Posts

Showing posts from November, 2015

Makan Siang

Image
Di ruang ini, semua orang terlihat bahagia; mereka makan dengan lahap makan siang mereka. Seolah-olah tidak melihat, di ruang lain ada yang kelaparan. Menggelepar dalam bait jelang kematian. Mereka berharap sesuap nasi atau secuil roti dengan segelas air bersih yang mampu melepas dahaga. Tetapi, di ruang itu, tak mereka dapatkan harapan mereka yang hanya sejengkal. Sedangkan di ruang lainnya, tempat di mana orang-orang menyantap makan siang mereka – sembari memotretnya dan mengunggahnya ke dunia maya; tertawa-tawa kegirangan. Tidak ada yang berdua di sana. Tidak ada yang berduka di sini. Makan siang pun tetap terasa nikmat. Sayup-sayup terdengar, ada perempuan memekik dengan histeris; bayinya mati hari ini. Bayinya yang ketiga setelah bayi-bayi sebelumnya yang mati karena tidak mendapatkan air susunya. Di ruang yang lain, seorang pria menangis tersedu-sedu – sebab, ia terlambat membawakan sekerat nasi untuk anak laki-laki satu-satunya. Lengkingan lain masih terdengar. Kematian...

Hanya Diagnosa

Image
Memangnya, sejauh apa kamu mengenali orang lain? Saya mengingat ucapan salah seorang teman saya, bahwa manusia adalah dokter. Mereka mendiagnosa tiap-tiap hal yang terjadi di dunia ini. Pada kenyataannya, dokter pun tidak benar-benar mengenali sebuah penyakit. Ia berbicara mengenai gejala dan mencoba mendiagnosa. Akan tetapi, mereka tidak benar-benar mengenali penyakit itu.

Mahasiswa, Masyarakat, dan Ilmu Pengetahuan

“Kalau kita ke daerah konflik, memangnya kita bisa membantu memecahkan masalah?” ujar salah seorang teman saya. Wajahnya begitu terlihat ragu dengan usulan saya untuk melakukan pengabdian masyarakat di daerah konflik. Katanya, mahasiswa tidak akan bisa melakukan apapun. “Memangnya kita bisa apa?” lanjutnya lagi – dengan mimik yang tidak bisa saya deksripsikan. Sekilas ia tampak merasa bersalah. Tetapi, saya juga melihat guratan ketidakpedulian dan keraguan atas eksistensi dirinya sendiri.

Mahasiswa, Bisa Apa?

Image
“Memangnya, apa sih yang bisa dilakukan oleh seorang mahasiswa?” tanya Mbah Sarijo kepada saya dan tiga orang rekan saya beberapa waktu lalu saat kami bertolak ke Kulonprogo. “Mahasiswa kuwi, iso opo?” ia kembali menanyakan dengan mimik keragu-raguan. Sementara itu kami berempat hanya terdiam. Diam karena tidak bisa menjawab. Atau mungkin diam karena sedang merenungi pertanyaan lelaki tua yang akrab dipanggil “Mbah Jo” itu. Dan mungkin, saya adalah salah satu dari ketiga teman saya yang merenungi ucapan Mbah Jo dengan keragua-raguan pula. Mbah Jo adalah salah satu petani yang dikriminalisasi karena kasus rencana pembangunan Bandara Kulonprogo (yang kini kasus tersebut belum selesai).