Mahasiswa, Masyarakat, dan Ilmu Pengetahuan

“Kalau kita ke daerah konflik, memangnya kita bisa membantu memecahkan masalah?” ujar salah seorang teman saya. Wajahnya begitu terlihat ragu dengan usulan saya untuk melakukan pengabdian masyarakat di daerah konflik. Katanya, mahasiswa tidak akan bisa melakukan apapun. “Memangnya kita bisa apa?” lanjutnya lagi – dengan mimik yang tidak bisa saya deksripsikan. Sekilas ia tampak merasa bersalah. Tetapi, saya juga melihat guratan ketidakpedulian dan keraguan atas eksistensi dirinya sendiri.


Mendengar penuturan dari teman saya itu, saya dapat berkonklusi bahwa pesimisme tidak hanya terjadi pada masyarakat. Tetapi juga terjadi pada mahasiswa itu sendiri. Terdapat keraguan yang begitu besar atas dirinya sendiri – bagaimana mahasiswa berusaha memaknai peran-peran yang dapat dilakukannya. Saya sih, dengan agak sok tahu, berpendapat bahwa mungkin ini adalah sebuah krisis.

Krisis besar yang dialami oleh masyarakat dengan kalangan akademisi. Terdapat pertanyaan besar apakah ilmu adalah penyelamat umat manusia. Atau sebaliknya, mengutip Foucault, ilmu pengetahuan adalah medium produksi-reproduksi atas kekuasaan. Mungkin bisa dibilang, krisis kepercayaan – baik yang terjadi pada masyarakat maupun mahasiswa terjadi karena keduanya sudah saling pesimis. Bisa jadi juga karena ketiadaan kepedulian. Kenihilan atas kepedulian antarsesama lenyap begitu saja.

Celakanya, lenyapnya kepedulian itu – digantikan oleh sekat-sekat yang tebal ditimbulkan oleh tembok-tembok kampus yang seolah-olah menjulang tinggi – melarang masyarakat biasa untuk berbaur. Saya sendiri juga terheran-heran – interaksi antara masyarakat dan warga begitu nihil – hampir-hampir nol.

Beberapa waktu lalu saya mewawancara sejumlah aktivis Jogja yang konsisten dalam melawan ketidakadilan di Yogyakarta. Saya senang mendengarkan mereka berbicara. Lebih-lebih jika mereka sudah emosi. Hahaha. Sebab, dari perasaan emosional yang mereka luapkan itu – dari kemarahan yang sudah tak terbendung lagi itu – bentuk protes semakin terlihat jelas. Dalam hal ini, mereka betul-betul tidak dapat menerima perlakuan yang demikian. Aktivisme pun dengan serta-merta muncul – protes atas penindasan yang mereka dapatkan terus digencarkan. Nah, inilah yang saya suka dari Jogja.  Segala bentuk aktivisme ada di Jogja. Bagaimana warganya berkorespondensi dengan konsisten terhadap berbagai kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan pemilik modal. Kalau ditanya apa istimewanya Jogja, buat saya yang istimewa ya warganya.

Kapan lagi saya bisa ngobrolin politik dan sosial dengan petani di tempat angkringan? Kapan lagi saya bisa diskusi politik dan sosial dengan dosen-dosen bergelar profesor di kantin-kantin kampus? Di sini, di kota jogja... saya bisa ngomongin politik bersama orang “kelas bawah” sampai “kelas atas”[1] di ruang yang sama dengan topik yang sama – dan gilanya dengan konklusi dan solusi yang sama. Artinya apa? Baik petani, tukang becak, tukang bengkel, sampai profesor sekalipun – dengan status pendidikan yang berbeda jauh -  memiliki perspektif yang sama. Melalui pengalaman saya ngobrol dengan banyak orang, saya bisa saja mengatakan bahwa semua orang di Jogja sama cerdasnya. Yang membedakan hanya titel-titelnya saja.

