Cerita tentang Perempuan


Buku ini menyadarkan aku bahwa sampai saat ini aku tidak pernah bebas sebagai manusia yang utuh. Buku ini mengajarkan aku betapa aku terlalu dungu dalam situasi dan lingkungan yang terus mengatur serta mendoktrin pikiranku. Buku ini telah memperlihatkan padaku – bahwa sesungguhnya seorang manusia, khususnya perempuan sejatinya memiliki pikiran yang bebas dan bebas dari doktrin pemikiran mana pun – termasuk laki-laki.

Intinya, buku ini berhasil membukakan sebuah semesta yang gelap padaku, yang pada hakikatnya tanpa batas dan tidak berujung. Buku ini berhasil membuatku terperangah dan sekali lagi menyadarkan aku bahwa aku mampu mentitah diriku sendiri dengan telunjukku sendiri tanpa aturan mega ketat dari laki-laki.




*

Pandangan Dangkal Mengenai Seks dan Perempuan

“Perempuan adalah persoalan bekas,” 

Selesai membaca buku karangan Nawaal El Saadawi berjudul Perempuan dalam Budaya Patriarki, aku menyimpulkan demikian. Itu bukanlah sebuah simpulan yang rigid dan valid dari diriku. Namun simpulan itu adalah perkara stereotipe dan stigma. Aku mulai memercayai bahwa orang-orang – khususnya laki-laki hanya memandang perempuan sebagai objek, hanya sebatas itu. Perempuan adalah persoalan bekas. Perempuan hanya tentang apakah ia seorang perawan ataukan janda. Hanya sebatas itu.

Masyarakat awam secara tidak langsung menganggap perempuan hanya demikian, mereka adalah persoalan bekas. Tak penting apakah mereka memiliki keterampilan, kecerdasan, dan keahlian yang lebih dibandingkan seorang laki-laki. Selama budaya patriarki terus tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat, perempuan adalah objek yang lemah, tidak berdaya, dan sebatas alat reproduksi.

Sekali lagi, aku ingin menekankan bahwa yang menyimpulkan demikian bukanlah aku, bukan pula Nawaal, namun lingkungan serta fakta-fakta yang menyertainyalah yang membuatku berpikir demikian. Dan aku setuju perihal persoalan bekas. Di beberapa kasus aku sering menemui laki-laki yang sangat bergairah mencari perempuan perawan untuk menggaulinya bahkan memerkosanya. Hampir semua laki-laki di dunia ini selalu mencari perawan dan akan jijik ketika mengetahui bahwa mereka sudah tidak lagi perawan.

Mereka akan bertanya-tanya atau bahkan berfantasi tentang asal-usul hilangnya keperawanan seorang perempuan. Dan dengan mudah mereka menuduh para perempuan-perempuan yang sudah tidak lagi perawan itu dengan sebutan ‘bekas’. Parahnya di antara mereka terkadang dengan kejam memberikan label bahwa perempuan yang tidak lagi perempuan adalah wanita binal dan liar. Pertanyaannya, sebenarnya siapa yang membuat mereka tak lagi perawan?

Inilah yang dimaksud dengan persoalan bekas. Perempuan hanya ‘barang’ yang dipakai. Selepas dipakai ia adalah bekas, tidak lagi suci, tidak lagi berwibawa, tidak lagi bermartabat, dan tidak memiliki harga sama sekali untuk dihormati. Padahal, terenggutnya keperawanan seorang perempuan tidak melulu karena seks bebas. Ada di antara mereka yang menjadi korban pemerkosaan, ada juga yang menjadi ‘korban pernikahan’ (menikah selama beberapa hari setelah malam pertama kemudian dicerai).

Aku tidak mengajak seseorang untuk membahas hal-hal vulgar dan porno. Menurutku apa yang aku tulis ini adalah sebuah kewajaran yang harus diketahui semua orang. Bahwa tidak pantas perempuan hanya dipandang sebagai objek dan persoalan bekas. Aku tidak kemudian melegalkan seks bebas. Aku juga tidak kemudian mengatakan bahwa perempuan yang sudah tidak perawan itu paling baik. Namun, stereotipe masyarakat yang seperti ini hanya semakin menyudutkan perempuan. Membawa mereka pada tekanan-tekanan psikis. Membuat mereka resah dan hanya menganggap mereka sebatas alat pemuas seksual yang baru ataupun yang bekas.

