[Cerpen] Tidak untuk Dijual
Untuk
Para Jurnalis Muda, yang tengah mengepakkan sayap
Oleh
Lamia Putri Damayanti
“Kau harus dapat berita
yang bagus, kalau tidak, kau akan kupecat dari pekerjaan ini!”
Kalimat
itu terus terngiang-ngiang dalam benak Surya. Menggaungi tiap relung jiwanya
yang tengah bernanah karena terlalu lelah memikirkannya. Darimana dia akan
dapat berita bagus? Dia berjalan dari ujung sampai ke pangkal. Tapi tiada
kunjung menemukan berita yang layak dipublikasikan.
Bagi
pemimpin redaksi tempatnya berkerja, berita buruk adalah berita bagus. Karena
berita buruk akan jauh lebih menarik simpati banyak khalayak untuk dicermati.
Tapi nyatanya? Berita yang dia dapat adalah berita pelajar Indonesia
berprestasi yang kurang dimintai banyak orang. Atau pun berita tentang gelar
budaya besar-besaran di beberapa daerah di Indonesia.
Menurut
bosnya, semua itu kurang menjamin. Menjamin sebuah keberhasilan image media
cetak.
Matanya
melayang melewati deretan pohon-pohon mahoni yang tampak seram di kala malam.
Tapi itu bukan suatu halangan sebagai jurnalis. Dia harus dapat berita, kalau
tidak. Maka dia tidak akan dapat menghidupi dirinya sebulan ke depan atau
mungkin – seterusnya.
Ckiiiiiiiiittt!!!!!!!
Braaaaak
Mata,
leher, dan kepalanya serentak bergerak langsung mencari di mana keberadaan
suara yang telah mengusiknya. Pertanyaan besar dan rasa ingin tahu seorang
jurnalis dalam pribadinya melonjak kuat.
Dia
berlari tergesa-gesa pada jalanan yang sepi ini. Pohon-pohon mahoni yang tampak
seram menjulang bagaikan monster malam memhalang-halangi cahaya bulan. Membuat
bayang-bayang tak tentu yang menekan penglihatannya untuk lebih fokus.
Sampai
akhirnya, ada warna lain dalam kelam. Sebuah minibus berwarna putih yang baru
saja sukses menghantam gelondongan kayu di depannya. Binar
matanya tampak bercahaya seperti surya. Ini
berita, batinnya senang. Setelah sekian lama memburu berita dan terlunta-lunta
dalam ketidakpastian. Akhirnya ia dapat juga. Mumpung sepi dan tidak ada
wartawan dari media lain, akhirnya ia meloncat dan mendekat ke minibus itu.
Ia
mengeluarkan kamera poket yang sering ia bawa guna mendapat bukti fisik yang
memperkuat sebuah berita. Terlihat di depanya, sebuah minibus yang terbalik.
Tidak ada kejelasan dari penyebab terjadinya kecelakaan. Yang jelas, ia
mempertahankan sebuah spekulasi bahwa minibus itu menghantam pohon sampai
terbalik karena menghindari tikungan.
Dalam
hatinya, ia sungguh senang. Ia dapat berita, dan ancaman pemutus
ketenagakerjaan akan diundur untuk beberapa bulan.
Sreeek… Sreeek…
Sebuah
suara gemeresak tampak mengusik pikirannya yang tengah melanglang buana. Sampai
akhirnya, ia menemukan sebuah kepala yang masih bergerak-gerak di dalam kursi
kemudi.
Kepala
itu semakin bergerak dan mendongakkan wajahnya yang berlumuran darah. Matanya
melotot sambil bibirnya komat-kamit merapalkan sesuatu. Membuat Surya bergidik
ngeri, sedangkan kepala itu hanya bergerak sebatas sepuluh sentimeter di luar
kaca mobil. Mungkin tubuhnya terjepit.
Surya
mendelik ngeri. Sedangkan wajah itu terus mendongak ke arahnya, seakan memelas
meminta ampunan. Jujur,
Surya dilemma sekarang. Dia akan dipecat jika tidak mendapatkan berita sekarang
juga. Tapi, jika dia tidak menolong orang itu, maka orang itu akan mati
sekarang juga.
Dipecat?
Atau membiarkan orang lain mati di depannya. Pikiran Surya benar-benar
kalut. Ia tidak bisa memilih sekarang. Sedangkan malam itu, jalan begitu sepi,
tidak ada orang lain, selain Surya. Pantaskah ia mengambil berita dan pergi
begitu saja.
“M…Mm..mass…”
ujar orang itu terbata-bata, membuat ironi berdiri dan berbaris serentak pada
nuraninya.
Hatinya
kalang kabut. Kadang gelap, kadang terang. Dan dia bingung harus memihak yang
mana. Sementara kilasan balik masa-masa di mana ia terus diperbudak oleh
kata-kata sang Bos terngiang-ngiang. Menguak rintangan yang tambah pekat. Tapi
di lain pihak, rintihan lirih terasa dekat dan mengeras di telinganya.
Ah,
masa bodoh! Batinnya.
Masa
bodoh jika ia harus dipecat. Masa bodoh jika dia harus jadi pengangguran untuk
beberapa waktu. Yang terpenting, ia harus pertahankan apa yang memang harus
dipertahankan.
Surya
langsung memasukkan kamera poketnya, bergegas menuju minibus itu. Dia tak
peduli, jika esok harus mendapat tamparan resiko yang fatal. Yang jelas, ia
tidak mau menjual nuraninya pada sebuah pekerjaan.
Nurani
yang berarti seperti ini, tidak untuk dijual.
***
Ditulis sekitar satu tahun yang lalu, 8 Oktober 2012, dengan masih banyak kekurangan. Semoga menjadi sedikit pencerahan. Hidup pewarta dunia!
Comments
Post a Comment