Hanya Diagnosa




Memangnya, sejauh apa kamu mengenali orang lain?

Saya mengingat ucapan salah seorang teman saya, bahwa manusia adalah dokter. Mereka mendiagnosa tiap-tiap hal yang terjadi di dunia ini. Pada kenyataannya, dokter pun tidak benar-benar mengenali sebuah penyakit. Ia berbicara mengenai gejala dan mencoba mendiagnosa. Akan tetapi, mereka tidak benar-benar mengenali penyakit itu.

Sama juga dengan manusia. Memangnya, sejauh apa kita mengenali orang lain? Ada satu kondisi di mana salah seorang teman saya tiba-tiba mengatakan begini, “Aku tahu kamu. Kamu pasti begini dan begitu,”. Ucapan itu begitu lantang dan terus berkumandang di benak saya. Sebetulnya, saya hendak menolak sekaligus menyangkal ucapannya dengan membalas, “Tahu apa kamu tentang aku,”

Akan tetapi saya tidak jadi mengatakannya. Saya mengurungkan niat itu sebab saya tahu hal itu hanya akan menambah persoalan yang baru.  Berdasarkan penuturannya, saya jadi bertanya-tanya: memangnya dia mengenal saya seperti apa. Kemudian, teman saya itu menjelaskan pengamatannya tentang saya sejauh ini. Dan, lucunya, semua pengamatan itu salah di mata saya. Saya jadi tahu, terkadang ada orang-orang sok tahu yang mengaku mengetahui segalanya. Padahal, kenyataannya mereka tidak mengetahui apapun. Benak mereka adalah kenihilan. Pengamatan mereka tida

Kenyataannya – semau orang; termasuk juga saya sendiri hanya berkelana pada benak mereka sendiri. Mereka melihat gejala tetapi tidak benar-benar mengingini realita akan suatu fenomena. Tetapi, pada kenyataannya pula, sekuat apapun kita mencoba memahami dan mengetahui suatu hal; bukankah kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Jujur, ketika teman saya mengatakan bahwa ia mengetahui saya (dalam hal ini, teman yang saya maksud di sini adalah seorang teman dekat), saya agak kecewa karena semua pengamatannya tentang saya salah.  Saya jadi ragu, sebetulnya, sejauh apa dia berusaha memahami saya. Jangan-jangan – seperti yang dikatakan oleh seorang teman yang lain – ada beberapa orang di lingkaran kita yang hanya berupa bayang-bayang: semu. Mereka ada tetapi tidak pernah benar-benar ada. Mereka terlihat tetapi tidak pernah mampu untuk dijangkau.

Sekarang saya sedang bertanya-tanya (mungkin pada rekan saya itu), memangnya sejauh apa kamu mengenali saya. Memangnya sejauh apa kita mampu mengenali orang lain? Manusia itu rumit, juga dinamis. Terkadang kita begitu sok tahu tentang orang lain. Padahal, untuk memahami dan mengenali diri sendiri saja masih kesulitan. Tetapi kita sudah mampu mengasumsikan orang lain seperti proyeksi yang ada dalam benak kita. Seolah-olah kita benar. Seolah-olah kita mengetahui semuanya. Padahal, sesungguhnya, kita tidak mengetahui apapun.

Hm. Masih mau bilang kamu benar-benar memahami orang lain? Setidak-tidaknya ada beberapa celah yang kita tidak tahu. Kalau begitu, kita tidak seutuhnya mengetahui kan? Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, manusia itu dokter. Mereka mendiagnosa gejala. Tetapi tidak benar-benar mengetahui penyakit apa yang diderita. Terkadang diagnosa itu benar. Tapi, ada juga diagnosa yang salah. Sama seperti pemikiran manusia. Kita tidak benar-benar tahu. Mungkin kita hanya merasa benar.


Memangnya, sejauh apa kamu memahami saya?

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan