[Review] Film Tanah Surga Katanya : Ibarat Sebuah Dokumenter Kegagalan Pemerintah #bridgingcourse



Judul               : Tanah Surga Katanya
Sutradara         : Herwin Novianto
Tanggal Rilis   : 15 Agustus 2012
Bintang           : Aji Santoso, Fuad Idris, Ence Bagus, Ringgo Agus Rahman, Astri Nurdin

“Tapi apa yang Ayah harapkan dari Pemerintah? Mereka tidak pernah memberikan apa-apa untuk Ayah yang berjuang di perbatasan,” – Haris (Ence Bagus)
Kalimat yang dilontarkan oleh Haris (Ence Bagus) kepada ayahnya, Hasyim (Fuad Idris) dalam salah satu adegan di film Tanah Surga Katanya merupakan salah satu gugatan yang telak untuk pemerintah Indonesia. Kalimat itu seakan-akan memang ditujukan untuk mengoreksi kinerja pemerintah. Dalam pernyataan ini, ada sarkasme yang begitu lugas untuk pemerintah yang gagal dalam membangun bangsa baik dalam pemerataan pembangunan maupun kolektif identitas atau pencitraan bangsa.
Film ini menceritakan mengenai  keluarga Salman (Aji Santosa) yang hidup di perbatasan bersama kakek dan adiknya, Salina (Tissa Biani Azzahra). Hidup dalam lingkungan perbatasan antara Indonesia (Kalimantan Barat) dan Malaysia (Serawak), membuat Hasyim, sang Kakek selalu mengingatkan cucu-cucunya agar terus menanamkan kecintaan terhadap bangsa ini. Hasyim yang dulunya adalah seorang pejuang tanah air selalu mengajarkan nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia. Diceritakan dalam film ini, Hasyim begitu keukeuh untuk terus hidup dan mengabdi di Indonesia walaupun tidak pernah mendapatkan apapun dari pemerintah.
Suatu hari, ayah Salman dan Salina yang diperankan oleh Ence Bagus mengajak keluarganya untuk pindah ke Malaysia. Alasan Haris adalah karena kehidupan di Malaysia jauh lebih layak daripada di Indonesia. Pernyataan ini semakin menyudutkan peran pemerintah dan kroni-kroninya. Bagaimana bisa sebuah film bisa mengungkapkan hal ini jika tidak ada fakta yang mendasarinya?
Tentunya, kisah yang digambarkan dalam film ini bukan sekedar fiksi semata. Semua yang diceritakan oleh film ini bukan hanya bualan yang dibesar-besarkan untuk menarik perhatian khalayak. Namun, film ini digarap berdasarkan fakta-fakta yang memang terjadi di daerah perbatasan, khususnya perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak. Dalam film ini diceritakan bahwa masyarakatnya tidak mengenal negaranya dengan baik. Mereka tidak mengetahui lagu kebangsaan, warna bendera Indonesia, bahkan hal yang vital seperti mata uang pun, mereka lebih mengenal ringgit daripada rupiah.
Kebutaan masyarakat terhadap bangsanya sendiri begitu terlihat di setiap adegan yang ada. Seperti ketika Astuti (Astri Nurdin), guru yang mengajar di daerah tersebut menyuruh anak-anak di sana untuk menggambar bendera merah putih. Akan tetapi, gambar yang begitu sederhana tersebut hanya dapat diseleseikan dengan baik oleh satu anak saja, yaitu Salina.
Cuplikan lain yang menggambarkan betapa ironinya sebuah krisis identitas nasional juga ditunjukan ketika Dokter Anwar (Ringgo Agus Rahman) memberikan uang rupiah kepada salah satu anak di daerah tersebut dan ditolak karena dikira uang palsu. Miris, ketika masyarakat di sana tidak hanya tidak dipedulikan oleh pemerintah, tapi mereka sendiri juga telah meloloskan nilai-nilai identitas nasional. Keduanya sama-sama terjerat dalam situasi yang tidak kooperatif. Tetapi, di lain pihak, hal ini tentunya terjadi begitu saja karena pemerintah tidak memberikan aksi yang jelas kepada masyarakat perbatasan.
Film ini adalah sebuah refleksi nyata, betapa pemerintah sangat lumpuh dalam memeratakan pembangunan daerah. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, tidak perlu lagi dipertanyakan mengenai fasilitas dan sarana pemerintah yang ada. Akan tetapi di daerah-daerah pelosok seperti Tarakan, masih membutuhkan perhatian yang besar dari pemerintah. Sayangnya, pembangunan di Indonesia cenderung terpusat dan hanya mementingkan aspek-aspek pasar saja.
Setiap adegan begitu menyentuh dan mengggetarkan rasa nasionalisme seseorang. Apalagi adegan ketika Salman berusaha menebus bendera merah putih dengan sebuah sarung yang baru dibelinya. Adegan ini seharusnya begitu menggugah hati masyarakat yang tinggal di zona nyaman. Adegan tersebut mendeskripsikan betapa seorang anak kecil yang kurang pendidikan masih berjuang untuk bangsa Indonesia. Betapa seorang anak kecil masih mau menanamkan rasa nasionalisme walaupun dirinya diabaikan dari program kerja pemerintah yang harusnya dilakukan
Tidak hanya menyuguhkan cerita yang menyentil rasa nasionalisme, film ini juga digarap dengan begitu artistik. Setting latar dan penataan gambar begitu tertata rapi dengan sudut-sudut yang pas sehingga penonton seakan merasakan langsung di daerah perbatasan. Tidak hanya itu, latar musik atau backsound dalam film ini begitu memperkuat rasa emosional ketikan menontonnya.
Walaupun, ending dari film ini disampaikan secara tersirat dan terasa begitu antiklimaks, namun ada hal unik yang dianalogikan. Kematian Hasyim dan kemenangan Malaysia dalam pertandingan sepak bola dengan Indonesia seakan memberikan kesan bahwa bangsa ini masih tetap dijajah bangsa lain.
Namun, film ini tetap memiliki kejanggalan yang luput dari penggarapan. Seperti misalnya, ketika Salman dapat menelepon ayahnya di atas sampan, padahal Dokter Anwar harus naik ke atas genteng demi mendapatkan sinyal.
 Tidak hanya itu, film ini seakan-akan memunculkan antipati yang berlebihan terhadap negara Malaysia. Nilai-nilai nasionalisme yang diwujudkan dalam sikap Hasyim malah cenderung seperti chauvinisme. Dikhawatirkan, masyarakat melihat Malaysia sebagai musuh.
Walaupun begitu, film ini tetap berusaha menampilkan bahwa nasionalisme harus tertanam dalam jiwa tiap warga Indonesia. Sayang, film ini rilis bersamaan dengan film Di Bawah Lindungan Ka’Bah dan Pertahu Kertas yang terlebih dulu melejit dengan novelnya sehingga orang lebih penasaran. Tetapi, film yang rilis bersamaan dengan suasana kemerdekaan ini tentu masih mendapat tempat dari masyarakat.

Film ini sudah rilis semenjak satu tahun yang lalu. Namun sepertinya, masih belum ada perkembangan dari daerah-daerah pelosok yang ada di Indonesia. Entah pemerintah masih bebal, atau pun pura-pura tidak tahu. Yang jelas, film-film bertemakan seperti ini sudah banyak beredar di kalangan masyarakat. Jangan sampai film ini hanya menjadi salah satu dokumenter kegagalan pemerintah yang tidak kunjung direhabilitasi.
Masih seputar cuplikan percakapan antara Haris dan Hasyim. Ketika menjawab pernyataan anaknya, Hasyim mengatakan, “Aku mengabdi bukan untuk pemerintah. Tapi untuk negeri ini, bangsaku sendiri,”
Namun sayangnya, dalam pernyataan tersebut, Hasyim lupa bahwa negeri ini, bangsa ini, telah dikuasai oleh pemerintah. Yang di mana pemerintah tetap akan menjadi yang pertama merasakan ‘pengabdian’ rakyat.
Tanah Surga Katanya, memang benar-benar tanah surga. Hanya ‘penghuni-penghuni’nya saja yang bukan orang surga. Penghuni-penghuni yang sibuk mengurusi kepentingannya sendiri sampai mereka tidak sadar bahwa secara tidak langsung telah menjadi artis dalam beberapa film di Indonesia. Film ini, ibarat sebuah rangkaian dokumenter yang menceritakan bagaimana pemerintah gagal dalam pemerataan pembangunan daerah dan menjamin kolektif identitas nasional.

Lamia Putri Damayanti
345745

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan