[Cerpen] Menyapa Angin di Pagi Hari
Oleh Lamia Melodi
(Lamia Putri Damayanti)
Tuhan, berilah aku
keberanian untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya.
Pagi
tak pernah terasa pagi bagiku. Tidak ada perbedaan pagi, siang, sore dan malam
yang signifikan aku pikir. Semuanya sama, gelap terang terasa sama. Karena
selalu ada dia yang menetralkan suasana hatiku. Bagiku, dialah angin pagi yang
berhembus semilir dalam benakku, berputar-putar seperti angin siklon yang tiada
henti.
Menjadi
pelampiasan memoir yang terus bergelut dalam hari. Dia adalah dia, yang kupuja
dan kunikmati di pagi hari.
“Hei,
pagi?”
Dia
menengok ke arahku sebentar kemudian kembali mencermatiku buku cetaknya yang
agak tebal. Apakah dia mendengarku? Atau hanya mencari gerakan untuk melepas
rasa penat yang menumpuk?
“Hei,
pagi?”
Dia
kembali menoleh, menampakkan binar wajahnya yang berseri seperti angin segar di
sore hari.
Aku
terdiam cukup lama. Memandanngya dalam ruang semuku yang berlapis gelap – walau
esok telah pagi sekali pun.
“Hei,
pagi?”
Semua
salam dan sapaku ternyata tercekat di
tenggorokan, ditarik dan dimasukkan paksa ke dada. Semuanya semu. Tidak ada
yang benar-benar kuucapkan untuk ia dengar. Entah tadi ia menoleh ke sini untuk
apa – aku pun tidak tahu.
Yang
jelas keberanianku selalu luntur begitu saja, aku tak pernah mampu
mengucapkannya. Aku tak pernah mampu bersikap persuasif untuk mengadakan adu
argumentasi dengannya. Mengapa aku begitu penakut?
Dan
hari ini, ketika para penuntut ilmu – yang kukira ilmu tidak memiliki kesalahan
hendak bergegas ke pengadilan pendidikan, aku lagi-lagi hanya terkurung dalam
keinginan konyol yang tak akan pernah bisa kuraih.
Aku
hanya dapat melirik malu-malu pada sesama penanti bus di halte biru yang
atapnya penuh dengan bunga bugenvil. Membuat suasana menjadi terlihat bersahaja
dengan cinta. Seperti alur drama yang dibuat-buat.
Tapi
kisah ini, tidak dibuat-buat. Sungguh-sungguh terjadi, seperti berita-berita di
surat kabar. Dan bukan majalah infotainment.
Hampir
dua tahun ini aku menjalani rutinitas konyol di pagi hari, menunggu bus di
halte hanya untuk bertemu dengannya. Berusaha bangun pagi agar tidak terlambat
ataupun melewatkan kehadirannya. Memilih berdesak-desakan di bus daripada
diantar dengan motor. Selalu datang tepat waktu, agar bisa melihat sosoknya
dari awal hingga akhir. Semua hanya karena angin itu. Angin yang tak pernah
mampu kujangkau, karena ia terus berhembus. Mengalir secara cepat bagaikan
kilat. Padahal ia hanyalah angin.
Seolah
mataku tak pernah bisa lepas darinya, berbagai pertanyaan selalu muncul
beriringan dengan sosoknya. Siapa namanya? Dari mana ia? Bisakah aku
mengenalnya lebih jauh? Segala pertanyaan yang berhubungan dengannya melekat
erat. Membuat rasa penasaranku semakin menguar dan terhembus kemana-mana.
Aku
hanya tahu dia murid dari SMA Pancasila – tak lebih. Itu pun karena seragam
identitas yang dipakainya. Aku tak pernah berani mendekat, atau menggeser
jangkah kakiku hanya untuk melihat nama yang terjahit di bajunya.
Aku
hanyalah pemujanya yang menghabiskan berwaktu-waktu demi mempertahankan masa
untuk dapat melihatnya. Kalian pikir itu sia-sia? Tidak juga – bahkan mungkin
memang tidak. Karena dengan melihatnya, bebanku yang bertumpuk bisa hilang.
Tuhan,
izinkanlah aku, untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya. Sekali saja. Agar dia
mengenangku sebagai teman penanti bus di kala pagi hari.
Aku
jadi berpikir, apakah ia peduli dan memberikan respon terhadap kehadiranku?
Atau jangan-jangan ia malah tidak pernah tahu bahwa aku selalu di sini untuk menemaninya di pagi hari.
Ah,
ia terlalu suka bergaul dengan bukunya. Bukan dengan sesamanya. Atau
setidaknya, kami berdua bisa mengobrol banyak di sini.
Dan
sebuah persegi panjang bermesin dengan lapisan baja yang beroda pun berhenti
tepat di depan kami. Menghentikan dimensi-dimensi yang telah terjalin
sedemikian rupa. Melepaskan momentum yang menimbulkan aksi dan reaksi yang
tidak diharapkan.
Kehadiran bus itu menghancurkan segalanya, mengakhiri kisahku di pagi ini bersama dia. Akankah ada esok pagi untuk melihatnya kembali?
***
Jika
aku harus bercerita tentang cinta pertama. Maka, aku akan menjawab, ‘Ya,
mungkin dia memang cinta pertamaku,’. Padahal dalam pernyataanku ini, aku belum
tentu tahu apa itu cinta beserta maknanya. Aku mengenal cinta, tapi aku belum
tentu benar-benar memahaminya. Tapi,
setidaknya, aku memiliki cinta. Di mana aku bisa mencintai seseorang yang aku
pikir – ya, dia memang pantas untuk dicintai. Karena semua orang memang punya
hak paten dalam hal ini.
“Bagaimana
dengan misi selamat pagi-mu itu?” tanya Asri memulai pembicaraan. Aku hanya
merespon dengan gelengan pelan.
“Gagal
lagi?”
“Ya,
entah yang sudah keberapa kali,” jawabku sambil menghela napas pelan-pelan.
Ayolah,
Marry, kamu adalah perempuan dan dia laki-laki. Apakah aku benar-benar seberani
itu untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya? Apakah aku benar-benar punya
nyali untuk memulai segalanya. Di mana-mana laki-laki-lah yang seharusnya
menjejakkan kakinya duluan. Seperti Adam, yang terlebih dahulu ada ketimbang
Hawa.
Masa
aku yang harus mencoba memulainya. Toh, lagipula ia belum tentu memberikan
respon. Aku
malah terlihat agresif dalam posisi ini. Biarlah
mengalir seperti angin. Tapi
bagaimana jika ia tersendat?
“Kamu pasti bisa,” ujar Asri memberi semangat.
Aku pasti bisa? Kupikir tidak, semua ini hanyalah ruang semu yang tidak
berbatas.
“Tidak,
kurasa tidak.” Asri menatapku tajam, dia tahu benar bahwa aku punya misi ‘selamat
pagi’ untuk anak dari SMA Pancasila itu. Tapi, dia tidak pernah tahu benar,
bahwa aku akan menyerah. Menyerah untuk meninggalkan misi konyol itu – misi
yang aku perjuangankan hanya demi
sebuah cinta pertama.
“Kenapa?
Kamu menyerah? Secepat itukah?”
“As,
dengar aku baik-baik. Kurasa ini adalah solusi terbaik daripada aku harus
termangu sendirian di halte. Aku perempuan dan dia laki-laki. Orang-orang masih
menganggap bahwa perbuatan yang akan aku lakukan ini tidak lazim. Hal ini lebih
baik dilakukan oleh pria dulu, daripada wanita. Lagipula, ini tidak secepat
yang kau pikirkan. Ini lama, dan ini dua tahun – atau lebih, mungkin? Jadi
kurasa, ini memang puncak usahaku. Ada hal yang jauh lebih penting untuk
dilakukan bukan?” ujarku – alibi untuk memotivasi diri sendiri. Selebihnya, ada
bayang-bayang yang mengalir indah di dalam otakku, menelusuri tubuhku sampai ke
hati.
Ya,
ia ada dalam hatiku. Menjelma sebagai nadi yang terus berdegub walau bayang
nyatanya tidak ada di sini.
Asri
terdiam untuk beberapa saat – kemudian menatapku tajam. “Pertama adalah
pertama. Tidak sama dengan yang kedua maupun yang ketiga. Dan yang pertama,
tidak akan pernah terjadi untuk kedua kalinya, begitu pula angka-angka urutan
yang lain. Simak baik-baik, Marry, segalanya tidak terjadi dua kali. Pertama
adalah pertama,”
Dan
ucapan Asri terus terngiang-ngiang dalam benakku, menguar tajam bersamaan
dengan bayangnya.
Segala tidak terjadi
dua kali. Pertama adalah pertama.
***
“Hai,
pagi? Hari ini hari yang cerah, ya? Tapi sayang bus-nya tidak kunjung datang.
Ngomong-ngomong kamu naik bus jurusan apa?”
Tertelan.
Semua sukses tertelan. Dan lagi-lagi aku tak sanggup mengatakannya. Lidahku
kelu, dan bibirku terekat erat satu sama lain. Tidak ada yang bisa kusuarakan
di sini. Suasana
halte tampak sepi karena waktu baru bergulir ke angka setengah tujuh, membuat
orang-orang masih enggan untuk menguarkan aura semangatnya untuk keluar dari
rumah.
Beda
denganku, yang masih punya misi. Sebuah misi konyol yang aku pun masih belum
mengerti – mengapa aku melakukannya. Semuanya di luar nalar, semuanya diluar
kontrol logika. Karena yang berjalan adalah perasaan, tentu emosi yang
mewakilinya.
Terkadang,
aku merasa sangat konyol. Ini tidak masuk akal! Menjadi pemuja rahasia di kala
matahari masih enggan untuk bersinar. Menjadi seorang stalker sejati di pagi hari. Mencuri-curi gerak-geriknya ketika
bayangan di tanah memanjang dan membelakangiku.
Mengapa
aku dengan tega menghabiskan setiap pagi hanya untuk memujanya. Memuja cinta
urutan kesatu. Padahal, belum tentu menjadi yang terakhir. Harusnya
aku ingat, pernyataan apa yang jadi pondasi keruntuhan ini. Bukankah ia belum
tentu memperhatikanku seperti aku memperhatikannya. Bukankah ia belum tentu
peduli padaku, seperti aku peduli pada gerak-geriknya. Bahkan mungkin, ia belum
tentu tahu bahwa aku ada di sini.
Karenanya, beranikan
untuk menyapanya. Buat kesan bahwa kau ada. Jangan biarkan angin berhembus dan
menggoyangkanmu begitu saja. Tunjukkanlah bahwa keberadaanmu yang ibarat
rumput, meyakinkan angin yang kasat mata, bahwa ia ada. Dan jangan biarkan ia
berhembus begitu saja. Jangan biarkan ia melaluimu tanpa tahu, bahwa kamulah
yang memberi warna pada keberadaannya. Jangan.
Sebuah
suara berbisik. Memberikan sebuah tombak semangat yang memberanikanku.
“Apa
kabar? Bagaimana kabarmu?”
Tidak
ada jawaban. Karena semua kalimat itu lagi-lagi tertelan.
Aku
rumput di pagi hari yang pengecut. Lebih pengecut dari bakteri sekali pun.
Tuhan,
mengapa sulit sekali untuk memberi salam selamat pagi untuknya.
Aku
masih berkutat dengan angin pagi yang menyesakkan. Angin pagi yang menyumbat
otakku untuk berpikir sampai akhirnya ada sebuah suara yang memanggilku – entah
yang keberapa kali. Yang jelas, aku sedang terjun bebas ke dalam alam bawah
sadarku.
“Permisi,
mau tanya,”
Bayang-bayang
itu kembali berdegub di dalam nadiku. Tiba-tiba auranya menguar ke segala
penjuru. Entah itu barat atau timur. Semua serasa di dalam kotak dimensi yang
mengurungku dan dia.
Dengan
segala keterkejutan yang ada. Aku berusaha untuk menoleh kea rah suara itu.
Suara angin pagi. Angin tak pergi begitu saja, ia peduli pada seonggok rumput
yang sekarat di pagi hari.
“Y-ya?”
Dan
benar, memang dia. Bayanganku tentang dia sukses sudah! Aku tahu bagaimana dia
secara visual, dan kini aku tahu benar tentang dia secara audio. Bagus, angin
yang indah. Dan
tentu saja, hari ini aku tidak perlu mencekik leherku sendiri karena ia tidak
mau berkompromi. Laki-laki itu, malah yang terlebih dahulu bersuara.
“Jam
berapa ya? Aku lupa bawa jam tangan,” dengan gelagapan aku menarik tanganku dan
mencoba mengecek pukul berapa sekarang. Aku tak habis pikir, apa yang aku
idam-idamkan selama dua tahun terakhir akhirnya terjadi.
Dia
berbicara padaku. Dia sedang berbicara padaku. Padaku! Aku!
Aku
bukan rumput yang terlupakan! Dia telah meraih anganku!
“Jam
setengah tujuh lebih lima,” jawabku, sebisa mungkin kulancarkan agar tidak
menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak pada benaknya.
Tapi,
aku heran, mengapa ia tidak melihat jam di ponselnya. Atau jangan-jangan, ia
memang punya tujuan terselebung.
Aku
berharap yang tidak-tidak. Segalanya tampak terancang indah. Jika akulah sang
Penghendak maka pasti akan lebih indah lagi dari ini. Sayangnya, aku bukan Dia.
Dia yang begitu Agung menciptakan takdir. Sedang aku, malah menyebutnya
kebetulan karena aku tak percaya kenyataan pahit. Aku menganggapnya sebagai
ilusi.
Padahal,
Tuhan, pasti menciptakan rancangan
waktu yang lebih indah daripada yang aku pikirkan.
“Oh,
makasih,” jawabnya – tersenyum. Lagi-lagi, bayanganku tentang dirinya semakin
sempurna. Aku kini melihat senyumnya. Sebuah simbol yang mendekatkan jarak
antar dua manusia. Itulah senyum, itulah fungsi senyum yang sebenarnya.
“Kamu
naik bus jurusan apa?”
Aku
tergagap. Ini pertanyaan yang tadi tersimpan erat dalam benakku. Dan kini,
ialah yang dengan sukarela menanyakannya.
Haruskah
aku menjawab, “Kau tahu, aku ingin menanyakan hal ini terlebih dahulu untukmu,”
“Aku
naik bus jurusan Samirana,”
“SMA
Garuda?” tebaknya. Aku hanya mengangguk malu. Bagaimana bisa pembicaraan ini
mengalir begitu saja. Aku ingin, pembicaraan ini akan terus mengalir. Seperti
angin yang tak pernah berhenti berhembus. Tapi, aku ingin angin tahu, bahwa ia
meninggalkan jejaknya padaku.
“Kalau
kamu?” aku mencoba balik pertanya, berharap akan timbul pertanyaan-pertanyaan
berikunya.
“Aku
naik bus jurusan Braja. Mau ke SMA Pancasila,” ujarnya sambil lagi-lagi –
tersenyum.
Pembicaraan
terus berlanjut. Kami berbicara tentang hal-hal sederhana sampai yang rumit.
Dari yang tidak terpikirkan sampai yang menjadi beban. Segalanya kami saling
bercerita Saling memberi informasi.
Aku
harap ini tak berakhir pagi ini. Aku harap ini tak berakhir hari ini saja.
Masih ada hari esok untuk saling bertukar sapa dan bercerita. Aku harap tak
akan berakhir.
Tiiin!!!
Suara
klakson tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Aku berada di luar trotoar, mendekati
tempat pemberhentian bus. Dan semua bus telah geram dengan keberadaanku yang
tidak tepat. Aku segera berjalan mundur sambil menunduk – malu. Dan
tiba-tiba semua terlihat begitu nyata dengan eksata-eksata yang ada.
Ekspektasiku hancur sudah. Lebur dalam hembusan angin yang mengalir entah kemna
Ternyata semua hanyalah semu. Tidak ada yang benar. Semua hanya berada dalam
pikiranku. Beradu dalam ilusi yang aku pikir – itu pasti nyata.
Tapi
ternyata tidak ada perkacapan
sistematis yang terjadi, semua hanyalah ilusiku – yang sering kukatakan
kebetulan. Makanya aku menyebutnya kebetulan – karena akulah yang membuatnya
dalam alam pikirku. Bukan takdir – yang nyata Tuhan ciptakan.
Karena
takdir Tuhan tak bisa kuprediksi. Aku hanya bisa berekspektasi sampai segalanya
menjadi doa-doa – semoga menjadi kenyataan. Sampai akhirnya, aku tak bisa
membedakan mana yang nyata dan mana yang semu.
Kulihat,
laki-laki itu telah bergegas masuk ke dalam bus. Bus jurusan Bantala, dan bukan
bus jurusan Samirana seperti apa yang ada di dalam ilusi. Semua
tiba-tiba terhempas, dan hempasannya terhembus oleh angin. Aku ilusi, aku
hanyalah ilusi pagi yang memuja-muja emosi terindah pertama yang tak kunjung
mendekat.
Semua
terhempas, terinjak oleh roda-roda mesin berbaja yang melaju dengan kecepatan
tinggi. Angin meninggalkan rumput yang telah terporak-porandakan. Tidak ada
yang nyata. Dan klakson-klakson hina itu telah menghancurkan khayalanku.
Aku
menatap laki-laki itu. Laki-laki yang ingin aku sapa setiap pagi. Tapi ternaya,
aku tidak punya keberanian untuk bertukar sapa dengannya. Sampai
akhirnya kami tidak pernah bertemu lagi di halte, aku belum juga bisa
mengucapkan selamat pagi kepadanya. Entah di mana ia sekarang. Kelu dan sesal
masih tertinggal. Misiku
yang telah terpendam bertahun-tahun, akhirnya kunyatakan gagal. Pertama adalah
pertama, dan tak akan tergantikan.
Walaupun
aku tak pernah mampu dan aku tak pernah berani mengucapkan selamat pagi
kepada-nya. Tapi rutinitas setiap pagi itu akan terus kukenang. Sebuah perjuangan
konyol untuk melihat sosoknya di pagi hari.
Sosok
yang telah terhormat menjadi bagian dari kisah romanku. Dialah yang jadi awal.
Yang jadi cinta pertama sebagai angin yang tak pernah melihat sejumput rumput. Mungkin,
esok – entah berapa lama masa yang akan terlewatkan. Aku
mulai berekspektasi (lagi) – bahwa aku akan bertemu dengannya lagi. Dan pada
hari di mana aku akan bertemu dengannya.
Lidahku
tiada kelu lagi, bibirku tiada rekat lagi. Dan aku akan sanggup mengatakan.
“Selamat pagi, Angin,”
***
Hereeee we goooo.... longtime no post khusus buat aku sendiri (?). Dan hari ini aku membawakan sebuah cerpen. And well, cerpen ini dimuat di majalah Kawanku edisi 4-18 September kemarin kalo nggak salah. Seingetku bulan September itu aja. Dan bulan September kemarin emang September Ceria banget. Soalnya, baru kali ini, cerpenku dimuat di dua media berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Many.... thanks to God, My Beloved Allah. Cerpen yang satunya dimuat di majalah Gogirl. Kapan-kapan juga bakal aku post. Tenang aja... kalian akan kusuguhi dengan cerpen-cerpen absurdku hahaha. Oh, ya, sebenernya cerpen ini sebelumnya aku kirim ke Gadis. Tapi nggak ada kabar. Hiks :" Ya udah deh jadinya aku kirim ke Kawanku. Eh, dimuat :3. Dan ini cerpen ketigaku yang dimuat di Kawanku. Big thanks to Allah, Bapak, Ibuk, mbak-mbakku dan adekku.
Salam cinta dari saya :*
mbak, klo majalah Gogirl honornya berapa, ya? hehe
ReplyDeleteHalo Intan :) Maaf ya baru bisa membalas sekarang. Aku jarang cek komen. Untuk Gogirl sekitar 500ribu (pas jamanku dimuat). Semoga membantu yah ;)
DeleteKeren banget ceritanya,
ReplyDeleteada tips tersendiri gak supaya cerpen kita bisa terbit di majalah?
Hai Ola, salam kenal ya sebelumnya. Tips tersendiri liat segmentasi aja sih. kalau segmentasi majalah remaja ya tulis cerpen yang bercerita tentang dinamika kehidupan remaja. Semoga membantu Ola :)
DeleteSebelumnya selamat ya mb, cerpennya udah dimuat.
ReplyDeleteKlo mau ngirim, biasanya syarat2nya apa ya? Mksh
Halo Nidaul Khasanah, mohon maaf jika saya balasnya lama ya. Khusus untuk Kawanku syarat-syaratnya ada di jumlah karakter. Kalau tidak salah Kawanku 6-8 halaman kuarto. Selamat Mencoba ya Nida :D
DeleteWaaah, suka ceritanya!
ReplyDeletecerpennya bagus. eh mau nanya ngirim ke do girl berapa karakter ya? emallnya apa?. thanks, oya salam kenal.
ReplyDeleteobat kutil kelamin ampuh
ReplyDeleteobat kutil kelamin de nature
obat kutil kelamin pria
obat kutil kelamin murah
obat kutil kelamin terbaik
obat kutil kelamin
ReplyDeleteobat perontok kutil kelamin
obat kutil kelamin tradisional
obat kutil kelamin de nature
kumpulan obat kutil kelamin