Petani yang Lugu
Saya selalu tidak setuju ketika aksi
rakyat selalu dipelintir. Terlepas memang dipolitisasi atau tidak, apa yang
dilakukan oleh para petani Kendeng pastilah bukan sekadar ide-idean yang keluar
dari mulut orang lain. Apalagi, dengan menyebut bahwa mereka adalah
petani-petani yang lugu – yang cuman ngerti bagaimana mencangkul tanah,
menggemburkan tanah, mengairi sawah, menyambung saluran irigasi, memanen padi,
dan lain sebagainya. Ide nyemen kaki itu sangat mengawang dan jauh dari
identitas mereka sebagai petani. Kalau mau menggunakan bahasa yang jahat
sekalian, petani-petani itu terlalu polos untuk tahu bagaimana caranya
menyuarakan aspirasi. Kalau mau lebih jahat lagi, sebut saja bahwa
petani-petani itu goblok. Mana mungkin ngerti soal ide semen kaki. Bahkan,
pikir (orang-orang itu) nya, para petani itu tidak mungkin sampai kepikiran
untuk menyemen kaki.
Alasannya, sudah jelas.
Soalnya mereka petani.
Orang-orang lugu yang tinggal di
desa.
Mereka nggak ngerti bagaimana
berkompetisi dengan orang lain. Mereka cuman tinggal di desa yang tak
menyediakan perguruan-perguruan tinggi. Mereka Cuma lulusan seragam merah
putih. Di desa ada apa sih? Akses Pendidikan susah. Akses informasi susah.
Akses transportasi susah. Semua akses susah. Sinyal internet kadang ada, kadang
tidak ada. Sehari-hari, mereka jauh dari perbincangan-perbincangan berat –
berat soal politik, budaya, sosial, sains, teknologi dan lain sebagainya.
Boro-boro ngomongin itu, mereka cuman ngerti kapan padi mereka panen atau harus
gigit jari karena diserang hama wereng. Mereka cuman tahu nyangkul. Mereka
cuman ngerti menanam padi.
Saking lugunya mereka.
Mereka tak akan pernah sampai
hati buat menyemen kaki mereka.
Saya pikir, ini adalah bentuk
pelecehan kecerdasan generik yang paling total terhadap suatu kaum. Sederhanya
begini, kita menganggap bahwa ide menyemen kaki itu adalah ide yang brilian.
Ide yang cerdas – yang tak mungkin digapai oleh rakyat kecil – orang miskin tak
akan tahu hal seperti ini. Apalagi mereka dari desa! Ya Tuhan, mereka dari
desal ho. Di Desa itu, ada apa sih?
Lalu, kecerdasan akan suatu hal,
kemampuan dalam berpikir terhadap sesuatu, tingkat pengetahuan seseorang selalu
dan akan selalu direlasikan dan dikorelasikan dengan identitas seseorang.
Identitas yang akan dibahas di sini adalah petani. Itu lho, yang selalu
ditampilkan dalam buku cerita-cerita anak dan buku-buku paket SD. Mereka yang
menanam padi dan menggembala sapi. Tidak kurang dan tidak lebih. Kehidupan
mereka monoton. Pagi ke sawah. Sore pulang ke rumah. Malamnya disambi nonton TV
sambil mengarungi hasil tani.
Kehidupan orang-orang dengan
identitas seperti itu – tentu saja tidak akan mengerti politik. Mereka juga
tidak akan sadar jika kisah hidupnya tengah dipolitisasi. Pokoknya dan
pokoknya, mereka itu cuman orang-orang lugu – yang dibodoh-bodohi. Sehingga
kita semua di sini harus tahu bahwa mereka dibodohi karena lugu dan harus
mengasihani.
Begini ya begini. Orang-orang
yang bilang bahwa para petani itu lugu dan Cuma diperalat mungkin lulusan S2 di
luar negeri. Bahkan sudah professor. Pokoknya, kalau kita lihat CV-nya,
sekolah-sekolahnya bagus. Nggak mungkin dia Cuman lulusan SD. Pastilah dia
bekerja di tempat yang bagus pula – yang menuntutnya untuk terus mengembangkan
wawasan. Tidak seperti petani yang cuman bisa tahu bahwa hama wereng dan tikus
sangat menganggu hasil pertanian mereka. Begini ya begini, tingkat Pendidikan
seseorang – yang kemudian memiliki relasi terhadap identitasnya di kemudian
hari mungkin bisa menunjukkan sekaligus menandakan bahwa dia orang cerdas.
Orang yang lulusan S3 di luar negeri dibandingkan petani yang Cuma tahu nyawah
jelas hal yang berbeda. Tetapi, tingkat Pendidikan yang tinggi tidak lantas
menentukan hati nurani siapa yang paling baik.
Dan yang terpenting adalah,
sepintar apa seseorang sampai dengan sukacita menganggap orang lain lugu (kalau
kita nggak mau pake kata ‘goblok’). Jelas sudah, ketika seseorang dengan sikap
angkuh dan jumawanya mengatakan bahwa para petani itu lugu, dia telah
menciderai kecerdasan seseorang hanya berdasarkan tingkat Pendidikan dan
identitas yang dimilikinya. Identitasnya ya jelas to, seorang petani. Petani
itu bisa apa dibandingkan orang-orang yang mengenyam Pendidikan sampai bolak-balik
ke luar negeri- Indonesia pakai pesawat Garuda? Sekarang begini, deh, daripada
terus berputar-putar, atas dasar apa, siapapun Anda, mengatakan bahwa para
petani-petani Kendeng yang menyemen kakinya itu kepalang lugu sampai ngotot
bahwa mereka itu cuman diperalat oleh LSM yang mengatasnamakan rakyat kecil?
Pertanyaannya sesederhana itu,
atas dasar apa para petani dibilang lugu?
Atas dasar apa?
Yang jelas, dari semua
ujaran-ujaran di limasa sosial media yang saya baca belakangan ini, dasarnya
jelas seperti asumsi-asumsi saya yang sudah saya jelaskan di atas. Karena
mereka seorang petani. Mereka tak lebih dari orang-orang yang cuman tahu padi,
irigasi, sawah, kerbau, dan semua hal yang tidak terdengar intelektual.
Sampai-sampai, banyak orang menghakimi bahwa mereka kepalang lugu. Terlampau
lugu. Dan seluruh tindakan yang dilakukan oleh mereka tidak lebih dari
didoktrin oleh orang lain. Semua hal yang mereka perjuangkan sampai napas
tersengal-sengal tidak lebih dari disuruh orang lain.
Jadi, sekali lagi, saya mau
tanya.
Atas dasar apa sih, mereka
dibilang lugu?
Beneran ya, karena mereka cuman
seorang petani?
Kalau iya, saya sedang jadi
menimbang banyak hal. Untuk apa ya saya sekolah tinggi-tinggi dan melepaskan
hati nurani – menggantinya dengan atribut-atribut yang menghilangkan rasa
kemanusiaan. Jiwa tertinggi dari seorang manusia.
Ya, untuk apa ya?
Ah, mungkin, orang-orang yang
bilang bahwa para petani itu lugu, nggak pernah sama sekali srawung sama para
petani. Ngobrol sama mereka. Bicara soal pemilihan lurah. Dan lain sebagainya.
Sebab, identitas mereka adalah petani – dengan serta merta orang-orang itu
menghakimi, “wong mereka nggak tahu apa-apa kok,”
Saya tetap kepingin tanya:
“Atas dasar apa kalian bilang
bahwa para petani itu lugu?”
Di sini saya konkrit kepengin bilang: (siapapun) Anda telah
menciderai kecerdasan para petani itu hanya karena mereka seorang petani! Atas
dasar itulah – atas dasar justifikasi indetitas itulah – Anda bisa ngomong
mereka lugu. Yang dilihat ya cuman sebatas permukaan. Pernah, sekali dua kali
ngobrol sama mereka? Jelaslah, orang-orang mengatakan yang lain begini dan
begitu atas dasar identitas yang mereka miliki. Sekarang saya punya dua
pertanyaan lagi.
“Lalu kenapa to kalau itu mereka itu petani sehingga tak
mungkin punya ide brilian menyemen kaki?”
“Lalu, apakah karena mereka seorang petani, anda bisa dengan
mudah menjustifikasi bahwa mereka itu lugu,”
Ngomong-ngomong, dua pertanyaan pertama saya butuh jawaban
yang panjang. Pertanyaan terakhir cuman pertanyaan tertutup. Anda cuman perlu
bilang ya atau tidak. Jika tidak, saya tahu bahwa anda tepat dalam meletakkan
rasio dan rasa. Jika ya, tolong belajar baik-baik (lagi), ya.
Comments
Post a Comment