Perempuan-Perempuan tanpa Cincin di Jari Manis
Aku memilih duduk di bagian agak
pojok ruangan dan menyandar ke dinding. Selain menyandar ke dinding adalah
sebuah kebiasaan dudukku yang aneh sekaligus pemalas, berjalan mengitari
festival selama berjam-jam ternyata cukup melelahkan dan memaksaku untuk
menyandarkan punggung di suatu tempat. Dan aku memilih tembok dingin ini –
menjauh dari kerumunan orang dan suara-suara yang berisik. Aku berusaha
memejamkan mata di tengah gemerasak orang-orang berbicara. Rasa-rasanya, aku
ingin di sini saja sampai festival selesai.
Sesaat kemudian kesunyianku
buyar. Aku mendengar seseorang mendekat. Karpet di sebelahku mulai
berderak-derak. Aku pun membuka mata dan melihat seorang perempuan mendekatiku.
Ia tersenyum kea rahku dengan begitu hangatnya dan kemudian berkata bahwa ia ingin
bergabung. Aku hanya tersenyum kecil dan mempersilakannya. Rambut perempuan itu
pendek seperti lelaki tetapi senyumnya sangat manis. Ia membawa sekotak makanan
yang ia dapat gratis di depan meja staff relawan.
“Sudah makan?” tawarnya ramah.
Ah, ini yang paling aku sukai dari tempat ini. Semua orang baik. Semua orang
ramah. Semua orang tersenyum. Kalau pun ada kelelahan yang berujar dalam wajah
mereka, semua sirna seketika itu juga dengan senyum-senyum yang bercahaya. Mungkin
inilah yang membuatku begitu menikmati festival ini sekalipun aku harus
berjalan jauh sekali. Tidak ada yang salah dengan berjalan kaki sesungguhnya.
Itu sangat menyehatkan. Dan secara keseluruhan, aku memang menyukai tempat ini
dan semua orang di tempat ini. Mereka begitu menyenangkan dan sangat hangat.
Memutuskan menjadi relawan dalam
salah satu festival di Ubud, bagiku, adalah sebuah keputusan yang besar. Aku
harus meluangkan kira-kira sepuluh hari untuk festival itu. Lima hari bekerja
dan sisanya adalah perjalanan-perjalanan panjang yang menguras waktu tetapi
menghemat uang. Aku juga harus mengeluarkan uang yang cukup banyak. Jumlah yang
bukan main. Dan semuanya, tentu saja, berasal dari penghasilanku sendiri yang
pas-pasan. Beruntung, jika Tuhan memang merestui, selalu ada jalan-jalan terang
untuk sampai ke sana. Dan entah kenapa, tujuanku ke Ubud bukan sekadar untuk
menikmati festival. Lebih dari itu, aku memang meniatkannya sebagai sebuah
bentuk kontemplasi yang panjang.
Kembali pada perempuan berambut
pendek tadi. Ia menyodorkan sekotak makanannya untukku. Aku menggeleng, berkata
padanya bahwa aku sudah makan dan memilih rehat sejenak. Sebentar lagi jam dua
dan aku harus kembali berjalan berkeliling festival.
Sejenak kami saling diam sebelum
akhirnya aku berusaha memperkenalkan diri. Di sini, semua orang begitu ramah.
Selalu ada sambutan hangat tiap kali aku memberanikan diri mengulurkan tangan.
Mungkin hal inilah yang membuang rasa pengecutku yang terus membelenggu. Di sini,
aku benar-benar bisa berbaur. Dan berusaha menjadi seseorang pemberani yang
belum pernah kukenal sebelumnya.
Setelah berkenalan, seperti awal
perjalanan sebuah relasi pada umumnya, kami mulai berbincang-bincang.
Perbincangan kami begitu mengalir. Aku menyukainya. Karena aku mendapat banyak
informasi yang tidak aku tahu. Aku menyukai cara bertuturnya yang begitu
berwibawa. Aku senang mendengarnya bercerita. Begitu runtut. Sampai akhirnya,
hal-hal yang agak privasi mulai tersentil tatkala aku bertanya apakah ia
sendirian tinggal di Denpasar atau tidak. Berikutnya, yang kulihat adalah
senyum pahit. Perempuan itu bergerak gusar, terutama tangan yang mengusap
sebelahnya. Aku lihat, tak ada cincin di jari manis tangan kanannya. Aku hanya
berusaha berpikiran baik dan tidak menduga-duga sesuatu yang buruk. Bukankah
tinggal sendiri dan jauh dari tanah kelahiran kadang-kadang tidak begitu
menyenangkan? Setidaknya, dengan satu orang saja yang menemani cukup bisa
mengusir sempi. Sembari tetap tersenyum, perempuan itu berkata, “Saya tinggal
sendiri,”
Berikutnya, yang kudengar adalah
pengalaman-pengalaman pahit. Cerita tentang kekasihnya yang pergi
meninggalkannya seminggu sebelum pernikahan, patah hati yang berkepanjangan dan
meradang, dan sajak kesedihan-kesedihan yang sesungguhnya tak ingin kudengar
dari wajah manisnya. Perempuan itu kini telah berusia lebih dari tigapuluh.
Masih belum menikah dan tidak terlalu berniat menyematkan sebuah cincin di jari
manisnya.
Aku tidak mau menanyakan
alasannya. Juga tidak ingin mencari tahu lebih banyak tentang hal-hal seperti
itu. Maksudku, aku tahu benar cerita selanjutnya akan seperti apa. Meski tidak
ada raut wajah sedih di wajahnya.
Meski ia melontarkan cerita yang
sedih, wajahnya tetap terlihat bahagia. Bahkan, dari seluruh sajak kesedihan
itu, aku mendengar kekuatan yang besarnya sangat luar biasa.
***
Kali ini, aku berusaha untuk tidak duduk menyendiri. Aku memilih sekelompok orang yang tengah duduk di dekat tangga. Mereka terlihat asyik bercerita – walaupun lebih tepatnya, sedang asyik mendengarkan seorang perempuan berambut sebahu berkisah tentang dirinya. Aku mencoba memperkenalkan diri dan mempraktikkan apa yang perempuan tempo hari lakukan padauk. Aku pikir, sangat menyenangkan berada di tengah-tengah orang yang begitu ramahnya.
Kali ini, aku berusaha untuk tidak duduk menyendiri. Aku memilih sekelompok orang yang tengah duduk di dekat tangga. Mereka terlihat asyik bercerita – walaupun lebih tepatnya, sedang asyik mendengarkan seorang perempuan berambut sebahu berkisah tentang dirinya. Aku mencoba memperkenalkan diri dan mempraktikkan apa yang perempuan tempo hari lakukan padauk. Aku pikir, sangat menyenangkan berada di tengah-tengah orang yang begitu ramahnya.
“Saya diputus pacar,” ujar
perempuan berambut sebahu itu. “Ketika dia tahu saya punya kista di rahim,”
“Awalnya, mantan pacar saya
mendukung saya untuk berobat. Dia berjanji akan menikah dengan saya dan
menemani saya di saat-saat sulit. Tetapi dia pergi. Saya jadi tidak peduli akan
separah apa kista ini nanti. Setahun berlalu, ternyata kista itu hilang,”
perempuan itu tertawa lirih. “Tetapi saya jadi punya polip, empat,” lanjutnya.
“Saya sih maklum saja mantan
pacar saya. Di sudah tua. Dan pasti kebelet kepengin nikah. Pastinya, ya, nggak
mungkin kan saya yang juga sudah setua ini jadi harapan buat dia?” perempuan
itu kembali tertawa. Kami menyimak dengan baik ceritanya. “Saya senang pindah
ke Ubud. Saya ingin ganti gaya hidup,”
“Setelah pindah ke Ubud saya
sering ketemu banyak orang yang senasib dengan saya. Dan saya merasa
mendapatkan support. Di usia yang setua ini,” dia mengambil jeda. Saya
memperhatikan wajahnya yang mulai ditumbuhi keriput. Perempuan itu tidak menyebutkan
berapa usianya. Dan saya juga tidak berani menerka. “Saya paham bahwa menikah
dan memiliki anak adalah sesuatu hal yang hampir tidak mungkin,” lanjutnya.
“Namun, kemarin, saya bertemu
dengan beberapa perempuan yang melahirkan pada usia 50 dan 60 tahun. Sekarang,
saya memang sudah tua. Tetapi, saya masih punya harapan,”
Aku terdiam memandang wajahnya.
Lagi-lagi aku melihat kekuatan yang begitu besar dari wajahnya. Tidak ada
keraguan.
“Lagipula,” perempuan itu kembali
memberi jeda. “Hidup seperti ini enak juga. Kalau orang lain pasti gelisah soal
pasangan. Saya tidak lagi demikian. Saya memiliki sebuah keyakinan. Dan kemana
keyakinan itu nanti akan berjalan, saya akan selalu ikhlas menerimanya.
Beginilah cara saya menikmati hidup,” ujarnya.
Perempuan yang lain berseru,
bercerita kepadaku bahwa ia begitu bahagia dengan semua kesendiriannya. Ia
aktif bergerak. Ia bebas berkelana. Jiwa dan raganya adalah miliknya sendiri.
Ia mengatakan kepadaku bahwa seluruh dunia seolah-olah bisa ia genggam. Ada
berjuta pertemuan yang seolah-olah harus dilakukan. Ada ratusan kesempatan yang
harus diraihnya. Aku melihat sebuah kebebasan terletak di hatinya yang paling
terdalam. Aku melihat ambisi yang begitu berapi-api dalam sorot matanya. Hanya
satu hal yang tidak aku temui, sebuah cincin tersemat pada jari manisnya. Dan
ketika orang-orang di sekitarku memberanikan diri bertanya tentang hal itu, perempuan
itu hanya tertawa.
“Aku ingin menikmati hidup.
Begini caraku menikmatinya. Aku pikir, tidak perlu terlalu buru-buru. Aku
pikir, berkelanan ke semua tempat yang aku inginkan adalah pilihan terbaik,”
dia tersenyum ceria dan kemudian menceritakan kepadaku kemana saja kakinya
telah melangkah. Apa saja yang telah ia saksikan melalui kedua bola matanya.
Ah, dan sekarang aku juga jadi
tahu caranya menikmati hidup.
***
Aku bertemu dengan banyak
perempuan-perempuan tanpa cincin di jari manis mereka. Dan mereka semua punya
keyakinan kuat mengapa hal itu terjadi. Dan aku pikir… aku harus mengikuti
lebih banyak festival-festival seperti ini. Demi dan hanya demi untuk bertemu
dengan perempuan-perempuan seperti mereka.
Comments
Post a Comment