[Cerpen] Kafir!
Oleh Lamia Putri
Damayanti
“Kafir!”
teriak pria berbaju serba putih itu
kepadaku. Jarinya yang telah keriput dituding-tudingkan ke arahku. Matanya
tampak menyala sekaligus menyalak. Meneriakiku untuk enyah dari muka bumi.
Sedang
aku sendiri tetap terpaku menatapnya. Aku hanya ingin tahu. Mengapa dia sampai
memanggilku kafir.
“Dasar
orang kafir!” teriaknya lagi padaku. Para penduduk desa berusaha menyeret pria
tua itu untuk tenang. Sedang beberapa lagi memberikan isyarat kepadaku untuk
segera pergi dengan tatapan mata yang sama – sama-sama menyala dan menyalak.
Mengapa
aku diperlakukan begini. Aku hanya ingin tahu. Rasa cintakulah yang membuatku
ingin tahu. Rasa cintakulah yang membuat aku terlalu haus untuk tahu. Aku lapar
tentang semua pengetahuan itu. Mengapa aku sampai disebut kafir?
***
Berlalu lalang orang-orang yang tengah sibuk mencari karunia. Beberapa bahkan mengaibaikan mesin bergandeng yang sangat panjang. Mesin itu selalu melintas di atas rel suaranya berdengung-dengung. Sewaktu aku masih kecil. Aku sangat takut ketika mesin itu melintas rel di dekat rumahku. Rasa-rasanya aku akan terbawa dan akan terlumat di rel. Aku selalu bersembunyi di kolong tempat tidur. Meringkuk sambil berteriak memanggil ibu.
Dan
mungkin sampai sekarang, aku masih saja takut pada suara kereta yang melintas
rel. Aku sampai tak rela melepas perangkat suara di telingaku.
“Kau
muslim?” seseorang tiba-tiba bertanya kepadaku, membuatku menoleh dan mendapati
seorang pemuda berusia akhir belia dengan pakaiannya yang kebesaran. Pakaian
ala anak-anak pesantren.
Aku
hanya mengangguk malas.
“Kau
tidak berniat mendengarkan adzan?” tanyanya ditengah hiruk pikuk lagu yang
tengah diputar. Mendengar pernyataannya aku terpaksa melepas headset itu dari
telingaku.
Untuk
sejenak kami berdua sama-sama terdiam. Keheninganlah yang berganti lalu lalang
karena kini adzan tengah berkumandang. Sampai beberapa saat adzan telah
berakhir, pemuda akhir belia itu berkata;
“Mereka
menyebutku dengan sebutan kafir. Mereka bilang aku tak pantas jadi seorang
muslim. Aku pantasnya masuk neraka. Dan pria itu berkata dengan lantang, bahwa
api neraka tengah menungguku,”
Aku
terdiam untuk sesaat. Mengapa pemuda ini tiba-tiba mengatakannya kepadaku?
Seandainya aku punya hati yang busuk mungkin aku akan berkata, “Apakah itu
bagian dari urusanku?”
Tapi untuk sekedar melegakan hatinya aku berkata, “Mengapa begitu?”
“Mereka tidak suka cara pandangku. Aku selalu bertanya pada mereka, ‘Darimanakah Tuhan itu?’,” dan pasti mereka memberikan tatapan yang menyala-nyala. Seolah aku sangat salah mengatakannya,”
Aku
meliriknya sekejap kemudian menimang-nimang MP3 player di tanganku.
“Darimanakah Tuhan mendapatkan kekuatannya. Darimana Tuhan berasal. Bagaimana caranya Tuhan bisa menjadi kausal prima? Aku selalu bertanya-tanya. Aku selalu ingin tahu apa saja tentang Tuhanku,”
“Mengapa begitu?”
“Karena aku mencintai-Nya,”
Dahiku mengerut. Bagaimana bisa pertanyaan memancing perdebatan ini dikarenakan karena ia mencintai Tuhan?
“Kau pernah mencintai seorang gadis?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Aku memutar bola mataku ke atas seolah-olah tengah mengingat-ingat apakah aku pernah mencintai seorang gadis.
“Pernah, beberapa kali,”
“Apa yang kau lakukan pada saat itu,”
“Aku, selalu ingin tahu siapa dia. Aku selalu ingin tahu apa yang tengah ia lakukan. Dan aku selalu ingin tahu apa saja tentang dia. Aku ingin terus melihatnya, aku ingin terus bersamanya. Akan aku lakukan apapun untuknya,” jawabku mantap.
Pemuda itu tersenyum simpul. “Sama,” jawabnya.
“Sama. Aku juga melakukan hal yang sama ketika aku mulai mencintai Tuhan,” lanjutnya membuatku tiba-tiba merasakan getaran yang berbeda dari biasanya.
“Seperti kita mencintai seseorang pasti kita ingin tahu apa saja tentang dia. Ingin melihat dan meraskan kehadirannya. Dan terus bersamanya. Aku juga. Aku mencintai Tuhan, dan aku selalu ingin tahu apapun tentang Dia. Tapi, orang-orang itu malah menyebutku kafir. Apakah caraku salah dalam mencintai Tuhan. Aku selalu beribadah dan aku pun selalu berusahaa menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Apakah aku pantas disebut kafir?” tanyanya bertubi-tubi.
“Seperti ketika orang jatuh cinta, maka mereka akan berusaha mengenal orang yang mereka cintai lebih jauh. Aku juga sama, aku juga ingin mengenal Tuhan lebih jauh karena aku mencintai-Nya. Rasa ingin tahu kita menjadi lebih besar untuk tahu semua tentang Dia. Bahkan keingintahuan kita bisa memancing perkara dan prahara untuk mengetahui semuanya,”
Aku terhenyak dengan pernyataannya barusan. Deskripsi-deskripsinya tentang bagaimana ia mencintai Tuhan – mungkin sangat dalam.
Dia menatapku ke arahku sambil tersenyum, “Mungkin aku memang kafir karena aku malah mengajakmu berbicara sedang adzan baru saja dikumandangkan,” ucapnya sambil berdiri. “Mari kita shalat,”
Aku berdiri mengikutinya sambil kemudian berkata, “Kau tidak kafir. Hanya saja, mungkin kau lupa bahwa satu-satunya cara agar kau bisa mengenal-Nya lebih jauh dan terus bersama-Nya adalah dengan terus beribadah kepada-Nya. Niscaya, kau pasti akan mengenal-Nya – jauh lebih dalam. Dan mungkin, kau tidak tahu betapa Dia lebih mencintaimu daripada cintamu kepada-Nya,”
Dia
melirikku sebentar kemudian tersenyum. “Aku memang bukan kafir,” katanya.
***
Comments
Post a Comment