Strategi Ekonomi Politik Google dalam Memonopoli Internet


A.    Pendahuluan
            Internet adalah salah satu inovasi teknologi yang mampu menciptakan berbagai fenomena dalam kehidupan manusia. Puluhan tahun silam, penemuan internet hanya diakomodir untuk kepentingan-kepentingan militer dan pendidikan. Selang beberapa dekade, internet kemudian hadir sebagai salah satu sumber informasi paling mudah dan cepat. Di Indonesia sendiri, kemunculan internet pertama kali di tahun 1990-an baru dimaknai sebagai media untuk mencari informasi. Dengan adanya “search engine” atau mesin pencari, pengguna internet dapat mengakses berbagai macam informasi yang telah dihimpun dalam sebuah server.

            Kemunculan internet yang selanjutnya dibarengi dengan perkembangan teknologi tersebut secara terus menerus menciptakan berbagai fenomena. Salah satunya dengan kehadiran sosial media. Bagaimana orang-orang berinteraksi dalam sebuah dunia berjejaring yang tidak memiliki batas antara ruang dan waktu adalah suatu hal yang menjadikannya unik. Mencatut apa yang pernah dikatakan oleh Marshall McLuhan (1992)[1], dunia akan berubah (dengan internet) laiknya desa kecil yang semua orang memiliki akses untuk “bertegur sapa”.
            Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa internet merekonstruksi sebuah ruang baru yang tidak memiliki batas geopolitik yang jelas. Ruang baru tanpa batasan geopolitik itu bisa kita sebut sebagai ruang virtual. Ruang itu ada namun tidak dapat disentuh tanpa medium. Maksud dari medium adalah “teknologi internet” sebagai pencipta ruangan itu. Jika internet tidak ada, otomatis ruang virtual itu hilang.
            Dalam ruang virtual yang memilki konsep berjejaring itu, masyarakat dapat dengan mudah mengakses sekaligus membagikan informasi dengan mudah. Adapun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, internet dalam pengembangannya tidak hanya sebatas sebagai “alat untuk mencari informasi”. Lebih dari itu kini internet digunakan untuk kepentingan ekonomi, politik, dan sosial budaya.
            Salah satu pengembangan dari internet yang sangat dekat dengan kita adalah adanya media sosial yang memudahkan kita dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dapat dikatakan media sosial merupakan ruangan interaksi baru. Mayfield (2008)[2] mendefinisikan media sosial sebagai pemahaman terbaik dari kelompok baru media online. Beberapa jenis media sosial yang populer antara lain blog, Facebook, Youtube, Twitter, MySpace, Flickr dan sebagainya. Beragam media sosial tersebut mengakomodir berbagai bentuk pesan, mulai teks, gambar, audio, video dan animasi.
            Media sosial memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dari media lainnya. Sylvia, Monhee, dan Sangwoon menjelaskan beberapa karakteristik tersebut dalam jurnal mereka “User Perceptions of Social Media: A Comparative Study of Perceived Characteristicsand User Profiles by Social Media.”[3] Pertama, media sosial mendorong partisipasi (participation) dan kontribusi (contribution) dari setiap pengguna. Kedua, keterbukaan (openness) untuk umpan balik sehingga mendorong pengguna untuk memilih, berkomentar dan berbagi informasi. Ketiga, memungkinkan untuk komunikasi dua arah. Keempat, dapat membentuk komunitas (community and communality). Kelima, saling terhubung dengan situs-situs lain dan media massa.
            Dari berbagai karakteristik tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa media sosial menjadi ruang berinteraksi yang (mungkin) lebih demokratis. Jika ditarik lebih luas lagi, internet sendiri menciptakan budaya yang lebih demokratis. Sebab, kebebasan untuk mendapat dan memberikan informasi terimplementasikan dengan menggunakan media sosial. Selain itu orang juga dengan mudah membentuk komunitas dan memberikan ruang yang lebar untuk terus berpartisipasi dan berkontribusi.  Menyikapi apa yang saat ini terjadi akibat adanya teknologi internet, kita menyebut fenomena ini sebaga era digital native (anak-anak yang hidup di dunia digital).
            Era digital native juga ditunjang dengan perkembangan teknologi mobile phone yang kini lebih mengutamakan penggunaan internet dalam berkomunikasi. Kita biasa menyebut mobile phone berteknologi canggih itu dengan istilah “smartphone”. Smartphone menggunakan inovasi teknologi seperti Android, Operating System (OS), maupun microsoft. Dalam hal ini ketiga sistem itu merupakan produk dari Google, Apple, dan Microsoft.
            Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, berbicara mengenai internet, efek yang diberikan tidak hanya sekedar berada di wilayah komunikasi dan informasi. Kita tidak hanya melulu berbicara mengenai media sosial dan bagaimana restrukturasi sosial dan budaya terjadi akibat perkembangan internet yang begitu pesat sehingga regulasi belum mampu mengimbangi inovasi teknologi ini. Internet yang pada awalnya hanya dianggap sebagai sarana untuk mencari informasi memiliki “cerita” yang lebih rumit sebagai sebab dari adanya restrukturasi era “digital native”. Lebih dari itu, internet menjadi ladang bisnis yang sangat menggiurkan. Sebab berbicara mengenai internet tidak hanya berkutat pada persoalan komunikasi dan informasi saja. Namun juga adanya kuasa atas arus informasi dan komunikasi itu sendiri.
            Di balik semua sistem komunikasi dan informasi berbasis internet yang kita gunakan saat ini, (mulai dari search engine sampai media sosial) adalah produk ekonomi yang keuntungannya mungkin tidak pernah kita bayangkan. Tidak hanya keuntungan, tetapi juga bagaimana pemilihan strategi ekonomi yang dijalankan memiliki konsep yang berbeda dari bisnis pada bidang lain seperti pengelolaan sumber daya dan lain sebagainya.
            Di awal kemunculan intenet orang-orang mungkin belum membayangkan bagaimana teknologi ini akan mengubah dunia. Orang-orang juga mungkin tidak dapat memproyeksikan bagaimana internet mungkin menjadi bagian yang cukup vital bagi kehidupan manusia di era digital native. Dalam hal ini, salah satu korporasi besar dalam dunia internet seperti Google telah mengambil alih bahkan menguasai ekonomi politik internet. Keuntungan Google dalam dunia internet saat ini mencapai 26.48%. Lebih dari seperempat dari total korporasi bisnis informasi dan komunikasi dengan basis internet.
            Sebagai salah satu pelopor search engine setelah yahoo[4], google terus menciptakan berbagai inovasi bagi penggunanya. Korporasi ini tidak hanya menjadi search engine semata, tetapi juga menciptakan berbagai produk lain seperti gmail, gdrive, google maps, bahkan sampai operating system bagi smartphone yaitu android yang kini digunakan oleh jutaan manusia di dunia.
            Mungkin selama ini kita tidak sadar bahwa produk-produk tersebut telah mengharuskan kita untuk menggunakannya. Penggunaan android memaksa kita untuk menjadi pelanggan gmail yang pada akhirnya akun gmail kita akan terintegrasi dengan produk-produk lain seperti gmail, gdrive, google maps, google calendar bahkan youtube. Semua produk google terintegrasi menjadi satu dan seolah-olah memaksa kita untuk menggunakan semua produk. Apalagi dengan adanya android yang menjadi salah satu alat oligopoli google dalam menguasai dunia komunikasi dan informasi yang berkaitan dengan internet dan mobile phone sekaligus.
            Berbicara mengenai kegiatan ekonomi politik yang dilakukan oleh Google, korporasi besar ini tidak mencari keuntungan dengan cara konvensional seperti perusahaan besar pada umumnya. Perusahaan sepatu seperti nike menyasar segmentasi pasar tertentu untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu, perusahaan ini juga menempatkan pabrik-pabriknya di beberapa negara-negara berkembang agar mendapatkan “pekerja murah” untuk mendapatkan keuntungan yang besar dengan modal kecil.
            Google mungkin juga melakukannya dengan mencari pekerja outsourcing murah dari China. Akan tetapi fokus Google adalah mencari pengguna sebanyak-banyaknya dengan menawarkan berbagai layanan gratis mereka. Setelah itu mendapatkan jumlah pengguna yang banyak, google “menjual” pengguna mereka kepada para pengiklan dan para pengembang produk aplikasi software yang dapat dibeli di Google Play Store. Dengan kata lain, pengguna google adalah pekerja yang menghasilkan bagi Google. Artinya, strategi ekonomi politik yang dilakukan oleh Google adalah “mengeksploitasi” penggunanya untuk mendapatkan keuntungan. Dan disitulah polemik Google berawal. Jika pada awalnya Google disebut-sebut sebagai penyedia informasi yang menguntungkan, kini korporasi tersebut dianggap sebagai perusahaan kapitalisme oleh Christian Fusch, seorang Profesor Media dan Komunikasi di Universitas Uppsala.

B.     Strategi Ekonomi Politik Google dalam Memonopoli Internet
            Kehadiran internet disebut-sebut membawa angin segar untuk demokratisasi, khususnya dalam dunia komunikasi. Sebab, keberadaan internet membuka peluang besar kepada para pengguna untuk ikur berpartisipasi serta berkontribusi. Selain itu adanya internet juga menawarkan disintermediasi dan kontak langsung dengan masyarakat, penyedia konten, serta para penerbit.
            Walaupun internet memiliki berbagai keuntungan bagi penggunanya, ada satu hal yang perlu dicermati mengenai adanya indikasi monopoli internet. Nikos dalam presentasinya yang berjudul “Google, Facebook, Apple etc. A political Economy of The Internet Monopoly”[5] menjelaskan sebuah realitas di mana restrukturasi lanskap dan budaya industri dalam media internet hanya dimiliki oleh sejumlah kecil perusahaan multinasional.
            Kontrol dari berbagai perusahaan informasi digital hanya terkonsentrasi pada beberapa pelaku bisnis saja. Dalam hal ini Nikos menjelaskan bahwa Google adalah salah satu bagian dari korporasi raksasa yang berkecimpung dalam dunia internet yang melakukan oligopoli terhadap internet itu sendiri. Tujuan dari oligopoli itu sendiri adalah untuk mengontrol fungsi informasi dalam media, khususnya internet. Oligopoli Internet memiliki dampak yang besar pada media, industri budaya, dan ruang publik. Sebab penguasaan atas internet yang mencakup aspek ekonomi dan politik akan berkaitan juga dengan penanaman saham dan modal.
            Elad Segev dalam bukunya yang berjudul Google and the Digital Divide: The Bias of Online Knowledge menjelaskan bahwa mesin pencari populer dan perusahaan internet seperti Google memang memainkan peran penting sebagai agen baru dan semakin dominan dalam sebuah hubungan informasi dan komunikasi. Korporasi ini telah mendapatkan popularitas di seluruh dunia dengan pengelolaan sistemnya yang memproduksi, mengatur, mendistribusikan, mengubah, dan memanipulasi informasi secara online. Perusahaan-perusahaan ini telah memperoleh posisi strategis dengan mengatasi kebutuhan tak terpuaskan dari “masyarakat informasi” – yaitu masyarakat yang menuntut kebutuhan informasi yang cepat, akurat dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Saat ini, berbagai lapisan masyarakat, baik dari skala terkecil sampai terbesar seperti  pemerintah, organisasi, perusahaan dan individu; bergantung pada penyediaan informasi yang ditawarkan oleh google.
             Dengan demikian, baik penyedia informasi dan retriever informasi sering beralih ke mesin pencari untuk mendukung fungsi mereka dan mendapatkan atau mempertahankan keunggulan kompetitif atas pesaing mereka.[6] Cara yang paling umum bagi individu, pemerintah, dan perusahaan untuk mengambil informasi secara online adalah memaksimalkan publisitas dan menjangkau audiens yang lebih adalah melalui mesin pencari.
            Hal ini menunjukkan bahwa mesin pencari adalah salah satu cara utama untuk mencapai situs di seluruh dunia (Hopkins dalam Segev, 2007)[7]. Dari perspektif ini, mesin pencari populer yang dikunjungi oleh jutaan orang setiap hari adalah 'gatekeeper' ke informasi online ketika bergerak melalui ‘gate’. Layanan direktori untuk informasi dan pencarian online seperti Google adalah contoh klasik gatekeeper online, karena mereka mengontrol informasi dan menyediakan ‘gate’ ke dunia online.
