[Cerpen] Berlindung

 Oleh Lamia Putri Damayanti





Jarum-jarum Jingga mulai menggores kelam dengan banyak saksi bisu yang menganga. Berpasang-pasang mata tampak terpaku erat, terpancang pada asal goresan jingga yang mencuat. Goresan yang merebak itu berbeda dari goresan yang kemarin. Sekarang; tampak megah. Sebuah kreasi alam yang bagi mereka hanya akan terjadi sekali seumur hidup dalam banyak masa kehidupan.
            Sepanjang jalan perkotaan mulai ramai. Orang-orang langsung bergegas ke luar rumah dan membaur bersama yang lain. Subuh ini, terdengar lebih ramai dari biasanya. Orang-orang di kota tempat aku tinggal tak biasanya bangun sepagi ini. Namun, berkas-berkas cahaya yang menyulut itu membangunkan semua orang.
            Aku melongok keluar, mengintip dari balik jendela. Memperhatikan warna jingga yang warnanya mulai tidak kemerah-merahan lagi. Semua orang di dalam rumah semakin berlarian keluar, ingin memperhatikan suasana itu dari dekat.
            Aku masih di balik bingkai jendela. Tidak berminat untuk turut serta. Pandanganku malah sendu sambil memperhatikannya dengan kecurigaan.  Aneh. Tak ada dalam sejarah hal yang seperti ini. Sebelumnya tidak pernah terjadi.
            “Rus?” aku memanggil saudara kembarku. Tapi dia tak menyahut. Aku masuk ke dalam kamarnya. Namun dia tidak ada. Biasanya, aku akan melihatnya duduk di kursi goyang sambil mengomentari berita-berita yang tertera di halaman paling depan.
             Aku kemudian mencarinya ke segala sudut ruangan. Tapi ia tetap tidak terlihat. Aku melihat keluar. Tidak ada Rus di antara kerumunan orang-orang.
            Aku beranjak keluar, memandang langit yang tadinya petang menjadi banyak garis-garis sinar yang mencuat dari satu sudut bumi. Kakiku yang sudah lapuk kuseret paksa. Gemeretaknya pada bumi melapuk.
            Semua menganga, kejinggaan itu terus bermunculan. Mencuat dari ufuk barat. Perlahan, jingga itu tampak menyebar, membelah kelam menjadi pudar. Menulari spektrumnya yang berpendar-pendar. Entah bagaimana bisa kini tampak warna kebiruan di langit sana. Awan tampak berjejer menjaring cahaya.
            Pagi ini, seolah semua menjadi titik balik. Tidak ada orang yang tadinya benar-benar rela berkumpul bersama. Mereka hanya saling mencaci dan memaki. Tidak ada yang bisa ditegakkan ketika rusuh menjadi tuan dalam segala hal. Bersembunyi dan berlindung di dalam rumah adalah hal yang tepat jika tak mau terbunuh di luar sana.
            Kumpulan orang itu terlena. Ternganga sambil memuja-muja. Beda dari mereka kemarin yang saling menghina. Ricuh di mana-mana dengan timbre menyalak dan mata menyala-nyala.
            Tapi sebelum mereka benar-benar tenggelam dalam lena. Bumi berguncang. Berguncang dengan dahsyat, sampai bangunan yang berdiri kokoh seakan dicabut beserta pondasinya.
            Gedung-gedung pencakar langit luluh. Bangunan berpondasi kuat dan tahan gempa meleleh seperti es batu yang dipanasi. Bangunan-bangunan itu hancur dengan mudahnya. Luluh lantak menerjang manusia-manusia yang masih kebingungan.
            Kakiku yang sudah melapuk tak kuat menopang guncangan yang semakin dahsyat ini. Aku jatuh bersimpuh, tepat di depan mataku, tanah meretak dengan suara seperti piring dipecahkan.
            Mata-mata itu kini tersadar, saling beradu pandang satu sama lain.
            “Ada apa ini?” jerit mereka. Melolong keras membentang ke segala penjuru.
            “Ada apa dengan bumi ini?” mereka berhamburan bagaikan semut yang mengerumuni gula dan ditebas oleh satu jari manusia. Berlarian tak tentu arah sambil menjerit-jerit berusaha menyelamatkan diri.
            “Apa yang terjadi?!” mereka memekik. Sementara  aku tak bersuara. Mataku berkeliling. Lukisan ini seakan persis apa yang dulu pernah diceritakan Rus. Rus yang kini menghilang. Dan kini, lampau melintas, membenamkan seluruh kesadaranku.
            Aku masih berputar-putar tak jelas dengan lutut yang mencoba mempertahankan tumpuan badan, menahan berat badan dengan guncangan dahsyat sambil memandangi semua sudut. Sudut-sudut yang bergemeletuk dengan banyak lelehan kehancurannya.
            Gunung-gunung yang dalam sejarah, tak akan meletus. Kini meledak-ledak bersamaan. Bagaikan bulu-bulu yang berterbangan. Matahari yang baru saja terbit dari barat menjadi jauh lebih panas, mendekati bumi. Seperti meteor besar yang akan menumbuknya.
            Semua orang berlarian, menjerit tak karuan. Jeritan mereka beragam. Melolong, memekik, dan meraung. Sebisanya bersuara sebelum terhantam dan tak lagi terdengar kehidupannya.
            Beberapa masuk ke dalam banker bawah tanah untuk berlindung. Ada yang langsung menaiki roket yang mereka beli dari Amerika. Roket-roket itu memang telah disediakan dan disiapkan sejak lama. Roket yang dibuat khusus untuk situasi-situasi panik seperti saat ini.
            Tidak hanya Amerika; Rusia, Cina, Jepang, hampir semua negara menciptakan alat pelindung untuk menyelematkan diri dari bencana. Semua membuat pesawat roket dan berbagai alat antariksa lain untuk usaha penyelamatan.
            Sejak bumi telah dinyatakan akan mati. Sejak bumi di-‘katakan’ lalai menjaga dirinya sendiri. Pihak NASA mencari planet lain untuk ditempati, sebagai tempat berlindung lain. Kembaran bumi yang katanya mirip. Yang katanya bisa ditempati. Yang bisa menyelamatkan manusia dari kehancuran yang sering dielu-elukan. Bumi kini berguncang dahsyat. Tanahnya meletup-letup seperti api, seolah magma di dalamnya akan meledak keluar.
            Apakah yang di dalam banker akan selamat jika magma itu meluap? Apakah semua akan selamat dengan semua alat itu?
            Aku hanya diam, tak bergerak di tempat. Mengamati roket-roket buatan Amerika itu meluncur kuat sampai tampak menjadi balon-balon kecil berterbangan di langit. Mungkin sebentar lagi mereka akan menembus atmosfer, bergerak melebihi kecepatan cahaya dan menyegerakan mendarat di planet lain yang sudah disiapkan NASA.
Tapi roket yang tampak seperti balon-balon itu malah terombang-ambing. Dan tak lama kemudian, mereka meledak satu persatu. Meletus seperti balon, pecahnya tidak seperti besi yang terpisah. Tapi seperti kertas yang disobek-sobek.
Serpihan roket menyebar kemana-mana disertai cipratan darah.
            Semua masih menjerit meminta keselematan. Meminta perlindungan.
            Dan aku mendengar satu jeritan, yang mengingatkanku pada puluhan tahun yang lalu. “KIAMAT!!!”
            Mataku terpancang ke langit, menerawang panjang pada puluhan tahun silam. Sedang, dunia terpecah belah dengan banyak manusia yang berlarian ke sana ke mari, aku hanya terdiam. Aku malah menarik benang waktu. Pertalian merah yang menghubungkanku pada masa silam dan sekarang. Ingatan itu membuatku sadar. Sadar pada suatu hal yang jelas kepastiannya.
            Dan sekarang benar-benar terasa jelas. Aku meracau memohon pun sekarang tak ada guna.
            “Rus!”
***
            “Kau bawa apa?” tanya Rus waktu itu. Gerakan pada tangan kirinya seolah meledekku. Ia meletakkan surat kabar yang sedang ia baca ke meja dengan masih menatapku. Mengharapkan jawaban.
            “Buka urusanmu aku bawa apa,” aku menjawab ketus sambil menyimpan barang yang baru aku bawa ke dalam lemari.
            “Kau tertarik produk dari Rusia itu?” dia semakin menyelidik.
            “Yang ini Amerika,” aku mengoreksi.
            Dia tertawa dengan keras dengan sesekali melirik geli.
            “Buat apa beli barang seperti itu?” dia bertanya lagi. Dia jelas sudah tahu apa jawabanku. Tapi dia menyampaikan pertanyaan retoris yang malas kujawab. Orang terbelakang mental pun tahu. Mengapa dia yang kecerdasannya lebih beberapa tingkat; masih saja bertanya?
            “Semua orang akan mati, Mad,” ia memulai lagi. Memulai kisah-kisah lama yang terlupakan pada eranya. Memperingatiku dengan peringatan-peringatan yang sudah terjadi pada orang dulu. Aku muak dipenuhi dengan segala macam makna-makna yang ia tuangkan pada kata-katanya.
            “Ilmuwan, profesor atau orang genius siapapun itu tak akan mampu memecahkan teori hidup walau dengan pengetahuan sekali pun! Teknologi tak akan mampu melakukan lebih seperti yang Tuhan lakukan. Tuhan jauh lebih cerdas. Dan setiap orang pasti akan mati, Rus. Kita tidak akan mungkin bisa menghindarinya. Alat itu tak akan menolongmu,
            Kembali; dia berbicara tentang Tuhan lagi. Dan dengan menyebutnya saja, telingaku sudah gatal.
            “Alat ini terbukti,” aku mengelak. “Banyak orang yang hidup kembali,”
            Dia kembali tertawa. “Terbukti bagaimana, alat itu pembohongan publik. Perusahaan yang memproduksi alat itu hanya menginginkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Cukup jelas, mereka organ-organ feodal. Ingat, kau sarjana. Aku yakin kau bisa berpikir sampai di sana. Mana mungkin ada alat yang bisa menghidupkan manusia lagi. Tidak ada yang abadi. Kecuali Sang Pencipta. Mereka hanya mau mengeruk keuntungan. Di zaman seperti ini, tidak ada orang yang benar-benar jujur. Mereka sudah banyak dibutakan oleh duniawi,
            Lagi-lagi dia mengada-ada tentang teori Ketuhanan. Aku sudah menetapkan berkali-kali padanya; bahwa Tuhan dibuat untuk orang-orang yang tidak percaya diri. Tuhan adalah kontruksi. Tuhan adalah budaya, diwarisi dari masa ke masa. Tuhan muncul karena adanya teori-teori orang zaman dulu. Aku bisa mengatakannya karena dari masa ke masa, deskripsi tentang Tuhan selalu berubah. Jutaan tahun silam, Tuhan disebut air, ratusan tahun berikutnya sebelum masehi, Tuhan adalah matahari. Kemudian muncul, Dewa, Yesus, dan Allah. Semua itu hanyalah omong kosong untuk memperdaya dan mengurung manusia dalam banyak keterbatasan.
            “Tidak ada Tuhan. Tuhan hanyalah ilusi manusia semata. Manusia mengada-adakan Tuhan untuk menikam kebebasan. Apa itu aturan Tuhan? Katanya mengajarkan tentang kebenaran?
            Tapi apa? Dari masa ke masa, para penyembah Tuhan hanya saling berseteru. Menciptakan agama yang berbeda-beda dan memulai perkelahian. Dengan cacian, dengan hujatan, dengan kekerasan, sampai akhirnya perang. Apa ini; ajaran Tuhan?” aku mencerca dengan cepat sebelum dia menyela.
            Jika Tuhan memang ada kenapa dia tidak menampakkan dirinya. Berkatalah seperti ia pada kitab-kitab suci, ”Hei orang-orang beriman,” sambil mengecam kami yang dianggap mendurhakainya. Tapi apa? Omong kosong.
            Bahkan hantu pun bisa berseliweran di mata manusia. Mengapa Tuhan tidak? Mana kuasa-Nya, Rus? Itu semua menjadi bukti, bahwa Tuhan hanyalah ilusi dan khayalan manusia yang tidak percaya diri semata. Berdoa siang dan malam seolah usaha mereka hanyalah efek kecil bagi diri mereka sendiri. Tidak ada Tuhan di dunia ini. Dia, ilusi!” aku menyangkal. Entah berapa juta kali, sampai orang-orang ber-Tuhan mengalihkan diri. Mereka menyadari bahwa memuja hanyalah tindakan sia-sia.
            “Itu menurut logikamu, Rus. Dan merasakan Tuhan bukan dengan logika. Sains yang orang-orang genius itu agungkan tidak akan pernah bisa menyentuh teori Ketuhanan. Tidak akan pernah bisa. Dan tidak akan pernah mungkin bisa. Tuhan memiliki level tingkat tertingginya yang semua orang tak akan bisa menjangkau. Dan perbedaan itu mutlak ada Rus, bahkan pria dan perempuan adalah perbedaan. Mana bisa kita menyalahkan Tuhan tentang perbedaan yang ia ciptakan.” jawabnya dengan tenang. Tak seperti aku yang meninggi.
            “Yang salah bukan agama,” lanjutnya. “Tapi orang-orang di dalamnya. Para pelaksana, ia menahan napas sebentar, “Seperti juga hukum, Rus. Bukan salah hukum, jika banyak ketidakadilan. Tapi, lihat, bagaimana pelaksananya. Jujur atau tidak? Hukum sudah ditetapkan, tapi penjaganyalah yang merusak. Ibaratnya, minuman keras tak akan memabukkan jika tidak diminum, bukan? Jika dibiarkan begitu saja dan tak ada yang meminumnya. Mana ada yang mabuk? Bukan barangnya yang haram, tapi perbuatannya. Semua dilihat dari pelaksananya. Lihat sudut-sudut lain dan titik temunya, bukan batas pandang yang hanya dilihat dari depan. Bahkan perspektif garis dan titik bisa menipumu, tampak tiga dimensi, tapi nyatanya hanya berdimensi dua,”
            Aku diam, mengeratkan kepalan tanganku. Sungguh, dia benar-benar tak pernah lelah berbicara tentang kebenaran keberadaan Tuhan. Banyak orang yang sudah berpaling. Banyak yang sudah berhenti mengkhawatirkan perbuatan mereka.
            Karena mereka percaya; dua ruang imbalan tingkah manusia tak pernah ada. Satunya dongeng, satunya lagi mitos.
            “Tidak ada Tuhan. Tidak ada sang Pencipta yang siang malam kau puja tiap hari itu. Dia hanya omong kosong. Kau tahu semua ini tercipta karena proses alam. Dan manusia itu ibarat komputer, jika ia mati ia masih bisa dihidupkan lagi. Tak ada istilah hari esok yang dipakai untuk menakut-nakuti manusia! Tak ada hari pembalasan!” aku masih berbicara dengan nada meninggi, kali ini menyentuh titik tertinggi dan seolah akan meledak.
            “Tak usah kedengaran takut, Mad!” dia terkekeh.
            “Aku tidak takut!” elakku.
            “Kau tampak takut ketika mengatakan tentang hari pembalasan. Kau pasti masih percaya Tuhan kan?”
            Aku tersenyum kecut. “Mana mungkin ada. Tidak mungkin ada Tuhan,”
            “Lagipula, apa kau bisa membuktikan keberadaan Tuhan?” lanjutku.
            “Apa kau sendiri bisa membuktikan ketidakberadaan Tuhan,” dia membalikkan pertanyaan yang membuatku merinding. Urat-uratku terasa di seluruh tubuh. Menebal.
            Tapi dia hanya tersenyum sambil kemudian berkata lagi, ”Jika memang tidak percaya, itu sudah menjadi urusanmu. Itu hakmu. Dalam agamaku, bahkan aku diberikan hak untuk percaya atau tidak percaya kepada-Nya. Aku dipersilakan untuk beriman dan tidak. Manusia diberi kebebasan untuk memilih, Mad,
            Aku hanya diam sambil menatapnya.
            “Tapi segala pilihan punya tanggung jawab dan konsekuensinya masing-masing. Setiap tindakan ada risikonya. Apakah akan membawa berita baik atau berita buruk,”
            “Pada saatnya nanti tiba, dunia akan hancur. Tuhan akan memberikan aba-aba. Pada saatnya, hari kiamat itu akan tiba. Di mana harta yang dipuja akan punah. Di mana segala hal yang ‘katanya’ mampu mengalahkan kekuatan Tuhan, hanya akan luluh dan leleh dengan sia-sia. Aku hanya mengingatkan, Mad. Jika nanti matahari terbit dari arah barat, kalimat syahadat tak akan berfungsi lagi. Manusia akan berhamburan. Teknologi yang digunakan untuk mencapai keabadian akan hancur dengan sendirinya,”
            “Tak mungkin ada tempat berlindung, tak mungkin ada tempat untuk bersembunyi. Tidak akan pernah mungkin ada pada hari itu. Apapun usaha manusia, tidak mungkin ada yang selamat kala itu,” dia memandangku sekilas, “Kecuali, jika Tuhan mengizinkan. Dialah yang mengatur kemungkinan dan ketidakmungkinan,”
***
            BOOOM!!!
            Terdengar ledakan lagi. Meledakan ingatan pada masa itu. Aku hanya bisa terdiam.
            Inikah yang ia peringatkan sebelum pagi ini ia lenyap entah kemana.
            Aku menatap langit; manusia mulai berhamburan. Bumi tampak mengenaskan. Semua porak poranda. Bangunan rubuh sampai menjadi debu ke tanah. Tiang listirk ambruk, kilatan listriknya memancar kemana-mana. Jingga di ufuk barat yang membuat banyak orang terpesona hanyalah membawa petaka.
            Bukan, bukan petaka. Tapi kehancuran, kehancuran dimensi dunia.
            Dan aku sadar. Tak akan pernah ada tempat berlindung. Tak mungkin ada yang bisa menandingi kehancuran ini. Semua alat yang diciptakan dengan kecanggihan tinggi hanyalah bualan. Kini semua hancur menjadi serpihan. Tak ada yang bekerja. Tak ada yang bisa melindungi manusia. Dan manusia tak bisa berlindung kemana pun jua.
            Tempat-tempat yang katanya aman dari kiamat hancur lebih dulu. Banker-banker pelindung tampak meluap dari bawah tanah disertai mayat-mayat yang melepuh di dalamnya.
            Benar-benar tak mungkin ada yang selamat. Alat-alat itu tak mungkin bisa menyelamatkan manusia. Tak akan melindungi mereka.
            Dan sebelum aku mengingat nama Tuhan yang sering terlantun lima kali, bumi kembali berguncang. Kini aku tak lagi bisa menahannya, badanku terlempar. Aku terlonjak dari bumi. Menyamai manusia lain yang sudah berhamburan.
            Ledakan-ledakan itu bagaikan kemarahan. Sementara aku di udara terbumbung tinggi tak berdaya. Tak berguna dan terhina.
            Aku menatap langit yang seolah retak. Tak ada tempat berlindung.
            Dan seketika itu juga, aku merasakan sakit luar biasa. Langit yang kuterawang perlahan menggelap. Ketakutanku terhadap kuasa Tuhan mencuat. Rasa sesalku tak terbendung. Semua menjadi gelap. Tak ada hari esok dan masa depan baik untukku dan untuk orang-orang seperti aku lainnya.
            Katanya dulu; ampunanku akan menjadi sia-sia untuk saat ini.
            Dan aku, tak akan bisa berlindung kemana pun.
            Tak ada tempat berlindung bagiku.
            Aku tak bisa berlindung. Dan aku sendiri yang melenyapkan satu-satunya tempatku bernaung dan berlindung.
            Pet.
            Gelap menyergap.
***
Kemanakah kau akan berlindung jika bukan kepada-Nya?
***
            Aku terperanjat kaget. Aku terbangun paksa seperti mayat hidup. Kutatap pelosok di mana aku terjaga. Apakah ini, tempat di mana aku akan mendapat segala balasan yang telah dijelaskan?
Dan ruang yang aku tempati putih. Dengan beberapa bingkai foto dan pigura yang menempel padanya.
            Persis seperti kamarku.
            Aku terdiam, meraba kulit tubuhku yang tak lagi keriput. Aku kembali muda. Aku memekik tertahan. Akankah sebentar lagi semuanya menjadi lebih jelas.
            Napasku terasa terdengar memburu ketakutan. Aku menoleh cepat, mengingat sesuatu perlahan, melongok keluar jendela. Dan, warna-warna jingga itu belum datang.
            Aku melesat keluar, dengan tidak menyeret kaki atau apapun itu. Aku merasa kuat. Aku merasa kembali muda. Mengapa aku tak lagi tua?
            Masih terlalu pagi, masih gelap. Aku menatap ufuk barat.
            Apa ini? Apa yang terjadi?
            Aku menelan ludah; menghalau segala ketakutan. Ada apa ini?
            “Mad?” ada yang memanggil. Apakah dia yang akan mengeksekusi segala perbuatanku di dunia?
            “Sedang apa, Mad?” tanyanya sekali lagi, dengan suara yang familiar yang sering kudengar.
            Aku berbalik. “Rus?” tanyaku tak percaya. Di depanku ada Rus, tampak menggunakan baju koko putih dengan sarung masih terlilit di pinggangnya. Dia tampak seperti refleksiku. Bedanya, aku memakai pakaian hitam.
            Dan yang jelas, Rus, tidak tua. Dia masih muda; sama seperti aku. Kami masih mudah. Aku dan dia tidak berada dalam ujung senja.
            Aku mengamati sekeliling dengan masih kebingungan. Berputat-putar dan berkeliling-keliling tak tentu arah.
            “Kenapa Mad?” tanyanya sekali lagi.
            “Ini benar kamu, Rus?”
            Dia mengerutkan dahinya. “Siapa lagi?”
            Aku menepuk pipi perlahan. Mimpi?
            “Kenapa Mad? Biasanya kau bangun jam tujuh,”
            “Matahari terbit dari barat, Rus!” aku memekik sambil menunjuk langit barat.
            Rus menepuk bahuku, telunjuknya kemudian menuding-nuding sudut timur yang tergores warna jingga. Dan sebelum aku sempat bersuara lagi, matahari berbinar-binar mencuat perlahan dari ujung sana.
            Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mensyukuri sesuatu kepada Sesuatu pula. Semua ini benar-benar mimpi. Dari awal hingga akhir adalah mimpi. Aku tidak hidup pada masa di mana kehancuran tiba. Aku masih hidup pada era ini. Di mana hidupku masih pagi, belum senja.
            Semua mimpi. Hanya mimpi. Aku ingin tertawa, menikmati kenyataan ini.
            “Belum kiamat, Mad!” dia terkekeh.
            Aku hanya diam, merenungi segalanya dari awal hingga akhir. Sebelum semuanya berakhir, aku harus mengawalinya. Berlindung pada yang tepat.
            “Rus…” panggilku dengan suara parau, “Ajarkan aku seperti yang kau katakan kemarin,”
            “Kemarin? Ajarkan tentang apa?”
            “Tentang dua kalimat… yang katamu, ada namaku…”
            Sejenak Rus kebingungan, tapi kemudian senyum terkembang di wajahnya. “Terjaga oleh apa Mad?”
            “Panggil nama lengkapku, Rus,” dia semakin heran dengan permintaanku. Tak biasanya aku meminta dipanggil dengan nama lengkap. Dulu, aku tak menyukai nama itu. Aku menolak mentah-mentah jika ada yang memanggilku begitu. Karena nama itu membuat orang-orang selalu berpikiran baik tentangku.
            Rus hanya tersenyum sambil kemudian berkata, “Baru mimpi apa, saudaraku, Muhammad?”
            Baru saja bermimpi indah.

***

            Dan, kemakah kau akan berlindung jika bukan kepada-Nya. Tuhan seru sekalian alam. Tidak mungkin ada yang dapat menandingi-Nya. Dan tidak akan mungkin ada tempat lain yang lebih baik untuk berlindung selain kepada-Nya. Dialah satu-satunya yang membuat segalanya menjadi ada dan tiba-tba. Yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dan yang mungkin, menjadi tidak mungkin.

***

[Telah Berakhir]



Catatan : Gambaran tentang kiamat hanya rekayasa penulis semata yang didasarkan pada pengetahuan penulis dalam menafsirkan beberapa surat (Al-Qori’ah dan Al-Zalzalah) dari Al-Qur’an. Banyak perbedaan dalam hal ini. Akan tetapi, selebihnya, hanya Tuhan yang tahu. Manusia tidak mungkin mengetahuinya. Dan tentang usaha manusia dalam menciptakan peralatan untuk selamat dari kiamat memang ada dan terjadi. Dan sampai saat ini, manusia-manusia masih berusaha menciptakan alat pelindung tersebut untuk bekal ketika kiamat datang. Sebagai tempat berlindung mereka nantinya.

Namun, adakah tempat berlindung yang hakiki? Pun begitu, aku hanya berlindung pada satu Zat. Allah. 

Akhirnya, setelah memendam sebentuk karya interpretasi ini selama satu setengah tahun (aku menulisnya sekitar akhir 2012 sampai awal 2013. Idenya terbentuk di akhir Desember dan kemudian ditulis dengan kilat di awal Januari), aku berani mendedah dan mempublikasikannya. Cerpen ini dulu aku ikutsertakan sebuah Lomba Menulis Cerpen. Alhamdulillah menyabet juara satu. Tapi kalau kamu mau tahu, Lomba yang mengusung debutan GSC alias Gladiool School Competition itu hanya setingkat sekolah. Sekolahku saja. Iya, sekolahku saja :"). If you know what I mean, sekalipun dapat predikat pertama, lomba ini hanya setingkat sekolah saja.
Yah, sekian

Comments

  1. Lamiaaa...

    Cerpenmu keren banget. Aku sampai ikut tegang bacanya. Pemilihan kata, terus "rentang waktu" atau "jarak" yang dibutuhkan untuk menuju konflik semuanya ngenaaa... :')

    Tapi aku sempat bingung pas bagian Mad dan Rus berdebat (yang flashback), itu kayaknya namanya ada yang tertukar. By the way, ayo bikin cerpen lagi! Aku tunggu! <3

    O ya, satu lagi. Lam, hurufnya jangan kekecilan, ya. Mataku sampai menyipit waktu baca, hehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thankyouu Lia... hahaha. Maaf ya baru balas sekarang. Aku baru ngeh ada komentarmu di sini. Terimakasih atas apresiasinya. Tetap Semangat Menulis! :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi