalagi, permasalahan ini tidak hanya berakar pada satu persoalan saja. Namun persoalan
ini lahir dari struktur yang pada awalnya sudah tumpang-tindih. Perubahan
regulasi setelah reformasi yang berbanding terbalik dengan undang-undang yang
baru juga menjadi faktor munculnya ketimpangan dalam regulasi media penyiaran.
Hal ini dikarenakan undang-undang lama tetap mewarisi sifat otoritarianisme
yang tertinggal dalam birokrasi pengelolaan media penyiaran. Sekali pun UU No.
32/2002 didaulat sebagai kelahiran demokratisasi media penyiaran di Indonesia.
Undang-undang tersebut masih menyimpan banyak ambiguitas dan inkonsistensi
antara ototitarian dan demokratis. Diperlukan revisi yang intensif agar UU No.
32/2002 benar-benar menjadi regulasi yang bersifat demokratis tanpa menyisakan
sifat otoritarian.
Referensi:
Armanda, Ade.
2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia (Semua Mengalir ke Jakarta),
Yogyakarta: Bentang.
Judhariksawan. 2010. Hukum Penyiaran. Jakarta:
Rajawali Press
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke
Liberal. Yogyakarta: LkiS
Mc Quail, Denis., Mass Communication Theory, Fifth Edition, Sage Publication, London,
Thousand Oaks, New Delhi, 2005
Pandjaitan,
Hinca IP dan Amir Effendi Sieragar (eds.). 2003 Membangun Sistem Penyiaran yang
Demokratis di Indonesia. Jakarta: PT Warta Global Indonesia.
Rianto, Puji.
2011. Dominasi TV Swasta (Nasional):
Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan. Yogyakarta: Yayasan Tifa.
__________dkk.,
2012, Digitalisasi Televisi di Indonesia: Ekonomi Politik, Peta Persoalan, dan
Rekomendasi Kebijakan. Yogyakarta: PR2Media-Yayasan Tifa
Sudibyo, Agus, 2004. Ekonomi Politik Media
Penyiaran. LkiS: Yogyakarta.
Jurnal:
Wahyuni, Hermin
Indah, “Ekonomi Politik Kebijakan Penyiaran Indonesia: Aspirasi, Pilihan, dan
Realitas”. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Vol. 10 No 2 (November
2006)
Siregar, Amir
Effendi, “Melawan dan Mencegah Monopoli serta Membangun Keanekaragaman, Jurnal
Sosial Demokrasi, Volume 3, No 1 (Juli-September 2008)
Daring:
Hidayat, Agung,
Benturan Regulasi di Media Penyiaran dalam http://www.balairungpress.com/2013/02/benturan-regulasi-di-media-penyiaran/, diakses tanggal 18 Oktober 2014
Sudibyo, Agus,
“Regulasi Penyiaran KPI atau Pemerintah” dalam http://agussudibyo.wordpress.com/2008/03/28/regulator-penyiaran-kpi-atau-pemerintah/ diakses pada
18 Oktober 2014.
Hanry Subiakto,
“Televisi dan Regulasi Sistem Siaran Berjaringan” dalam http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70830-media-Regulasi%20Penyiaran.html, diakses tanggal 18 Oktober 2014
Ketentuan UU
Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik, dan Prinsip Dasar Penyiaran di
Indonesia dapat diakses di ww.kpi.go.id.
[1] Masduki,
Regulasi Penyiaran: Dari Otoriter ke Liberal (Yogyakarta: Lkis), hlm. 14
[2] Ibid., hlm. 114
[3] Puji
Rianto, Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan
Kepemilikan, (Yogyakarta: Yayasan Tifa) hlm. 22-26
[4] Hermin
Indah Wahyuni, “Ekonomi Politik Kebijakan Penyiaran Indonesia: Aspirasi,
Pilihan, dan Realitas”. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, Vol. 10 No 2
(November 2006), hal. 160
[5] Amir
Effendi Siregar, “Melawan dan Mencegah Monopoli serta Membangun Keanekaragaman,
Jurnal Sosial Demokrasi, Volume 3, No 1 (Juli-September 2008)
[6] Puji
Rianto dkk, 2012, Digitalisasi Televisi di Indonesia: Ekonomi Politik, Peta
Persoalan, dan Rekomendasi Kebijakan, (Yogyakarta: PR2Media-Yayasan Tifa), hlm. 40.
[7] Lih. Ketentuan
UU Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik, dan Prinsip Dasar Penyiaran
di Indonesia dapat diakses di ww.kpi.go.id.
[8] Masduki,
Regulasi Penyiaran: Dari otoriter ke Liberal (Yogyakarta: Lkis), hlm. 15.
[9] Agus
Sudibyo, “Regulasi Penyiaran KPI atau Pemerintah” dalam http://agussudibyo.wordpress.com/2008/03/28/regulator-penyiaran-kpi-atau-pemerintah/
diakses pada 18 Oktober 2014.
[10] Lih. UU
Penyiaran No. 32/2002 Pasal 1 ayat 8
[11] Agung
Hidayat, Benturan Regulasi di Media Penyiaran dalam http://www.balairungpress.com/2013/02/benturan-regulasi-di-media-penyiaran/ , diakses tanggal 18 Oktober 2014.
[12] Puji
Rianto, 2012, Dominasi TV Swasta (Nasional), Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan, (Yogyakarta:
Yayasan Tifa), hlm. 23
[13] Ade
Armanda, 2011. Televisi Jakarta di Atas Indonesia (Semua Mengalir ke Jakarta),
(Yogyakarta: Bentang), hlm. 29.
[14] Hanry
Subiakto, “Televisi dan Regulasi Sistem Siaran Berjaringan” dalam http://yayan-s-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-70830-media-Regulasi%20Penyiaran.html,
diakses tanggal 18 Oktober 2014
[15] Hinca
IP Pandjaitan dan Amir Effendi Sieragar (eds.) Membangun Sistem Penyiaran yang
demokratis di Indonesia, (Jakarta: PT Warta Global Indonesia, 2003), hal 186.
[16] Hermin
Indah Wahyuni, Op.Cit., hal 166.
[17] Puji
Rianto, Loc.Cit.
[18] Lih.
Ketentuan UU Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik, dan Prinsip Dasar
Penyiaran di Indonesia dapat diakses di ww.kpi.go.id.
Catatan: Ditulis dan dikerjakan dengan sepenuh hati untuk tugas UTS beberapa waktu lalu. Dan diunggah ketika sedang mengerjakan tugas take home UAS Media Penyiaran (lagi). Dalam posisi inkonsistensi dan paradoksial.
Catatan: Ditulis dan dikerjakan dengan sepenuh hati untuk tugas UTS beberapa waktu lalu. Dan diunggah ketika sedang mengerjakan tugas take home UAS Media Penyiaran (lagi). Dalam posisi inkonsistensi dan paradoksial.
Comments
Post a Comment