Sungguh, aku benci sekali dengan stereotipe demikian. Perempuan bekas? Adakah frasa yang lebih menyakitkan daripada itu? Aku sendiri heran, mengapa persoalan perawan dan tidak perawan dibawa sampai serumit itu. Mengapa semua orang selalu menyudutkan perempuan yang tidak lagi perawan sedangkan laki-laki yang sudah tidak perjaka dibiarkan begitu saja bebas berkeliaran? Mengapa segala hal berbentuk intimidasi pada konteks permasalahan yang sama tidak pernah diberikan secara setara kepada laki-laki dan perempuan.

Dalam hal ini, sekali lagi aku tekankan bahwa aku tidak melegalkan pergaulan bebas yang menyebabkan seorang perempuan tidak lagi perawan dan seorang laki-laki tidak lagi perjaka. Aku ingin mempermasalahkan kenapa segala hal harus dipikul oleh seorang perempuan.

Aku terus bertanya-tanya, sampai detik ini. Seorang perempuan yang pernah melakukan hubungan seksual adalah persoalan bekas. Laki-laki dengan semena-mena hanya menentukan ketidakperawanan perempuan melalui darah di malam pertama atau robeknya selaput dara. Sedangkan seorang perempuan akan sulit bahkan mustahil mengidentifikasikan apakah suami atau kekasihnya sudah tidak lagi perjaka. Sedangkan laki-laki itu menuntut perempuannya perawan. Dapat dikatakan bahwa laki-laki dapat melakukan hal sebebas-bebasnya tanpa ketahuan tapi terus menuntut kepada perempuan. Sedangkan mitos selaput dara adalah fakta yang sudah dipecahkan oleh ilmu kedokteran yang masih dipercayai oleh orang-orang konservatif.

*
Konsep Kecantikan dan Cinta serta Konstruksi yang Menyertainya

Perempuan harus selalu cantik
Perempuan harus tampak muda
Perempuan harus mampu bekerja seperti kuda

Namun tidak ada kebebasan baginya kecuali ancaman agar terus memenuhi keinginan laki-laki.

“Everything is beauty but nobody sees it,”

Dan dengan tegas, aku akan berkata bahwa setiap perempuan itu terlahir cantik dengan caranya masing-masing. Mereka sudah ditakdirkan menjadi cantik bahkan ketika mereka tidak mengetahuinya dan tidak menyadarinya. Hanya saja, tidak semua orang melihat kecantikan seorang perempuan. Hanya saja, tidak semua orang mau mengetahui itu. Hanya saja, semua orang hanya melihat segalanya sebatas visual.

Entahlah, aku tidak tahu kenapa, aku selalu berpikir bahwa perempuan-perempuan yang berusaha tampil cantik di hadapan laki-laki adalah tindakan yang sia-sia. Aku selalu berpikir, mengapa seorang perempuan harus selalu tampil cantik jika dan hanya jika hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Apalah arti sebuah kecantikan bila hanya dijadikan eksploitasi laki-laki. Sedangkan mereka – laki-laki tidak pernah tahu betapa susahnya tampil cantik di depan laki-laki.

Sampai saat ini pula, kriteria cantik menjadi sebuah misteri yang tidak pernah terpecahkan. Konsep cantik adalah sesuatu hal yang tidak dapat dimaktubkan seperti rumus-rumus matematika yang jelas dan pasti. Namun masyarakat awam terus saja mengkontruksi dan membangun suatu pemahaman tentang cantik. Dan pada akhirnya, mereka-mereka yang tidak dianggap cantik akan tersisih dari lingkungannya, bahkan yang paling mengerikan akan mendapatkan pelecehan dan direndahkan.

Dari dulu aku selalu bertanya-tanya bagaimana itu cantik? Dan yang terpenting untuk apa dan untuk siapa menjadi cantik itu? Sekali lagi, kalau hanya untuk seorang laki-laki, maka sia-sialah hidupku. Karena pada dasarnya laki-laki adalah makhluk visual. Mereka adalah makhluk hidup yang dengan mudah memberikan penilaian terhadap fisik seseorang. Bahkan guyonan-guyonan mereka tidak jauh-jauh dari fisik.

Dan karena laki-laki adalah makhluk visual maka itu artinya merekalah yang menciptakan bagaimana itu cantik menurut seleranya.

Aku mengutip salah satu pernyataan Nawaal dalam bukunya, ia menuliskan:

                  “Kriteria kecantikan juga muncul dari latar belakang pandangan yang sempit terhadap kaum  wanita ini. Seorang wanita yang cantik adalah seorang gadis muda dengan tubuh berkilauan meskipun   pikirannya kosong. Kecantikannya dinilai dari bentuk hidungnya sedikit lebih panjang dari seharusnya,  atau bila lingkar pinggul kurang beberapa mili meter dibanding yang dianggap pantas. Namun terhadap laki-laki, tidak satu pun yang diperhitungkan kecuali jumlah uang di kantongnya.” (hlm. 152)

Aku jadi teringat, beberapa saat yang lalu seorang teman mempermasalahkan keadaan fisiknya. Hal ini dikarenakan tidak ada satu pun laki-laki yang mendekatinya. Dia berkata padaku, “Apa aku kurang cantik ya? Apa aku harus lepas kerudung saja biar ada seorang laki-laki yang melihatku,”

Saat itu juga aku merasa bahwa teman perempuanku itu adalah jiwa yang tidak bebas dengan raga yang kosong. Ia adalah perempuan yang terkungkung dalam dominasi laki-laki. Ia adalah seorang perempuan yang mempertimbangkan segala sesuatu hal dengan dangkal. Ia adalah perempuan yang dijajah secara psikis oleh laki-laki.

Untuk apalah menjadi cantik dan dikerubuti banyak laki-laki. Mungkin sebagian perempuan menganggapnya sebagai sebuah kebanggaan. Namun temanku adalah seorang yang putus asa dalam pencarian cintanya. Ia berpikir bahwa seharusnya ia sedikit lebih cantik. Padahal seharusnya ia menyadari bahwa sesungguhnya ia sudah terlahir cantik sedari dulu. Sekali pun laki-laki menganggapnya tidak. Dan hal itulah yang membuatku berpikir bahwa pikirannya tidaklah bebas dan utuh. Ia terlanjur terjebak dalam opini laki-laki tanpa menyadari fakta bahwa ia sudah cantik lebih dari apapun.

Padahal di satu sisi pula, ia lupa bahwa kecantikan bukanlah segalanya. Kecantikan akan meluntur, perempuan akan dengan cepat mudah tua karena terus dipaksa bekerja dalam rumah tangga, dan pada saat itu seorang perempuan tidak bisa lagi mengandalkan kecantikannya untuk mempertahankan suaminya. Dan pada saat itu pula, seorang perempuan akan sadar bahwa jika seorang laki-laki mencintainya karena fisik maka ia akan membenci dan meninggalkannya karena fisik pula.

Padahal, jika seorang laki-laki benar-benar mencintai seorang perempuan. Ia tidak akan pernah peduli bagaimana bentuk dan rupa sang gadis. Dan laki-laki itu akan mencintai perempuan itu utuh tanpa melihat kecantikan, kecerdasan, keterampilan, dan keahlian. Bahkan ia akan mencintai keburukan-keburukan perempuan itu tanpa terkecuali. Tanpa menuntutnya untuk berubah karena perubahan itu bisa jadi menyakitkan untuk sang perempuan.

Sekali aku akan mengutip salah satu pendapat Nawaal,

                   “Salah satu prinsip pertama tentang kehormatan dan cinta adalah bahwa satu pihak tidak boleh menundukkan pihak lain. Jika seorang kaya menindas seorang miskin, penindasan ini berlawanan dengan apa yang dianggap sebagai kehormatan. Jika seorang laki-laki memiliki seorang perempuan seolah-olah perempuan itu adalah hartanya, hubungan ini pada hakikatnya tidak bisa dianggap sebagai kehormatan. Kehormatan adalah persamaan dan keadilan dalam hak-hak manusia. Cinta yang terhormat adalah cinta yang dibangun di atas persamaan keadilan seperti ini.

