Bukan Mainan (?)






“Apa makna kehidupan bagimu?”
            “Apa tujuan hidupmu?”
            “Apa kau merasa menjadi mainan Tuhan? Bukankah kita hidup hanya untuk membuat dosa dan perkara? Lalu untuk apa kita hidup?”
            “Apa pendapatmu?”
            Diam. Aku hanya bisa menheningkan situasi. Bisu dalam segala cekcok di hatiku. Mulutku bisu. Tapi dadaku bergemuruh. Pikiranku bergemeretak.
            Tak ada yang bisa kulakukan, hanya diam. Hanya pikiran yang tengah sibuk dengan ucapannya barusan.
            ***
            “Jika kita diberi pilihan sebelum kita menjalani kehidupan ini, mana yang akan kamu pilih? Hidup di dunia ini, atau tetap di alam sana?”
            “Bagaimana? Apa yang kamu pilih?”
            Aku terdiam.
            “Jika aku menjadi kamu, lebih baik aku tidak usah dihidupkan. Kamu bisa lihat sendiri kan? Sekarang aku kacau, aku Cuma jadi orang rusak. Kata ulama dan pendeta aku pendosa. Aku di suruh tobat. Padahal, aku sendiri, tidak pernah minta dihidupkan kalau jadinya begini? Buat apa aku hidup, aku hanya akan menyakiti orang lain,”
            “Apa dengan adanya aku, Tuhan ingin memperlihatkan pada kita mana yang baik dan yang buruk. Jadi, aku pemeran pendukung? Apa aku juga akan dapat imbalan yang setimpal.
            Semakin hening, bahkan degupan jantung dan suara angin yang semilir tertiup dapat aku rasakan. Aku tak bisa menjawab segala pertanyaan retorisnya yang rancu. Ambigu, memiliki mana beragam. Tapi, di sini hanya aku – sosok bernyawa yang jadi pendengar, mendengar celotehnya.
            “Tujuan hidup untuk melakukan perbuatan baik, begitu kata ahli agama,”
            “Bagaimana menurutmu?”
            Aku menoleh, tapi tak bersuara sedikitpun.
            “Apa makna kehidupan itu sebenanrya?” dia bertanya sambil menerawang penuh pada alam bawah sadarnya. Tapi, entah kenapa dia masih tetap focus pada yang mengamati bola matanya – yang tak dapat kutebak.
            “Kata orang kasmaran, hidup untuk merasakan cinta. Kata orang prestise, hidup untuk mencari kekuasaan. Kata orang matre, hidup untuk menjadi kaya. Kata ilmuwan, hidup untuk belajar. Kata orangtua, hidup untuk membahagiakan anak. Kata anak, hidup untuk membahagiakan orang tua. Kata orang miskin, hidup untuk berdoa. Kata orang kaya, hidup untuk berfoya-foya. Mana yang benar?”
            AKu membisu, menheningkan pita suaraku.
            “Kalau katamu?”
            “Aku…” akhirnya membuka suara. “Tidak tahu,” jawabku tersendat.
            “Jadi kau lebih kebingungan dariku?”
            “Entahlah, tapi mungkin, kau ada benarnya,”
            “Lalu? Apa kau suka jadi mainan Tuhan?”
            “Aku,” terdiam sejenak sambil menghela napas dalam-dalam. “Bukan mainan Tuhan,”
            Dia memandangku sejenak, kemudian memecah keheningan dengan tawa yang terdengar menggelegak.  
            “Hidup tidak bisa ditebak, aku benar?”
            Aku hanya mengangguk menanggapinya.
            “Tuhan juga tidak bisa ditebak. Tapi kenapa Tuhan bisa menebak kita? Apa menurutmu Tuhan mendengarkan pembicaraan kita?”
            Aku mengangguk. “Dia pasti mendengar, bahkan yang tidak kita dengar sekalipun,”
            Dahinya berkerut,”Maksudmu?”
            Aku menaikkan bahuku. Aku tak mengerti, bahkan aku sendiri sama sekali tidak mengerti dengan pembicaraan ini. Aku tak mengerti apa yang aku ucapkan. Tentang Tuhan, Hidup semua terlalu rumit untuk dipecahkan, bahkan hanya untuk diterka sekalipun.
            “Aku benci surge dan neraka,” dia menatapku tajam. “Aku harap surge itu Cuma dongeng dan neraka hanyalah mitos,”        
            Aku mendengus. Aku makin tak ingin mendengarkan apa yang dia katakana, semua hanya akan menggoyahkan tekat yang bersarang erat di dalam kalbu.
            “Apa kau percaya dengan Tuhan? Dia menjebak kita dalam situasi susah. Jika kita tidak dihidupkan kita tidak akan merasakan derita.
            Aku terdiam, terhenyak oleh ucapannya kemudian menghela napas dalam-dalam. “Tapi, aku juga merasakan bahagia.”
            Dia terdiam sebentar kemudian tertawa. “Jadi… kau percaya dengan-Nya,”
            Aku memilin iman dan kepercayaan batin yan aku miliki.
            “Ya…” jawabku, tak kusangka suaraku akan terdengar bulat. Tapi, kembali, ia bergetar melajukan tawa.
            “Bagaimana bisa? Apa yang membuatmu percaya?”
            Aku terdiam, memutar mataku – tengah berpikir. Aku sendiri, tak tahu jawaban yang tepat untuk meluluhkan sosok berpaham ateisme seperti dia.
            “Aku tak bisa melakukan tanpa Dia. Aku bahkan hidup karena keberadaan-Nya.”
            Ekspresi merendahnya tiba-tiba terhenyak. “Untuk jadi mainan?” sindirnya.
            “Terserah apa pendapatmu. Tapi aku bersyukur, tanpa kehidupan yang dia berikan, aku jadi tahu makna yang kecil sekaligus berharga,”
            “Lalu? Apa lagi yang membuatmu percaya pada-Nya,”
            “Di saat aku kesulitan dan kesusahan, Dia selalu ada. Hanya Dia, satu-satunya tempatku meminta pertolongan. Bahkan logikaku sendiri tak dapat membantuku,”
            “Bukankah dia sendiri yang membuatmu kesulitan?”
            Aku terdiam. Dia benar, dan membuatku termangu.
            “Lalu, dari mana Tuhan?” dia mengalihkan pembicaraan. “Dari mana ia mendapatkan kekuatan seperti itu. Apa dulunya dia Ilmuwan? Profesor?”
            “Aku tak mengerti. Hentikan semua ini,”
            “Tapi, aku ingin tahu. Apakah jika aku bertanya pada Tuhan, dia akan menjawabnya sekarang. Dia akan membantuku?”
            “Aku tidak tahu. Sekarang diamlah.
            “Kau tidak asik,”
            “Memang,”
            Aku mendengus kesal. Tapi semua hal yang kusimpulkan tentang obrolan ringan ini menyerang pikiranku. Membelenggu tiap sendi yang tergerak. Aku bingung, aku tak bisa menjawabnya. Dan jujur, semua itu adalah pertanyaan ganjil yang selama ini kulupakan. Tapi, dia malah membangunkannya lagi.
            Sekarang, aku bingun. Benar-benar bingung. Aku ingin tetap percaya dengan Tuhan. Aku akan percaya dengan Tuhan. Bahwa presepsi dia salah. Aku bukan mainan Tuhan. Dan kehidupanku dan dunia-Nya bukanlah permainan.
***

Ini pilihan hidupmu untuk percaya atau tidak pada - Tuhan. Yang jelas - mari belajar untuk tidak mengusik satu sama lain.

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan