Iman


Tulisan ini merupakan keberlanjutan dari unggahan sebelumnya, ateis. Sila dibaca terlebih dahulu untuk memaknai duduk perkaranya.

via www.islam.com.


Aku baru saja membaca sebuah buku, di dalamnya tertulis “Sesungguhnya iman seseorang yang terafdal ialah ia merasa bahwa Allah bersamanya di mana saja,”. (HR. Hakim dan Baihaqi). Beberapa waktu lalu, aku menulis tentang kesendirian – juga rasa sepi yang tidak pernah sirna. Aku bahkan sempat menyebutnya sebaga rasa sakit dan bahkan penderitaan. Aku mengkonklusikan bahwa perasaan itu berkaitan dengan ketidakpercayaanku terhadap Tuhan. Aku menduga; mungkin saja aku sudah menuju tahap ateis. Sebab, jika aku percaya padanya, bukankah aku tidak perlu merasa kesepian? Sebab, Tuhan selalu bersamaku di mana saja.

Ternyata, letak permasalahannya ada pada iman; yang mudah melemah itu – juga hati; yang mudah sekali terbolak-balik itu. Ada kesalahan besar yang terletak dalam otakku, yaitu merepresentasikan iman. Bagaimana menangkup semua itu pada suatu asa yang tidak terperi. Bukankah kepada iman, seharusnya aku menangkup harapan? Bukankah kepada iman, adalah alasanku bertahan?

Membaca hadis yang diriwayatkan oleh Hakim dan Baihaqi itu, aku menjadi sadar, bahwa selama ini, keselahan terletak pada imanku. Orang-orang yang beriman selalu percaya bahwa Allah selalu bersama mereka, di mana saja dan kapan saja. Jika sudah begitu, bukankah aku tak perlu risau ketika merasa sendiri.

Aku tidak pernah merasa sebahagia ini, semenjak tahu, bahwa aku tidak pernah sendiri. Aku tidak pernah merasa senyaman ini, sejak tahu, Tuhan selalu bersamaku. Ia sangat dekat.  Begitu dekat, lebih dekat dari urat nadiku. Aku tidak pernah tahu – bahwa cara yang tepat untuk memecah sunyi adalah berdialog dengan-Mu. Meningkatkan iman, menguatkannya, sehingga ia bertahan untuk tetap memupuk harapan.

Aku baru saja tahu, bahwa ternyata dalam senyap itu – seharusnya aku dan Tuhan bisa berkomunikasi – ngobrol – berdialektika. Tetapi, aku enggan, dan malah meratapi kesendirian – sepi yang memekakkan sunyi. Aku melupakan iman – melupakan cara mengimani keberadaan Tuhan, yang akan selalu bersamaku. Aku abai bahwa aku memliki Tuhan. Aku merasa takut dengan semua kefanaan ini. Padahal, yang kekal telah menantiku, juga merengkuhku dalam setiap kesunyian  yang merundung.

Aku baru tahu. Ternyata sepi, sunyi, dan sendiri dengan segala kesenyapan itu adalah cara-Mu untuk membuatku kembali pada-Mu. Aku baru tahu, bahwa senyap ini adalah bahasa-Mu, cara-Mu menyampaikan sesuatu. Aku baru tahu, rasa sepi dan kesunyian ini adalah cara-Mu mengingatkanku. Aku baru tahu, bahwa Kamu merestui segalanya. Semuanya. Aku baru tahu, ternyata, inilah yang ingin Kamu sampaikan. Tentang iman. Iman yang mulai goyah. Dan bahkan aku, sempat berpikir tentang ateisme hanya karena abai tentang-Mu saat dalam kesendirian. Sekarang, aku, aku sudah tahu. Benar-benar tahu. Aku tidak sendiri. Tuhan bersamaku. Dan selama iman itu ada – harapan akan selalu ada untuk membuatku bertahan.


Terimakasih Tuhan, atas dialognya hari ini. Aku akan selalu percaya – juga berusaha menguatkan iman ini. Ngomong-ngomong, aku tiba-tiba kembali mencintai rasa sepi ini, tentang kesendirian, kesunyian, dan kesenyapan. Di sela-sela hiruk-pikuk itulah, aku lebih mampu merasakan-Mu. Di saat-saat seperti itulah, aku bisa berbicara kepada-Mu. Dan seolah-olah aku merasakan, jika Kamu mendengarkanku dengan saksama. Tentang semuanya.

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan