Kecendurungan Beraspirasi Tanpa Aksi
Beberapa bulan yang lalu, media
sosial seperti twitter, facebook, dan lain-lain membicarakan masalah uang
kuliah tunggal (UKT) yang dirasa terlalu mahal dan tidak seimbang dengan
penghasilan orang tua mahasiswa yang bersangkutan.
Berbagai macam aspirasi yang
dibagikan mahasiswa baru lewat jejaring sosial mendapatkan tanggapan yang
beragam. Ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Bukan permasalahan, mana pihak
yang pro dan mana pihak yang kontra. Namun, siapa yang bergerak dengan tindakan
maupun pihak yang hanya bergerak dengan ucapan.
Seperti yang saya jumpai di beberapa jurusan dari berbagai universitas (khusunya jurusan saya), banyak sekali mahasiswa baru yang protes mengenai biaya UKT yang
terlalu tinggi. Tetapi, dari para mahasiswa tersebut tidak ada yang membela
pihak yang yang dirugikan atas pengenaan biaya UKT atau setidaknya membela diri
sendiri jika memang ia merasa dirugikan dalam pengenaan biaya UKT.
Pada kenyataannya, aspirasi,
keluhan, dan protes mereka di jejaring sosial sangat bertolak belakang dengan
gaya hidup mereka yang cenderung hura-hura. Sedikit dari mereka yang mencoba
memperjuangkan besaran UKT.
Contoh di atas, hanya sebagian
kecil dari kutipan-kutipan mengenai pergerakan mahasiswa yang semakin lama
mengalami degradasi. Banyak di antara mahasiswa yang hanya berkeluh kesah di
media sosial dan mengumbar keganjilan akademik civitas di universitas
masing-masing tanpa ada aksi.
Bahkan, aksi demo yang biasanya
akrab di kalangan mahasiswa kini perlahan luntur. Memang, aksi demo bukan hanya
turun ke jalan dengan membawa banyak spanduk dan poster. Akan tetapi juga dapat
dilakukan dengan cara lain seperti diskusi, observasi, pelatihan kepemimpinan,
mengikuti berbagai ajang kompetisi dan lain-lain.
Akan tetapi, gerakan mahasiswa
saat ini pada umumnya hanya sekedar mencari kesenangan. Saat ini, kegiatan
mahasiswa cenderung hanya memberikan aspirasi tanpa aksi nyata. Sedikit sekali
aktivis-aktivis kampus yang memperjuangkan perut rakyat. Kebanyakan hanya sibuk
dalam pekerjaannya masing-masing dan menulikan diri atas apa yang terjadi di
kalangan rakyat bawah.
Padahal, pada hakikatnya,
mahasiswa dengan segala gerakannya – baik positif maupun negatif akan
memberikan dampak kepada bangsa kita. Aspirasi yang baik bukan hanya tentang
kecemerlangan ide yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi juga aksi yang
dihasilkan dari aspirasi tersebut.
Kembali lagi ke masalah UKT,
protes dan keluhan mahasiswa mengenai mahalnya UKT pun kini sudah terbenam.
Sosial media telah sepi dengan keluhan mahasiswa mengenai mahalnya UKT. Hal
tersebut bukan karena kebijakan UKT menjadi lebih baik. Tetapi, mahasiswa
cenderung pasrah dan tidak memperjuangkan apa yang sebenarnya sangat pantas
diperjuangkan.
Mahasiswa saat ini sudah terlalu
terlena dengan gadget-gadget
pemberian orang tua. Mahasiswa saat ini sudah ogah turun ke jalan, takut hitam
katanya, perawatan kulit mahal. Mahasiswa saat ini hanya bisa menggerutu.
Mahasiswa saat ini hanya bisa mengumbar aspirasi tanpa aksi nyata – gerakan
positif yang sebenarnya dapat memperbaiki bangsa ini.
Hei, para Mahasiswa, Detakkanlah jantungmu kembali. Alirkanlah darah
dalam nadimu kembali. Hidupkan negara ini kembali.
Hei, para Mahasiswa, serukanlah kebenaran-kebenaran yang belum terkuak
dengan nyaring seperti dulu kala. Hei, para Mahasiswa, kembalilah menentag
rezim dan propaganda birokrasi yang tidak sesuai, penuh kecurangan, lelet, dan tak memiliki rasa belas kasihan.
Hei, para Mahasiswa, jangan mati dalam era kebengisan yang masih
menggenggam kekolotan.
Hei, para Mahasiswa, bangkitlah. Demi tangisan Pertiwi yang telah
sunyi.
*Sebagai Peringatan Hari Sumpah Pemuda.
**Sebelumnya ditulis untuk tugas esai, ditulis kembali dengan sedikit
perubahan.
Semoga para pemuda tak mati dalam globalisasi.
Comments
Post a Comment