Kembali lagi dengan para aktivis yang tadi saya singgung. Sejumlah aktivis itu,  sewaktu saya wawancara – serempak mengatakan bahwa kampus saya memiliki dosa-dosa besar. Dari Teluk Benoa sama Bandara Kulunprogo. Saya sih cuman bisa mesam-mesem saja mendengarkan aktivis itu menyumpah-serapahi kampus saya. Saya juga cuman bisa heha-hehe sembari mendengarkan keluhannya atas tingkah akademisi yang tidak “pro rakyat”.

Saya jadi ingat, beberapa bulan lalu pernah mewawancara seorang akademisi yang mengatakan bahwa ilmuwan tidak mesti harus membela rakyat. “Sekarang ini ilmuwan sering dikaitkan dengan rakyat. Harus membela rakyat. Padahal, ilmuwan itu harus netral,” ujarnya. Dia juga sempat curhat ke saya kalau dia takut pernyataannya disalahgunakan seperti dosen-dosen lain yang didemo karena dianggap tidak pro rakyat.

Saya jadi bingung. Memangnya, sejauh apa seseorang bisa bersikap netral. Kalau dikontekstualisasikan dengan berbagai persoalan yang menyangkut peran-peran akademisi, saya cenderung membenarkan apa yang diucapkan oleh aktivis yang saya wawancara kemarin. Sebab, jika kita berbicara tentang prinsip keadilan dan kepentingan – ilmu tentunya tidak bisa berdiri sendiri.
Dalam hal ini ilmu tidak bisa sepragmatis itu dengan hanya berorientasi pada “ilmu untuk ilmu”. Toh, hasil dari pengetahuan itu sendiri adalah penggunaan atau pemanfaatan. Pada posisi ini, kitalah yang harus bijak, mau menggunakan atau memanfaatkan ilmu ke arah yang lebih positif atau negatif. Ilmu mungkin bisa netral. Ilmuwan mungkin bisa bersikap netral. Tetapi basisnya hanya “ilmu untuk ilmu” saja. Jika sudah berbicara tentang pemanfaatan dan penggunaan, tentunya itu adalah hal yang lain lagi.

Mungkin hal ini pula yang menyebabkan mahasiswa terserang krisis identitas. Pemaknaan akan ilmu begitu “buruk”. Ilmu hanya dimaknai sebatas ilmu. Pengetahuan antara sains teknologi dengan sosial humaniora terpisah dan dikotak-kotakkan. Seolah-olah, kedua ilmu ini tidak berkesinambungan. Saya bisa mencontohkan pembangunan rumah susun untuk solusi perkampungan kumuh. Orang-orang yang berbicara teknis dan infrastruktur saja, dengan serta merta memindahkan warga kampung kumuh ke rumah susun tanpa mempertimbangkan aspesk sosial dan budaya. Padahal, kultur rumah susun dan kampung jelas berbeda. Sebab rumah susun memiliki sistem vertikal sedangkan kampung memiliki sistem horisontal. Tentunya interaksi sosial yang akan terjadi berbeda. Apalagi jika warganya sudah terbiasa dengan sistem pemukiman horisontal tetapi dipaksa tinggal di sistem vertikal.

Celaka sekali jika ilmu memang hanya dimaknai demikian. Persis sewaktu saya masih SMA ketika penjurusan dibedakan atas dasar pengelompokan ilmu sosial dan alam. Seolah-olah keduanya tidak bersinambungan. Seolah-olah kedua ilmu memang dikotak-kotakknya – sehingga kesenjangan atas ilmu itu sendiri terjadi. Kini, mahasiswa pun juga mengalami krisis yang sama; memangnya apa yang bisa dilakukan oleh mereka untuk masyarakat?



[1] Saya kasih tanda kutip karena penggolongan kelas atas status pendidikan dan ekonomi sebenarnya tanpa makna buat saya.

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan