Mahasiswa, Bisa Apa?
“Memangnya, apa sih yang bisa dilakukan
oleh seorang mahasiswa?” tanya Mbah Sarijo kepada saya dan tiga orang rekan
saya beberapa waktu lalu saat kami bertolak ke Kulonprogo. “Mahasiswa kuwi, iso
opo?” ia kembali menanyakan dengan mimik keragu-raguan. Sementara itu kami
berempat hanya terdiam. Diam karena tidak bisa menjawab. Atau mungkin diam
karena sedang merenungi pertanyaan lelaki tua yang akrab dipanggil “Mbah Jo”
itu. Dan mungkin, saya adalah salah satu dari ketiga teman saya yang merenungi
ucapan Mbah Jo dengan keragua-raguan pula. Mbah Jo adalah salah satu petani
yang dikriminalisasi karena kasus rencana pembangunan Bandara Kulonprogo (yang
kini kasus tersebut belum selesai).
“Karena kebetulan kami pers
mahasiswa, yang bisa kami lakukan mewacanakan isu, Mbah. Melempar isu ke
masyarakat,” salah seorang rekan yang sudah senior akhirnya menjawab. Menjawab
dengan cara yang normatif karena aku yakin ada banyak keragu-raguan pula yang
ada di dalam benaknya – tentang fungsi dan kebergunaan mahasiswa, khususnya
untuk masyarakat (marjinal). Dalam hal ini, saya sih cuman bisa menerjemahkan
kalau mahasiswa – maksud saya – pers mahasiswa “hanya” memiliki peran untuk
meliterasi masyarakat melalui tulisan. Kami membentuk opini – juga mengedukasi
masyarakat agar dapat berpikir jernih dan bersikap lebih obyektif.
Jujur saja, hingga kini –
pertanyaan Mbah Jo masih berputar-putar di otak saya. Sesekali ia menyelinap
dengan kejam dan merobek-robek hati nurani saya. Sesekali pula, ia hanya datang
sebentar karena telah tertumpuk persoalan lain. Tahun ini adalah tahun ketiga
saya berstatus sebagai mahasiswa. Dan ini adalah tahun kekosongan ketiga saya
menjadi seorang mahasiswa. Saya selalu bertanya-tanya; apa yang bisa saya
lakukan untuk masyarakat luas. Jika hanya terlalu banyak membaca; apa yang
harus saya lakukan untuk menyebarkan ilmu di dalamnya. Dalam agama, ada sebuah
sabda: “sebaik-baik orang adalah mereka yang memberikan manfaat”.
Lalu, kemudian, saya berkaca pada
diri saya sendiri. Di dalam cermin itu ada sesosok manusia yang tidak utuh.
Dalam tubuhnya terdapat lubang-lubang kosong dan celah-celah yang bernanah. Itu
saya – dengan ketidakbergunaan yang menyerang diri saya. Jika berbicara
mengenai pengabdian masyarakat, mahasiswa kini merujuk pada Kuliah Kerja Nyata
alias KKN. Saya sendiri, di tahun ketiga ini, sama sekali tidak memiliki
antusiasme terhadap KKN.
Entahlah, saya hanya terkadang
bahwa KKN adalah salah satu bentuk kebaktian yang tidak efektif untuk hal-hal
tertentu. Sebagian orang yang begitu serius dan benar-benar ingin mengabdi
kepada masyarakat mungkin berhasil. Tetapi, sebagiannya lagi, GAGAL. Mereka
bertolak cukup jauh. Tetapi yang ada di lingkaran benak mereka adala “plesir”.
Padahal, KKN itu ya mburuh. Berbaur
dan melekat pada masyarakat. Tetapi yang terjadi kini, KKN hanya dijadikan
ajang plesir jauh semata.
Lebih dari itu, saya melihat
program KKN ini semakin gagal ketika (ternyata) pengabdian masyarakat hanya
memiliki jangka waktu dua bulan. Rupanya, kita (mahasiswa ) terlalu banyak
berteori dan memaknai pengabdian masyarakat dengan cara yang begitu dangkal.
Saya katakan sekali lag, sebagian mahasiswa mungkin berhasil. Tetapi jumlah
mereka tidak banyak.
Jika melihat kultur yang terjadi
di kampus saya saat ini, fenomena yang terjadi adalah eksklusivitas antara
mahasiswa dan masyarakat. Ada sekat yang begitu tebal dan panjang – memisahkan realitas
penting dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap pagi, di Magelang, saat saya
masih sekolah – saya berangkat berjalan kaki. Di sepanjang jalan, saya bertemu
banyak orang dengan latar belakang. Di sanalah saya membagi senyum dan sapa –
juga sesekali bertanya tentang kabar.
Setelah saya kuliah, saya malah
jarang sekali menjumpai hal itu. Di lingkungan indekos – mahasiswa karut-marut.
Pergaulan dengan masyarakat adalah kenihilan. Jika dan hanya jika pengabdian
masyarakat dengan wujud KKN adalah salah satu jalan pintas pintu membuka sekat
itu – kenapa KKN selalu dimaknai dengan tempat yang jauh? Padahal tempat yang
jauh itu belum tentu lebih baik daripada yang kita lihat saat ini.
Saya sendiri sering bingung,
sebagian besar mahasiswa memilih nongkrong di Kafe, Restoran Hotel, tinggal di
apartemen mewah, dan berjalan-jalan di Mall. Saya tidak melarangnya. Saya hanya
gagal paham saja. Sebab, dengan serta-merta mereka semakin membangun sekat yang
lebih tebal dengan masyarakat. Saya tidak mampu menjelaskannya dengan lebih
deksktiptif lagi. Namun, di balik itu semua mereka sepertinya lupa ada
peristiwa berdarah-darah yang terjadi di balik pembangunan hotel, mall, dan
apartemen.
Sebagian mahasiswa mungkin
memiliki jalan aksi seperti romantisme masa lalu di era orde baru. Tetapi, kata
seseorang, cara ini sudah tidak efektif lagi. Zaman sudah berbeda – perlakuan yang
diberikan pun tidak lagi sama. Namun, sebagian mahasiswa masih mendewakan “aksi
demonstrasi” dibandingkan “negosiasi-mediasi” di jalur pemerintahan. Sedangkan,
beberapa mahasiswa yang lain menganggap bahwa “aksi” adalah tindakan yang bodoh
dan menguras tenaga. Tetapi, mahasiswa-mahasiswa yang beropini demikian (yang saya temui) tidak pernah melakukan
apapun untuk masyarakat.
Sementara itu – mahasiswa masih
saja menuntut eksklusivitas. Mereka adalah “maha”. Kemahaan mereka perlu
diakui. Kemahaan mereka adalah indikator intelektualitas. Suatu saat, mereka
akan bergelar sarjana, master bahkan sampai profesor. Namun, sepertinya, mereka
lupa bahwa kecerdasan bukan lagi persoalan berapa ijazah yang kita miliki. Juga
bukan tentang strata pendidikan yang telah kita tempuh. Lebih dari itu,
kecerdasan adalah tentang memecahkan masalah, menentukan posisi, dan memutuskan
sikap. Jika kecerdasaan adalah soal belajar – proses belajar itu sendiri tidak
selalu berada di lingkungan akademis. Belajar bisa di mana saja – bahkan di
pinggiran Kali Code yang bau.
Kini, saya tetap bertanya-tanya –
dan mungkin akan terus bertanya-tanya; mahasiswa itu sebenarnya bisa apa? Dalam
artian, apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa agar menjadi orang yang berguna
dan mampu membantu masyarakat. Sejauh mana peran mahasiswa? Apa dengan belajar
di kafe saja semua cukup? Apa hanya dengan menyumbangkan beras dan sejumlah
uang semunya selesai? Masyarakat tidak membutuhkan itu. Masyarakat membutuhkan
pemberdayaan. Lalu, sekarang, sejauh mana mahasiswa memiliki peran dalam
memberdayakan masyarakat? Sejauh mana mahasiswa memiliki fungsi mediasi yang
mampu memecahkan persoalan yang dialami oleh masyarakat tertindas? Kita tahu,
selama ini tidak ada yang mampu menolong masyarakat tertindas. Saya tidak
pernah menjumpai kemenangan masyarakat kecil atas suatu kasus dalam pengadilan.
Dan saya tahu, di balik perjuangan itu, hanya ada sebagian kecil mahasiswa yang
berjuang. Sisanya, dalam tahap gagasan. Parahnya, sebagian besar berada dalam
tahap yang melenakan.
Mungkin, Mbah Jo benar; mahasiswa
tidak bisa melakukan apapun untuk mereka. Mungkin ini juga yang menjadi pesismisme masyarakat terhadap mahasiswa. Ada sekat yang besar atau lingkungan akademik itu sendiri dengan interaksi sosial masyarakat. Beberapa petani di Kulonprogo bahkan
menyebut mereka hanya orang akademis yang mementingkan ilmu untuk ilmu semata. Mereka
hanya datang untuk penelitian – untuk tugas-tugas mata kuliah. Setelah
mendapatkan nilai sempurna – jejak mereka hilang.
Menurutmu sendiri, apakah ilmu
hanya sebatas untuk ilmu atau lebih dari itu? Menyikapi hal ini, saya hanya
bisa terngiang-ngiang ucapan seorang Filsuf bernama Michelle Foucault. Foucault
mengatakan, ilmu dan kekuasaan memiliki korelasi yang kuat. Saya – sebagai mahasiswa
– hanya takut jika suatu saat nanti, saya berubah menjadi bajingan karena ilmu
yang saya miliki. Bukannya, kalau begitu, saya tak ada ubahnya dengan
seorang penjahat. Hanya saja – nama saya bertitel banyak sekali. Dan saya mengatasnamakan ilmu atas kejahatan yang telah saya lakukan.
Ah, memangnya....
Ah, memangnya....
Mahasiswa itu... bisa apa?
Ups! Ralat! Memangnya... saya ini bisa apa? Toh, saya cuman mahasiswa biasa-biasa saja yang bajunya itu-itu saja... dan ingin cepat-cepat bertoga!
Ups! Ralat! Memangnya... saya ini bisa apa? Toh, saya cuman mahasiswa biasa-biasa saja yang bajunya itu-itu saja... dan ingin cepat-cepat bertoga!
Comments
Post a Comment