Etika Komunikasi 3
Eksploitasi Ruang Privat Dalam Ranah Publik
Komersialisasi Ruang Privat dalam Acara Variety Show "Everybody is Superstar"
Media penyiaran menggunakan
frekuensi sebagai medium untuk menyampaikan konten yang berada di dalamnya.
Berdasarkan Undang-Undang No 32 tahun 2002, frekuensi ditetapkan sebagai milik
publik. Dari kedua premis ini maka dapat dikonklusikan bahwa media penyiaran
adalah ruang publik. Dalam hal ini media penyiaran menggunakan milik publik,
artinya, dalam pemanfaatkan frekuensi tersebut, publik berhak mendapat
kesesuaian dan keuntungan. Namun, pada kenyataannya, frekuensi dimonopoli oleh
kepentingan berbagai media penyiaran demi mendapatkan kepentingan kue iklan.
Pelanggaran etika terkait dengan monopoli frekuensi oleh media sendiri telah
sering kali terjadi.
Beberapa di antaranya adalah
acara live Raffi Ahmad dan Nagita Slavina
serta persalinan istri Anang Hermansyah, Ashanty. Secara hierarkis, Raffi Ahmad
dan Anang hanyalah publik figur di tingkat paling bawah. Maksudnya tingkat
paling bawah adalah pengaruh yang dimiliki oleh keduanya. Kedua orang ini bukan
pejabat, bukan juga ngarso dalem
alias keluarga Sultan, apalagi anak presiden. Dalam hal ini, dapat dikatakan
bahwa urgensitas penayangan kedua peristiwa tersebut adalah nihil.
Pernikahan Raffi dan Gigi yang
ditayangkan secara eksklusif oleh Trans TV adalah bentuk kenihilan urgensitas.
Peristitwa ini sebetulnya sangat tidak mendesak untuk diketahui oleh publik.
Bahkan, (jika saya dapat berbicara secara personal), peristiwa tersebut tidak
selayaknya disiarkan di televisi (dengan menggunakan frekuensi milik publik).
Sebab, pernikahan tersebut tidak bersifat publik dan tidak memiliki nilai
urgensitas maupun salah satu acara penting kenegaraan yang harus diketahui oleh
masyarakat banyak. Pernikahan Raffi dan Gigi adalah ihwal privat yang
sesungguhnya tidak perlu ditampilkan di televisi – sebagaimana telah dijelaskan
bahwa televisi adalah milik publik (ruang publik). Artinya kepentingan publik
tentu berada di atas kepentingan privat. Seperti halnya ketika berhadapan
dengan asas kepentingan umum, segala bentuk kepentingan privat semestinya
dienyahkan.
Berdasarkan ilustrasi mengenai
keberadaan pernikahan “Raffi-Gigi”, saya akan menyinggung problematika etika media
penyiaran, khususnya dalam bentuk pelanggaran terkait dengan ruang publik.
Dalam hal ini saya akan membahas mengenai eksploitasi sekaligus komersialisasi
ruang privat dalam ranah publik. Memahami bahwa frekuensi adalah milik publik,
tentunya ekspos terhadap ruang-ruang privat demi kepentingan pribadi merupakan
suatu hal yang (sama sekali) tidak dapat dibenarkan.
Berbicara soal ruang privat,
kita dapat mengartikannya secara sederhana – yaitu segala sesuatu hal yang
bersifat pribadi/privasi. Merujuk pada terminologi “pribadi” tentunya kepatutan
untuk tidak membeberkannya ke ruang publik adalah hal yang mesti dilakukan. Sayangnya,
lagi-lagi (sekali lagi saya menegaskan), televisi sebagai ruang publik telah
melalaikan hal tersebut. Salah satu eksploitasi ruang privat yang sering kita
temui adalah pemberitaan mengenai kehidupan selebriti di infotainment.
Hingga kini, tidak ada satu pun
teori yang mampu menjelaskan apa yang menyebabkan pemberitaan mengenai
selebriti harus disiarkan. Padahal, pemberitaan mengenai selebriti tidak
ubahnya seperti kehidupan manusia yang lain pada umumnya. Perlu digarisbawahi pula
bahwa saat ini pemberitaan mengenai selebriti berputar di antara “perceraian” “pernikahan”
dan berbagai “skandal” yang dialami oleh selebriti.
Sayangnya, berbagai stasiun televisi
tersebut sepertinya lupa bahwa “cerita artis” adalah sesuatu yang sifatnya
lebih cenderung privat daripada publik. Berbagai stasiun televisi seperti Trans
TV bahkan menyiarkan berita seputar selebriti lima kali setiap harinya. Hal ini
melebihi jumlah acara siaran berita yang kini (saya yakini) lebih penting
daripada berita mengenai artis. Adapun berita-berita mengenai artis seringkali
tidak bermutu dan tidak bermanfaat. Seperti misalnya saja peceraian Ayu Ting Ting
dan skandal seks Amel Alvi. Publik tidak membutuhkan pemberitaan seperti itu
karena tidak menyangkut kepentingan umum dan tidak memiliki urgensitas.
Pelanggaran
etika di ruang publik tidak hanya disebabkan oleh pemberitaan artis.
Eksploitasi berlebihan mengenai ruang privat tidak hanya disajikan oleh infotainment – yang mana memang memiliki
visi-misi yang demikian. Celakanya, beberapa acara reality show, variety show, dan talk
show juga disisipi oleh ekspolitasi ruang privat yang berlebihan.
Sebut saja Rumpi No Secret yang hingga kini popularitasnya semakin melejit.
Menurut saya, konsep acara ini tidak jelas karena hanya bertujuan untuk
mengorek informasi para bintang tamu. Adapun informasi yang akan didapatkan
melalui para bintang tamu tidak penting untuk diketahui oleh publik. Acara ini
sendiri memang sebenarnya dikonsepkan untuk menjadi acara gosip yang “live”. Acara gosip oleh infotainment
hanya dapat dilakukan dengan mencari pernyataan para artis. Sedangkan dalam
acara Rumpi No Secret, para bintang
tamu diundang untuk diwawancara secara mendetail tentang kehidupan pribadinya.
Secara khusus, acara ini memang
bertujuan untuk mengekspos ruang privat ke hadapan publik. Namun, bagaimana
dengan acara yang secara umum adalah ajang bakat dan unjuk talenta tetapi
ternyata mengekspos ruang privat dan berbagai skandal para artisnya? Sebut saja
acara tersebut “Everybody is Superstar”
yang ditayang oleh (lagi-lagi) Trans TV. Acara ini sebetulnya memiliki konsep
untuk menjadikan “teman artis” sebagai “artis” dengan ajang menyanyi. Namun,
pada beberapa segmen – bahkan dalam keseluruhan segmen – selalu saja ada ruang
privat para artis yang diekspos. Hal yang lebih saya sayangkan lagi adalah
salah satu juri dari acara tersebut merupakan anggota DPR, yaitu Eko Patrio. (Walaupun
sekarang Eko telah berhenti menjadi juri).
Sebagai seorang anggota DPR –
saya pikir, Eko seharusnya mengetahui dengan baik garis batas antara ruang
publik dan ruang privat. Namun, yang terjadi adalah Eko sepertinya acuh bahkan
mengikuti alur para kreatif yang mengkonsepkan acara ini. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, acara ini memiliki tema besar “ajang menyanyi”. Ajang
menyanyi tersebut dilakukan oleh dua orang yang mana salah satunya telah
menjadi artis “besar” sementara sisanya adalah “calon artis”. Konsepnya
sebetulnya jelas – “ajang menyanyi”. Namun, pada praktiknya segmen acara ini
dibumbui oleh berbagai eksploitasi serta komersialisasi ruang privat. Saya
pribadi tercengang menonton acara ini untuk pertama kalinya. Sebab, alih-alih
menonton orang bernyanyi, saya malah menonton acara gosip secara live dalam sebuah panggung hiburan.
Dalam hal ini, saya melihat sebuah drama di atas panggung di mana semua orang
bergunjing tentang suatu hal. Mereka tidak bergunjing pada suatu hal yang
besar. Mereka menggunjingkan sesuatu hal yang sangat tidak penting dan
meyuguhkannya untuk masyarakat Indonesia.
Saya akan memberikan salah satu
contoh tayangan “Everybody is Superstar”
yang dengan lucunya malah menayangkan sebuah segmen yang tidak ada kaitannya
sama sekali dengan ajang bernyanyi. Anda dapat menyaksikan salah satu
cuplikannya di sini (https://www.youtube.com/watch?v=yfUTHug-p3M
https://www.youtube.com/watch?v=0PI230aRxHY,
dan https://www.youtube.com/watch?v=zX5TvBBim-M).
Dalam tayangan tersebut, secara tiba-tiba Viky Prasetya datang dan melamar
Fiona. Kekacauan terjadi dan Viky mengamuk tidak jelas. Padahal acara ini live. Artinya tidak akan ada proses
editing sehingga masyarakat (publik) menikmati sebuah tayangan yang tidak jelas
konsepnya.
Pada salah satu episode yang
lain (sayang sekali saya tidak dapat menemukan link youtube episode tersebut. Kalau tidak salah episode tersebut tayang
pada Jumat, 24 September 2015), Viky Prasetya tiba-tiba datang dan mengacaukan
acara tersebut. Lagi-lagi dia mencoba merayu Fiona yang saat itu telah bersama
dengan Ramazan. Dalam segmen itu pula diperlihatkan screenshoot percakapan antara Fiona dan Viky dalam salah satu instant message, yaitu Whatsapp. Kita semua tahu bahwa percakapan personal
dalam pesan WA adalah sesuatu hal yang
bersifat privat. Tidak semua orang dapat mengaksesnya. Namun dengan gagah
beraninya acara ini memperlihatkan percakapan personal tersebut melalui
frekuensi milik publik! Yang lucu dari segmen ini adalah kenihilan para kru
acara tersebut yang membiarkan Viky masuk ke dalam studio. Salah seorang kru
kreatif pun menyatakan bahwa Viky menawarkan screenshoot tersebut untuk
ditampilan. Dan si kreatif ini mengiyakan untuk menampilkannya. Dari sini,
bukankah ada hal yang begitu timpang. Jika acara ini memang sebuah kontes
menyanyi mengapa harus ada “drama kisah cinta” yang tidak jelas di atas
panggung.
Selain kisah Fiona-Ramazan dan
Viky yang begitu “pelik”, kisah lain dikemas dalam acara kontes menyanyi.
Sekali lagi, bukan ajang menyanyi yang diekspos melainkan kisah-kisah ruang
privat para artis. Salah satunya adalah cerita cinta Chand Kelvin dengan
mantan-mantannya terdahulu. Anda dapat menyaksikan acara tersebut di sini https://www.youtube.com/watch?v=8r4Pg3pIt3c.
Dengan durasi lebih dari satu jam, segmen dalam acara ini hanya berbicara
mengenai mantan Chand Kelvin saja. Saya
pribadi gagal paham dengan para pembuat acara ini. Ada garis batas yang sangat
buram antara konsep “ajang menyanyi” dengan “acara gosip”. Jika saya boleh
berpendapat, acara ini tidak ada ubahnya dengan gosip opera sabun yang tidak
memiliki kebermanfaatan sama sekali. Acara yang mengusung kontes menyanyi ini
seolah-olah hanya penggalan yang diselipkan dalam acara gosip.
Sekalipun saya meyakini bahwa
acara ini tidak ada bedanya dengan acara gosip, saya pun bertanya-tanya ihwal “kebenaran”
dalam acara ini. Saya hanya berasumsi bahwa kehadiran Viky dalam setiap segmen
episode, kisah mantan Chand Kelvin, dan tamu misterius yang didatangkan
hanyalah gimmick semata untuk menarik
perhatian publik.
Dalam dunia televisi, Anda
memang akan sering mendengar kata gimmick.
Gimmick adalah sebuah adegan khusus,unik, dan menarik yang memiliki tujuan
untuk membangun emosi penonon seperti sedih, gembira, tertawa atau bahagia.
Semua ini dilakukan agar pemirsa tertarik dan tidak berpindah ke kanal stasiun
televisi lainnya. (http://www.kompasiana.com/ombrill/nggak-ada-gimmick-nggak-kreatif_552915c96ea834e03a8b45a8)
Menurut Brilianto K Jaya (dalam http://www.kompasiana.com/ombrill/nggak-ada-gimmick-nggak-kreatif_552915c96ea834e03a8b45a8),
gimmick dianggap bagian dari sebuah
"aplikasi kreatif", yang diadaptasikan di dalam segmentasi program
acara televisi. Bisa pada saat opening
program, bridging antara segmen menuju ke commercial break, bisa pula pada saat closing program, dimana penonton dibuat penasaran agar terus
menyaksikan program tersebut. Ada berbagai macam gimmick. Bisa dalam bentuk dramatisasi, visual, kuis, short game, sound effect, musik, lipsing,
story telling, testimonial, dan aneka macam gimmick lain.
Dalam acara “Everybody is Superstar” ini sendiri,
saya berasumsi bahwa beberapa selipan segmen bak gosip hanyalah gimmick semata. Saya memang bukan
praktisi televisi yang mengerti kerja di balik layar. Namun, saya sebagai
individu dapat menilai bahwa apa yang ditayangkan oleh acara tersebut tidak
lain dan tidak bukan hanya untuk mengejar rating.
Demi kepentingan ekonomi sekaligus mendapatkan kue iklan, ruang privat
lagi-lagi menjadi obyek eksploitasi.
Agaknya para pekerja industri
pertelevisian lupa, pura-pura lupa, atau bahkan sengaja melupakan hakikat ruang
publik dan ruang privat. Masyarakat pun sebagai penonton seharusnya menyadari
bahwa posisinya dalam menikmati ruang publik akan terancam hanya demi
kepentingan ekonomi para pemilik media. Para pekerja industri pertelevisian
menganggap bahwa acara yang diselingi dengan “fakta-fakta” privat akan lebih
diminati daripada sekadar berita-berita normatif.
Menurut saya anggapan ini adalah
sebuah bentuk pelecehan terhadap penonton. Para pekerja industri itu dengan
serta-merta menggeneralisasi bahwa penonton menyukai sesuatu hal yang
sebenarnya bersifat merugikan bagi mereka. Kita sebut saja bahwa tayangan
tersebut merupakan “tontonan yang buruk”. Para pekerja media tersebut
menganggap bahwa masyarakat menyukai tontonan yang buruk. Tontonan yang buruk
dalam hal ini adalah tontonan yang tidak sesuai dengan kode etik penyiaran dan
menyalahi berbagai peraturan dan hukum yang telah ditetapkan. Jika memang begitu,
bukankah artinya semua itu bentuk pelecehan terhadap penonton?
Sudah saatnya untuk melek media
dan melawan untuk tidak dilecehkan. Sebagai pihak yang memiliki hak lebih dalam
frekuensi, publik seharusnya mampu meliterasi diri mereka sendiri – dan juga
media agar mampu mengawasi berbagai tayangan.
Lamia Putri Damayanti
13/345745/SP/25566
Lamia Putri Damayanti
13/345745/SP/25566
Comments
Post a Comment