Ateis,
via http://s5.favim.com |
Aku tidak pernah tahu bawah
kesendirian bisa semenyakitkan ini. Dulu, aku benar-benar tidak menyangka, jika
dan hanya jika, kesepian bisa membuatku begitu menderita. Aku tak pernah tahu,
ternyata terjebak dalam sunyi bisa membuatku mual berkepanjangan. Ini
benar-benar menyakitkan. Padahal, aku pernah sekali berpikir; mungkin dunia
akan sangat menyenangkan jika aku seorang yang memilikinya. Aku bisa menguasai
semuanya tanpa gangguan apapun. Pada akhirnya, aku bisa berbuat sesukaku. Aku
hanya perlu mendengarkan diriku sendiri. Dan orang lain – tentang orang lain—aku
tak perlu bersusah payah mendengarkan mereka.
Sayangnya, semua itu jauh dari
ekspektasi. Kecintaanku terhadap sunyi berakhir senyap – dia pun juga tergerus.
Tiba-tiba saja aku teringat, bukankah Adam juga merasa kesepian? Ia pernah
menjadi satu-satunya manusia di bumi ini. Aku pikir dia seharusnya bahagia. Ia
tidak perlu repot dengan urusan orang lain. Tetapi rupanya, seorang Adam pun
juga pernah merasa kesakitan karena kesepian. Sebab itu, Tuhan kemudian menciptakan
Hawa dari tulang rusuknya. Kemudian mereka berketurunan. Dan akibat dari semua
itu, milyaran manusia hidup dalam kesunyian mereka masing-masing.
Aku pikir berteman dengan sepi
adalah hal yang menyenangkan. Tetapi kini aku sadar bahwa kesendirian bisa
menjadi hal yang menyakitkan. Namun, aku baru saja sedang berpikir. Bukankah
selama ini aku tidak sendiri? Ada atau tidak ada teman bicara, bukankah aku
memiliki Tuhan? Seharusnya kepada-Nyalah aku berbincang-bincang. Berdialog di
malam hari. Tetapi, toh, aku tidak melakukannya. Aku (belum) menginginkannya.
Aku mencari yang lain. Pikirku, aku membutuhkan sosok yang nyata. Empiris dalam
sentuhan dan penglihatan. Apakah aku bisa melihat Tuhan? Bukannya aku seperti
berbicara dengan angin? Namun, jika aku tak menganggap Tuhan menemaniku... Namun,
jika kemudian aku tidak menjadikan Tuhan sebagai teman (berbicara)...
Apakah aku seorang ateis?
Bukankah seharusnya, jika aku
mempercayai Tuhan, aku tak perlu takut menderita karena kesepian? Bukankah
seharusnya, jika aku mempercayai Tuhan, aku tak perlu merasa sakit hanya karena
sendiri? Bukankah seharusnya aku meyakini bahwa senyap atau tidak. Riuh atau
redam. Bising atau lengang, Tuhan akan selalu menemaniku? Mengapa aku masih
merasa sendiri. Katanya, Tuhan itu jauh lebih dekat dengan nadi kita. Bukankah
artinya, Tuhan benar-benar sangat dekat – menemaniku kemana pun. Tetapi, aku
masih merasa sendiri. Berada dalam kepadatan sepi dan kemeriahan sunyi. Senyap.
Jangan-jangan, aku ini seorang ateis?
Sebab, seharusnya, jika aku
mengaku percaya pada-Nya, tentu tak ada kata sendiri dalam sepi.
Mungkin saja, Adam juga seorang
ateis. Jika ia percaya pada Tuhan,
mengapa ia meminta Hawa? Jika Tuhan sudah menjadi segalanya, mengapa ia
memerlukan seorang rekan bicara? Bisa jadi, Adam pun seorang ateis. Mengapa ia
harus bersama Hawa jika Tuhan selalu ada untuknya? Mengapa ia harus merasakan
kesepian seolah-olah lupa bahwa Tuhan selalu bersamanya? Mengapa ia harus
mendapatkan Hawa untuk menemaninya jika Tuhan pun telah menemaninya?
Mengapa ia harus meretas rasa
kesepian yang begitu menyakitkan itu dengan keberadaan Hawa sementara ia abai –
bahwa Tuhan selalu bersama dirinya.
Seolah-olah semua manusia lupa bahwa ia tidak benar-benar sendiri.
Tetapi mereka merasa menderita padahal mengaku meyakini bahwa Tuhan selalu
bersama mereka. Coba bertanya sekali lagi, apakah benar kita mempercayai
keberadaan Tuhan? Jangan-jangan, kita ini, kita semua,
adalah seorang ateis. Percaya tetapi tidak mengakui.
Comments
Post a Comment