            Saat ini, sebagai mesin pencari paling populer, Google memiliki lebih dari 770 juta pengguna setiap bulan, yaitu setengah dari pengguna internet dunia. Peringkat yang luar biasa dari Google sebagai mesin pencari populer, direktori, portal dan gatekeeper (selanjutnya, agen informasi) mengangkat mereka menjadi "situs otoritas" (Hurlbert dalam Segev, 2013)[8], dengan kekuatan untuk menyalurkan, mengontrol, dan memanipulasi arus informasi. Selama lebih dari limabelas tahun, Google telah berkembang menjadi agen informasi yang dominan, yang sebetulnya perlu dikritisi dan dinilai bagaimana sistem Google bekerja. “In 2010, Google accounted  on average for 85.07% of all worldwide searches, Yahoo for 6.12%, Baidu for  3.33%, Bing for 3.25%, Ask for 0.67% and others for 1.56%.”[9]
            Internet dibangun dengan investasi publik dan melawan logika komersial. Tidak hanya itu, awalnya desain semula dari internet adalah desentralisasi. Akan tetapi, sejak tahun 1994, proses komodifikasi dan sentralisasi mulai berlangsung. Konvergensi media antara telecom dan industri konten yang telah ditetapkan pada akhirnya tidak terjadi. Dan kemudian, yang terjadi malah oligopoli internet. Konvergensi digital terjadi pada industri telekom, perangkat lunak (software), layanan online, dan perangkat keras (hardware). Ada tahapan unik yang kemudian disebut oleh Benkler (dalam Nikos, 2006)[10] lapisan logical (logis) dan physical (fisik) dari internet . Unifikasi ini memungkinkan integrasi horisontal dan vertikal. Integrasi tersebut meliputi pembelian (buyouts) seperti google dan youtube, exclusive partnership (Samsung dan Android) maupun investasi (investing) seperti Google dan Uber. Konvergensi digital juga memfasilitasi fasilitas integral yang merupakan susunan dari infrastruktur perusahaan itu sendiri.
                        Digital convergence facilitates vertical integration (an arrangement in which the supply chain and infrastructure of a company is owned by that company).  The vertical integration include datacenters, networks, hardware, OS, platforms Google. Exampe of such product are ISP with Sprint and T-Mobile, Google Fiber, Motorola, Android, Chromebook, Google Play and Android Store Facebook: ISP through satellite with Avanti. Digital convergence facilitates also horizontal integration (a strategy where a company creates or acquires production units for outputs which are alike - either complementary or competitive) The horizontal integration obtain email, search, networking, e-commerce, personalization. (Nikos, 2015)

            Dalam hal ini Segev[11] menganggap bahwa apa yang dilakukan Google selama ini adalah memolitisasi informasi dalam internet. Ungkapan 'politik informasi online' muncul di seluruh buku, di mana 'politik' dunia yang digunakan dalam arti yang lebih luas sebagai 'aspek semua hubungan sosial, daripada aktivitas yang berpusat pada lembaga-lembaga pemerintah. Pendekatan ekonomi politik media dan analisis komunikasi yang ditinjau adalah tentang "produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya, termasuk sumber komunikasi.[12]
            Dalam masyarakat kapitalis, yaitu masyarakat berdasarkan akumulasi modal, "bentuk komoditas dari produk tenaga kerja, atau bentuk nilai komoditas, adalah bentuk sel ekonomi "(Marx). Komoditas adalah suatu yang baik yang dipertukarkan dalam jumlah tertentu untuk kuantitas uang tertentu. Dalam hal ini, Menurut Marx analisis ekonomi politik kapitalisme harus dimulai dengan "analisis komoditi".[13] Google adalah perusahaan yang berorientasi laba, karena itu menganalisis sistem ekonomi politik Google adalah dengan meninjau bagaimana produksi komoditas, distribusi dan proses konsumsi yang dilakukan olehnya.
                        Hyunjin Kang  2009 argues that Google commodifies its users, identifies the cctors in this commodification process and compares them to the traditional mass media advertising process. Bermejo (2009) says that Google does not commodity the attention time of users, but keywords that are sold in biddings to advertisers. Halavais (2009:82) and Petersen (2008) argue that Google and other web 2.0 platforms are based on the exploitation of free user labour. Jakobsson and Stiernstedt (2010 ) argue that Google “isengaged in an accumulation by dispossession of one of the fundamental characteristics of being human: the ability to communicate through symbols, signs, and other means of epresentation”. Wasko and Erickson (2009:383) say that “YouTube is not shy about helping advertisers exploit users to generate revenue”. Vaidhyanathan (2011:3) stresses that users are “not Google’s customers: we are its product. We […] are what Google sells to advertisers”. Lee (2011) argues that Google sells  Three types of commodities: keywords, keyword statistics and search results.[14]
            Dalam riset berjudul Platform Competition in Two-Sided Markets yang digarap Tirole dan Rochet menunjukkan tidak efektifnya regulasi pembatasan harga, karena korporasi semisal Google memberikan layanannya secara gratis. Bagi Google, tujuan mereka di pasar ini adalah memaksimalkan jumlah pengguna, bukan memaksimalkan keuntungan. Keuntungan mereka dapatkan dari pasar yang lain yaitu dari mereka yang ingin menjual produknya kepada pengguna Google.[15] Google bisa saja menurunkan harga android yang diterapkan pada sistem operasi beberapa produk ponsel seperti samsung. Tetapi google bisa meningkatkan keuntungan pada penjualan aplikasi di Google Play Store. Dalam hal ini, Google “memaksa” pengguna android untuk menggunakan produk Google yang lain demi mendapatkan keuntungan.
            Selain itu Google juga mendapatkan keuntungan melalui AdSense Publisher yang merupakan agensi penyedia iklan yang meminta slot-slot di google. Kita mungkin sering menjumpai iklan-iklan yang tiba-tiba saja muncul maupun terpasang di beberapa situs web. Dalam hal ini, Google menyewakan layanan internet mereka kepada para pengiklan untuk mempromosikan produk mereka. AdSense Publisher terdiri dari dua produk yaitu AdSense untuk konten dan untuk pencarian.
            Dari AdSense Publisher tersebut, Google membagi 32% ke dalam konten dan 49% ke dalam pencarian informasi (search partners). John Herman[16] menjelaskan bahwa lebih dari sepertiga uang yang masuk ke dalam Google dan sistemnya, berada di mana-mana dan selalu berakhir di Google. Tidak hanya itu, kita pun tahu bahwa Google mengembangkan inovasi bernama android dan chrome. Kekuatan Google saat ini berasal dari gadget. Dan gadget yang menjadi keunggulan Google dikembangkan dengan uang yang berasal dari iklan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Google adalah primadona mesin pencari. Dari traffic pencarian yang begitu tinggi di google, para pengiklan lebih tergiur untuk mempromosikan produknya di google (baik melalui konten maupun sistem pencarian).      
             Kesuksesan utama Google tidak hanya berasal dari viral marketing. Google tidak pernah benar-benar menggunakan pengiklan sebagai kesuksesan mereka. Lebih dari tiu, mereka mengesploitasi media sosisal untuk meraih sebanyak-banyak pengguna melalui gmail, komentar di blogspot, dan berbagai media sosial yang didukung oleh Google seperti Uber, Google Plus dan lain sebagainya. Saat ini Google masih terus melanjutkan memaksimalkan pencapaian jumlah untuk mengguna untuk meraih viral international.
            Saat ini sebagian ponsel memang menggunakan perangkat internet sebagai akses utamanya dalam berkomunikasi dan mencari nformasi. Orang akan menggunakan perangkat ini untuk petunjuk arah, untuk mencari restoran, memeriksa skor olahraga, mencari berita teraktual, mengunduh lagu, dan bahkan penelitian cepat. Google berdiri untuk mendapatkan keuntungan dari ini dengan peningkatan jumlah permintaan pencarian. Untuk memungkinkan lebih orang untuk mengakses layanan Google dari perangkat mobile mereka, perusahaan telah merilis Android Mobile Phone platform dan sistem operasi serta Google Mobile App yang dapat didownload pada platform lain seperti iPhone Apple. Pengguna google sendiri lebih menyasar pada anak-anak muda sehingga pertumbuhan pengguna akan terus bertambah.[17]
            Dalam The Political Economy of Communication, Mosco merumuskan ekonomi politik sebagai studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber produksi, distribusi, dan konsumsi. Tentu saja ini termasuk pula sumber-sumber produksi, konsumsi, dan distribusi yang berkaitan dengan komunikasi. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa ekonomi politik merupakan hubungan kekuasaan dengan sumber-sumber ekonomi yang ada dalam masyarakat.
            Media, menempati tempat yang cukup penting dalam persilangan antara perkara ekonomi dan perkara politik. Bagaimanapun, media ketika dipandang sebagai telaah teks, hanya merupakan penyaji teks semata. Namun ketika berada di persilangan antar ekonomi politik ini, media merupakan perpaduan antara pergulatan kepentingan dan ideologi yang diakibatkan oleh permasalahan kepemilikian (ekonomi) dan permasalahan kekuasaan (politik). Dalam konteks media sebagai industri kapitalis ini, Mosco memberikan tiga pintu gerbang untuk melihat konsep ekonomi politik media, yaitu  komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi.
                                        With the rise of user generated content, free access social networking platforms, and other free access platforms that yield profit by online advertisement – a development subsumed under categories such as web 2.0, social software, social media and social networking sites – the web seems to come close to accumulation strategies employed by the capital on traditional mass media like TV or radio. The users who google, upload photos, and images, write wall posting and comments, send mail to their contacts, accumulate friends or browse other profiles on Facebook, constitute an audience  commodity that is sold to advertisers. The difference between the audience commodity on traditional mass media and on the Internet is that, in the latter case, the users are also content producers; there is user generated content, the users engage in permanent creative activity, communication, community building, and content production. That  the  users are more active on the  Internet than in the reception of TV or radio content, is due to the decentralized structure of the Internet, which allows many to many communication. Due to the permanent activity of the recipients and their status as prosumers, we can say that in the case of Facebook and the Internet the audience commodity is an Internet prosumer commodity.[18]
            Begitu dahsyatnya kekuatan korporasi ini, bila tidak diantisipasi, bahkan dikhawatirkan dapat menjadi instrumen baru dalam proxy war, suatu bentuk perang memperebutkan pengaruh ekonomi dan politik dalam suatu negara tanpa keterlibatan langsung negara yang melakukan agresi.[19]
            Jean Tirole dan Jean Charles Rochet, profesor ekonomi di Universitas Zurich meneliti sumber kekuatan korporasi besar itu, khususnya dalam industri internet seperti Google yang terlibat dalam manipulasi penentuan tingkat suku bunga Libor yang menjadi rujukan tingkat suku bunga di seluruh dunia, harus diatur sesuai dengan struktur dan mekanisme kerja pasar di masing-masing industri. Tidak bisa lagi korporasi besar tersebut diatur dengan satu jenis regulasi, misalnya penetapan tingkat harga tertinggi, tingkat suku bunga tertinggi atau pembatasan tingkat keuntungan untuk melindungi masyarakat dari kekuatan monopoli korporasi tersebut. Dalam bahasa Paul Klemperer, profesor ekonomi Universitas Oxford “there is not one size fits all”.
            Kepentingan ekonomi korporasi besar ini bila tidak diatur dengan regulasi yang memahami kekuatan, struktur pasar, dan mekanisme kerja mereka, dapat menjadi alat penekan perubahan politik dan sistem ekonomi suatu negara. Letnan Kolonel Mark Yeisley, profesor hubungan internasional pada universitas School of Advanced Air and Space Studies AS, menuliskan dalam risetnya Bipolarity, Proxy Wars, and the Rise of China bagaimana kepentingan ekonomi korporasi besar mengubah kekuatan politik dalam suatu negara.

C.    Kesimpulan
            Keberadaan Google sebagai korporasi raksasa di dunia industri internet adalah suatu polemik. Di satu sisi Google membantu banyak orang untuk mendapatkan informasi. Namun di sisi lain, apa yang dilakukan oleh Google selama ini sebetulnya adalah eksploitasi bagi pengguna. Pengguna, bagi Google sendiri – adalah pekerja untuk mereka. Pekerja yang menciptakan ‘gate’ dalam layanan informasi melalui blog, media sosial, dan lainnya.
            Tidak hanya itu, bisnis Google yang saat ini merambah dalam dunia gadget juga ikut memaksa para pengguna untuk terus berlangganan gmail. Android hanya dapt digunakan dengan gmail. Dalam hal ini, para pengguna android akan “dijual” kepada pengiklan dan para pengembang aplikasi.
            Saat ono Google semakin berkembang pesat. Tidak ada regulasi khusus yang mampu mengendalikannya. Di China sendiri, penggunaan Google telah ditekan dan digantikan oleh Baidu (mesin pencari lokal di China). Hal ini dilakukan oleh China agar Google tidak menguasai pangsa pasar internet di negaranya. Namun pada akhirnya Google telah mempenetrasi dengan berbagai inovasi teknologi yang diciptakannya. Istilah ‘google is world’ perlahan akan menjadi lazim karena google telah melekat dalam kehidupan manusia.
            Berdasarkan laporan cnn.com, pada Senin, 5 Oktober 2015, nama induk perusahaan Google resmi berganti menjadi Alphabet. Langkah ini diambil demi memungkinkan mereka bergerak dan tumbuh lebih cepat. Perombakan struktur perusahaan ini diumumkan pada Agustus lalu, yang dimaksud memisahkan bisnis inti dengan proyek-proyek penelitian masa depan yang dinilai sangat penting bagi Google. Unit bisnis inti yang menghasilkan banyak uang seperti mesin pencari, layanan iklan digital, peta digital, Android, sampai Chrome, berada di bawah Google dan beroperasi sebagai anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki Alphabet.
                        .

.
DAFTAR PUSTAKA:
Marshall Mc. Luhan & Brush L. Power. 1992.  The Global Village: Transformations in World Life and Media in the 21st Century. USA: Oxford University Press.
McChesney, Robert. 2001. Global Media, Neoliberalism, and Imperialism. International Socialist Review
Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication. 1996. London : Sage Publication
Mosco, Vincent. 2008.  Global Media Journal : Current Trends In The Political Economy Of Communication.
Christian Fucsh. 2013. A Contribution to the Critique of the Political Economy of Google. Terarsip pada http://fuchs.uti.at/wp-content/uploads/Google_FastCapitalism.pdf. Diakses tanggal 24 Oktober 2015
Sylvia M. Chan-Olmsted, Moonhee Cho & Sangwoon Lee. User Perceptions of Social Media: A Comparative Study of Perceived Characteristics and User Profiles by Social Media. Online Journal of Communication and Media Technologies Volume: 3 – Issue: 4 – October – 2013.  terarsip di http://www.ojcmt.net/articles/34/349.pdf, diakses tanggal 20 Oktober 2015.
Jean Tirole & Jean Charles Rochet. 2003. PLATFORM COMPETITION IN TWO-SIDED. Terarsip dalam http://www.rchss.sinica.edu.tw/cibs/pdf/RochetTirole3.pdf. Diakses tanggal 21 Oktober 2015.
Ajay Batia dkk. International Journal of Computing & Business Research, STRATEGIC ANALYSIS OF SEARCH ENGINE GIANT: A CASE STUDY OF GOOGLE INC. http://www.researchmanuscripts.com/isociety2012/55.pdf (ISSN (Online): 2229-6166). Diakses 21 Oktober 2015.
Adimarwan A. Karim. Jean Tirole dan Proxy War. Terarsip pada http://karimconsulting.com/jean-tirole-dan-proxy-war/. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
John Herman. Why Google is So Incredibly Rich. Terarsip pada http://gizmodo.com/5546684/why-google-is-so-incredibly-rich. Diakses tanggal 22 Oktober 2015
Redaksi CNN. Alphabet Sang Induk Google dan Strategi Bisnis. Terasip pada http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20151013084101-185-84604/alphabet-sang-induk-google-dan-strategi-bisnis-70-20-10/. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
Nikos Smyrnaios. 2015. Google and the Digital Divide: The Bias of Online Knowledge terarsip dalam http://www.slideshare.net/smyrnaios/smyrnaios-erasmus-2015eng. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
Bruce R. Scott. 2006. The Political Economy of Capitalism http://www.hbs.edu/faculty/Publication%20Files/07-037.pdf 07-037. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
Callum, Goodwilliam. How Can a Political Economy Framework Illuminate the Practices and Contradictions of Google? Terarsip pada https://www2.warwick.ac.uk/fac/arts/theatre_s/cp/research/publications/madiss/ccps_a4_ma_gmc_cg_1.pdf/. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
Winseck, Dwayne & Dal Yong Jin. 2013. The Political Economies of Media: The Transformation of the Global Media Industries. Bloomsbury Publishing: London. Terarsip pada https://books.google.co.th/books?id=BWNMAQAAQBAJ&pg=PA21&lpg=PA21&dq=monopoly+internet+google+political+economy&source=bl&ots=pDve0oXvjY&sig=TTQn9kAb5B11gImlbBxcTWzIHDg&hl=en&sa=X&ved=0CDUQ6AEwBGoVChMIle6rnqTZyAIVBgeOCh01_g3n#v=onepage&q=monopoly%20internet%20google%20political%20economy&f=false. Diakses tanggal 23 Oktober 2015.






 








[1] Marshall Mc. Luhan & Brush L. Power. 1992.  The Global Village: Transformations in World Life and Media in the 21st Century. Oxford University Press: USA. hlm 13.
[2] Sylvia M. Chan-Olmsted, Moonhee Cho & Sangwoon Lee. User Perceptions of Social Media: A Comparative Study of Perceived Characteristics and User Profiles by Social Media. Online Journal of Communication and Media Technologies Volume: 3 – Issue: 4 – October – 2013.  terarsip di http://www.ojcmt.net/articles/34/349.pdf, diakses tanggal 20 Oktober 2015
[3] Sylvia M. Chan-Olmsted, Moonhee Cho & Sangwoon Lee. User Perceptions of Social Media: A Comparative Study of Perceived Characteristics and User Profiles by Social Media. Online Journal of Communication and Media Technologies Volume: 3 – Issue: 4 – October – 2013.  terarsip di http://www.ojcmt.net/articles/34/349.pdf, diakses tanggal 20 Oktober 2015


[4] Jean Tirole & Jean Charles Rochet. 2003. PLATFORM COMPETITION IN TWO-SIDED. Terarsip dalam http://www.rchss.sinica.edu.tw/cibs/pdf/RochetTirole3.pdf. Diakses tanggal 21 Oktober 2015.

[5]. Nikos Smyrnaios. 2015. Google and the Digital Divide: The Bias of Online Knowledge terarsip dalam http://www.slideshare.net/smyrnaios/smyrnaios-erasmus-2015eng. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
[7] Ibid.
[8] Ibid. hlm. 17
[9] Ibid.
[10]Nikos Smyrnaios. 2015. Google and the Digital Divide: The Bias of Online Knowledge terarsip dalam http://www.slideshare.net/smyrnaios/smyrnaios-erasmus-2015eng. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.

[11] Op. Cit. Hlm. 17
[13] Op. Cit.
[14] Christian Fucsh. 2013. A Contribution to the Critique of the Political Economy of Google. Hlm. 26. Terarsip pada http://fuchs.uti.at/wp-content/uploads/Google_FastCapitalism.pdf. Diakses tanggal 24 Oktober 2015.
[15] Adimarwan A. Karim. Jean Tirole dan Proxy War. Terarsip pada http://karimconsulting.com/jean-tirole-dan-proxy-war/. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
[16] John Herman. Why Google is So Incredibly Rich. Terarsip pada http://gizmodo.com/5546684/why-google-is-so-incredibly-rich. Diakses tanggal 22 Oktober 2015.
[17]Ajay Batia dkk. International Journal of Computing & Business Research, STRATEGIC ANALYSIS OF SEARCH ENGINE GIANT: A CASE STUDY OF GOOGLE INC. http://www.researchmanuscripts.com/isociety2012/55.pdf (ISSN (Online): 2229-6166). Diakses 21 Oktober 2015.
[18] Christian Fucsh. 2013. A Contribution to the Critique of the Political Economy of Google. Hlm. 26. Terarsip pada http://fuchs.uti.at/wp-content/uploads/Google_FastCapitalism.pdf. Diakses tanggal 24 Oktober 2015.
[19] Terarsip dalam http://karimconsulting.com/jean-tirole-dan-proxy-war/, diakses tanggal 22 Oktober 2015.

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan