Pergulatan Eksistensi Kelokalan dan Modernisasi Komik Indonesia
Di
era modern saat ini, perkembangan komik Indonesia mulai menunjukkan
eksistensinya kembali setelah belasan bahkan puluhan tahun tenggelam dalam arus
invasi komik luar. Di toko-toko buku mulai bermunculan komik-komik karya
komikus muda dengan terobosan baru serta cerita yang lebih menarik. Teknik
menggambar para komikus muda pun sudah berbeda dengan visualisasi gambar
komikus-komikus senior.
Contoh
komik Indonesia yang paling digemari dan berhasil tembus pasaran dengan sukses
adalah “Si Juki” karya Faza Meonk. Komik ini berhasil merebut hati masyarakat
karena ceritanya yang sederhana, kocak, dan penuh humor serta erat dengan
kehidupan sehari-hari, terlebih kepada mahasiswa.
Pernah Berjaya
Sebelumnya,
komik Indonesia pernah mengalami kejayaan emas pada tahun 1953 dengan komik
berjudul “Sri Asih” karya R.A Kosasih dan “Nina Putri Rimba” karya Johnlo. (komikindonesia.com
– 19 Juli 2007). Memasuki tahun 1963-1965, perkembangan komik di Indonesia
mengalami pergolakan. Pada saat itu, komik-komik Indonesia lebih banyak
menceritakan mengenai propaganda orde lama. Di dalamnya juga terdapat pesan dan
kritikan terhadap rezim orde lama.
Tahun
1980, komik Indonesia kembali meraih masa kejayaannya. Saat itu, muncul
bermacam komik dengan judul dan cerita yang beragam. Komik yang populer pada waktu itu adalah
komik bertema petualangan pendekar silat dan superhero. Misalnya, “Si Buta dari
Gua Hantu”, “Siluman Serigala Putih”, “Tuan Tanah Kedaung”, “Si Djampang”, “Panji
Tengkorak”, “Godam”, “Gundala Putra Petir”, dan lain-lain.
Dilihat
dari perkembangan komik Indonesia, R.A Kosasih berperan penting di dalamnya.
Beliau merupakan komikus yang melegenda dan menjadi pelopor sekaligus ikon dari
pertumbuhan komik di Indonesia. Karyanya yang populer adalah “Wayang
Mahabharata”, “Bharatayudha”, “Pandawa Seda”, dan “Ramayana”, yang hingga saat
ini masih digemari.
Karakteristik
komik Indonesia pada masa itu mengacu pada nilai-nilai lokal yang ada di
masyarakat. Perwujudan karakter superhero, pahlawan, maupun pendekar
terinspirasi dari cerita daerah, tradisi, dan budaya yang berkembang di
masyarakat. Selain itu, teknis dan visualisasi gambar yang disajikan
komik-komik klasik Indonesia memiliki ciri khas yang kuat dan dapat menyatakan
bahwa komik-komik tersebut memang berasal dari Indonesia.
Seiring
berjalannya waktu, komik Indonesia mengalami kemunduran. Komik-komik yang
berkembang pada eranya perlahan memudar dan tergeser oleh komik-komik dari luar
negeri, terutama dari Jepang. Namun, komikus-komikus muda seperti Beng Rahadian
dan Ardian Syaf, mulai berani mengambil risiko untuk terjun ke dalam industri
komik Indonesia yang masih labil dan memerlukan banyak perhatian. Mengikuti
jejak Beng dan Ardian, komikus-komikus lain bermunculan membawa serta
karya-karya mereka mengharapkan kejayaan yang berulang.
Mengalami Perubahan
Dari
segi cerita dan pengemasan, tentunya komik Indonesia saat ini berbeda jauh
dengan komik Indonesia pada masa dulu. Selain karena perkembangan teknologi
yang semakin maju, pola pikir yang semakin luas serta fasilitas dan alat gambar
yang lebih memadai, tentu memberikan efektivitas berkarya terhadap komikus
Indonesia pada masa kini. Komik Indonesia di era modern lebih cenderung
variatif dari segi kisah, visualisasi, dan alur cerita. Cerita komik zaman dulu
didominasi oleh kelokalan Indonesia dan bercerita mengenai kisah superhero
maupun pendekar. Ada beberapa komik yang menceritakan mengenai humor, namun,
dominasi komik superhero lebih menonjol pada waktu itu. Sedangkan komik
Indonesia pada masa kini lebih kontemporer dan fleksibel terkait masalah yang
terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Jika
diperhatikan, komik Indonesia saat ini tidak menampakkan karakteristiknya
seperti komik-komik zaman dulu. Seni lokal yang tercermin nyata pada komik-komik
klasik Indonesia mulai luntur. Pengaruh komik dari luar, terutama komik dari
Jepang atau biasa disebut manga sampai saat ini memberikan kontribusi terbesar
dalam perkembangan komik di Indonesia, terutama kepada komikus Indonesia. Alur
cerita, teknis, dan karakteristik gambar sangat kentara dengan komik
Jepang/manga. Apalagi, eksistensi komik Indonesia pernah mengalami masa “hibernas”
di mana produktivitas para komikus tengah menurun sedangkan komik dari luar
sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke masyarakat Indonesia. Akibatnya,
kebanyakan komikus lebih menyorot kepada komik Jepang daripada komik Indonesia
itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari jajaran komik Indonesia yang mulai
beredar di masyarakat.
Beredarnya
komik-komik Jepang yang menggeser kedudukan komik-komik lawas Indonesia mampu
memengaruhi gaya komikus-komikus muda di Indonesia. Komik-komik lawas yang
sulit ditemukan membuat para komikus muda tidak mengetahui gambaran komik asli
Indonesia. Mereka cenderung menjadika komik Jepang sebagai bahan referensi
dalam pembuatan komik. Akibatnya, komik-komik Indonesia saat ini memiliki
karakteristik yang sama dengan manga. Contohnya adalah komik “Garudayana” karya
Is Yuniarto.
Komik
Indonesia kini memang tengah berusaha bangkit. Namun, kebangkitan di dalamnya
tidak disertai dengan jati diri yang menjadi pondasi terbentuknya kerangka
dunia komik. Komik Indonesia kini mengalami perubahan dan dijejali oleh
perspektif asing seperti Jepang. Perubahan ini mungkin dapat diabaikan. Tetapi,
sejatinya perubahan yang mengubah ciri khas komik Indonesia menjadi bumerang
bagi para komikus. Karena, dengan adanya kesamaan antara komik Indonesia dan
Jepang, tentu tuduhan plagiasi hampir tak bisa terelakkan.
Pergulatan Eksistensi
Lokal dan Dinamika Modern
Perbedaan
yang sangat signifikan antara komik lawas dengan komik modern menimbulkan
pertanyaan dan banyak persepsi terhadap fenomena tersebut. Tentunya, perbedaan
tersebut menjadi perdebatan di kalangan para komikus dan penggemar komik. Pembenaran
atas kelokalan yang harus dipertahankan, pembenaran terhadap modernisasi komik
Indonesia yang terjadi baru-baru ini serta penolakan terhadap komik-komik yang
terpengaruh komik Jepang/manga sering kali menjadi perbincangan.
Namun,
di satu sisi, kelokalan dari komik Indonesia yang mulai menghilang semata-mata
tidak hanya diakibatkan oleh masuknya komik Jepang secara agresif dan membabi
buta. Sulitnya mencari komik lawas Indonesia juga merupakan salah satu faktor
mengapa komikus Indonesia mengacu pada karakterisitk visualisasi komik Jepang.
Bahkan, masyarakat mengira bahwa Indonesia tidak memiliki komikus. Padahal,
jika komik-komik karangan komikus-komikus senior masih tetap dipertahankan
eksistensinya dan dapat diperkenalkan ke generasi selanjutnya, tentu
komik-komik tersebut dapat dijadikan sebagai referensi.
Sifat
lokal yang tertanam kuat sejak awal munculnya komik Indonesia tentu tidak bisa
digeser begitu saja dengan invasi karakter asing. Tetapi, kembali lagi kepada
keinginan masyarakat untuk mengulang sejarah dalam meraih kejayaan emas dalam
dunia komik. Di satu sisi, kelokalan dari komik Indonesia masih tetap harus
dijaga. Namun, di sisi yang lain, komikus-komikus muda Indonesia tentu memiliki
kebebasan dalam berkarya dan berekspresi. Tidak ada salahnya jika komik
Indonesia kini memiliki kesamaan terhadap komik Jepang dan memodernisasi
visualisasi artistik komik masa kini. Jika memang dengan cara seperti itu
komikus Indonesia dapat mengembangkan sayap dalam memberdayakan kembali komik
Indonesia, sudah sepatutnya para komikus yang berani tersebut menerima
apresiasi dan dukungan. Sejatinya, tidak ada halangan maupun larangan yang
harus ditujukan kepada mereka.
Akan
tetapi, bangsa ini adalah bangsa yang berkepribadian dan memiliki jati diri.
Sudah selayaknya, bangsa ini melestarikan sifat dan nilai kelokalan yang ada.
Karena dengan begitu, setidaknya masyarakat dunia masih dapat menilai bangsa
ini sebagai bangsa Indonesia dan bukan sebagai bangsa plagiasi.
Modernisasi
memang perlu, tapi tidak untuk menggeser sifat kelokalan yang mencerminkan
bangsa ini. Tapi, setidaknya, sudah ada titik cerah untuk kembali membangun
komik Indonesia yang sudah mengalami pasang surut. Entah tetap dengan gaya
kelokalan ataupun mendapat sedikit gubahan dari modernisasi zaman, seharusnya,
tetap ada nilai kepribadian bangsa di dalamnya. Eksistensi nilai kelokalan
harus tetap ada.
Referensi
:
Mambo, 2012, Perkembangan Komik
Indonesia, http://mamboliv.wordpress.com/2012/12/10/perkembangan-komik-di-indonesia/, diakses tanggal 25 Oktober 2013.
Anggoro, Doni, 2007, Sejarah Komik
Indonesia : Kepala Tanpa Leher, http://komikindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=2, diakses tanggal 25 Oktober 2013.
www.komikindonesia.com
Comments
Post a Comment