Salah satu syarat cinta sejati, serta seimbangnya kondisi yang diperlukan untuk pertukaran itu adalah persamaan kedua belah pihak. Pertukaran tidak bisa terjadi antara majikan dan budak, antara sesuatu yang lebih tinggi dengan sesuatu yang lebih rendah, seperti halnya air tidak bisa mengalir ke atas tanpa campur tangan tertentu. Cinta sejati dengan demikian tidak bisa didasarkan atas sebuah huubungan yang dicirikan oleh eksploitasi apapun. Dengan demikian benar bila dikatakan bahwa hampir semua hubungan yang terdapat antara pria dan wanita tidaklah dibangun di atas cinta sehati. Cinta yang tampak terpancar dan terungkap dari lagu-lagu Mesir, dilantunkan dengan desah dan tangis, bukanlah cinta yang sebenarnya, kasih saying digambarkan antara laki-laki dan perempuan dalam sastra Arab atau kisah-kisah pnderitaan dalam cinta- atau cinta buta, cinta nafsu, cinta romantis – bukanlah ungkapan perasaan yang dapat disebut sebagai cinta sejati.

Cinta adalah pengalaman terbesar yang dengan kenyataannya kehidupan manusia dapat berlangsung, karena dengan cinta semacam itu memungkinkan potensi-potensi fisik, mental dan emosional manusia, laki-laki dan perempuan, untuk mencapai  puncak intensitas tertinggi dan menyelam ke dalam diri dan kehidupan.” (hlmn, 142-143)

Sampai saat ini aku masih berusaha memahami tentang konsep-konsep perempuan. Aku masih ingin memahami bagaimana perspektif laki-laki kecuali perspektif visual mereka terhadap perempuan. Aku pun masih dangkal dalam berpikir. Namun setidaknya, aku ingin mendobrak cara berpikir yang terlalu primitif dan konservatif. Tidak ada lagi hal yang harus dikorbankan kalau itu hanya untuk seorang laki-laki. Sekali pun begitu, aku juga tidak menyangkal bahwa ketertarikan seorang laki-laki kepada perempuan adalah melalui fisik. Ia akan menelusuri tubuh perempuan tersebut kemudian beralih pada wajah. 

Saat itu ia akan menentukan apakah ia akan mendalam ketertarikannya pada pengenalan yang lebih intim. Hal ini mungkin yang menjadi alasan mengapa perempuan yang dianggap (garis bawahi, ‘dianggap’, artinya hal tersebut merupakan konteks yang berdasar pada lingkungan bukan fakta) cantik lebih mudah mendapatkan kekasih, suami atau sekedar pria-pria yang ingin mendekaitnya. Realistis saja, hal tersebut bukanlah bualan belaka. Pada dasarnya, laki-laki memang melihat segala sesuatunya lewat fisik.

Mungkin bisa jadi, cinta sejati adalah mitos, dongeng, atau legenda tak berjejak. Tapi bisa pula merupakan teori yang jelas rumus-rumus kepastiannya. Namun yang jelas, dari sini aku bisa menyimpulkan bahwa sulit untuk berutopis bahwa seorang laki-laki benar-benar mampu mencintai seorang perempuan tanpa melihat fisiknya terlebih dahulu.

Konsep kecantikan serta kontruksi yang dibawanya adalah petaka bagi kaum perempuan namun celah dan peluang keuntungan yang membengkak bagi kaum kapitalis. Melalui tangan-tangan mereka, produk kosmetik diciptakan. Mereka membuat slogan-slogan bahwa perempuan cantik adalah yang begini dan begitu.

Perempuan terus digiring, dibiarkan dalam perasaan bersalah dan tidak jujur pada dirinya. Perempuan terus menjalani kehidupan di mana ia merasa kurang dan tidak memahami dirinya kecuali kondisi fisiknya.

Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, menjadi cantik dan cerdas seperti konsep yang aku bangun sendiri. Aku tak mau terjajah secara psikis, merasa tidak puas, dan tidak pernah jujur pada kondisi yang aku miliki.

Aku ingin bebas, tidak terdoktrin, dan tidak pula digiring. Aku ingin menjadi perempuan seperti apa yang aku inginkan bukan seperti apa yang orang lain inginkan, khususnya laki-laki.


*

Referensi:
Sadaawi, Nawal El. 2010. Perempuan dalam Budaya Patriarki. Yogyakarta: Yayasan Obor

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan