Selalu Random tentang Tujuan Hidup; Aku Mesti Bernapas!

via http://www.kairosblog.com




Berkat ‘mereka’ aku jadi bertambah semangat sekaligus cemburu. Ada perasaan iri ketika mereka mulai berani merangkak, bahkan berlari, menemunkan jalan setapak, dan menyusurinya dengan tanpa halangan.


Berkat mereka, aku pun terus merenungi segalanya. Berkat mereka, rasa cemburuku terus dicambuk kuat, meninggalkan bekas-bekas merah. Seperti seorang masokis, aku menikmati rasa sakit atas kecemburuanku dan menagihnya dalam jumlah yang banyak.

Oke, aku semakin melantur karena memakai perumpamaan, perandaian, analogi cabul, dan sesuatu hal yang awalnya melekat pada hal-hal berbau seksualitas. Aku sebenarnya hanya ingin menceritakan, menjelaskan, dan menunjukkan bahwa sekarang keyakinanku semakin bertambah. Aku Cuma pengin nulis kalau aku masih acak soal tujuan hidup, aku musti bernapas. Kalau tidak aku bisa mati. Persoalannya adalah, udara apa yang harus aku hirup untuk memenuhi rongga-rongga yang lapuk dan sering terkontaminasi asap rokok.

Tentunya bukan rokok. Bukan pula asap-asap pengekang penyebab bengek. Tapi lebih dari itu. Usiaku terus beranjak dan entah kapan – aku pun juga tidak tahu, usiaku akan beranjak terus dan pergi meninggalkan ragaku sendirian, mengajak ruh paling konyol dan tak tahu diri di abad ini.

Aku harus memiliki sesuatu, tujuan hidup dari selain mengabdi pada Gusti yang selalu memberi penerangan di bentangan jalan-jalan yang tidak pernah luput dari kegelapan. Di usiaku yang melapuk, aku harus bisa menjelaskan kepada diriku sendiri; kenapa aku hidup? Untuk apa aku hidup? Bisakah aku berterus terang dan jujur kepada diriku sendiri tentang kausal-kausal kehidupan. Di usiaku yang mulai merenta, (sebenarnya aku nggak setua analogi itu kok, aku masih sembilanbelas :3) aku harus bisa menguraikan kepada diriku sendiri kenapa aku dibiarkan hidup oleh Allah dan diberikan kesempatang menghirup dan menghembuskan napas lebih lama ketimbang yang lainnya.

Oke, badanku boleh saja seperti seorang anak pubertas, tapi pikiranku sepertinya sudah menopause. Untuk itu, aku mesti mengolah diri agar tidak menua.

Sebelumnya, mungkin kalau kalian mau tahu dan sedikit ‘kepo’, bisa banget tengok postingan sebelumnya yang berjudul ‘Obrolan Para Kaum’. Di sana aku menceritakan kegundahanku; termasuk yang manakah aku? Oke, aku sedikit ingin memperjelas dan memberikan garis khusus bahwa kaum yang akan aku sebut-sebut di sini adalah mereka yang menyusu pada ide dan memerah kalimat. Sebut aku saru, sebut saja demikian.

Jadi, belakangan ini, aku punya beberapa teman di facebook yang berprofesi sebagai seorang penulis, pelukis, dan aktivis. Dan lewat mereka yang sering sekali memposting karya-karya terbaru mereka atau sekedar ngobrol perihal karya yang berhasil di muat di media massa, atau malah berbincang-bincang mengenai plot dan alur cerita yang bakal mereka garap; aku jadi cemburu. 

So, I don’t have nothing to show. Awalnya aku berpikir seperti; “Bah, apa banget deh aku hidup di dunia ini tanpa ‘nafas’ dan hanya pamer bau mulut,”

But let be humble, dude!. Namun kemudian aku berpikir lagi, okelah, suatu hari aku ingin menunjukkan bahwa aku memiliki sesuatu tapi tidak bermaksud pamer. Hanya saja terkadang, aku perlu ngomong ke banyak orang tentang sesuatu hal yang aku suka dan tidak menyembunyikannya sendirian. I have to show off, but I have to stay humble.

Hidup bukan soal pamer. Tapi hidup adalah tentang aksi nyata. Jadi setelah membaca status dan balasan komentar dari mereka yang juga seorang penulis, aktivis, dan pelukis ada rasa cemburu juga perasaan bersemangat. Soal itu, aku jadi bersemangat.

Bersemangat berkarya, bersemangat untuk beraksi nyata, tidak melulu berkoar-koar tanpa alur yang jelas. Jujur saja, aku bukan tipe orang yang mudah sekali ngomong ke banyak orang ingin jadi apa aku, kepingin punya apa aku – yah, kecuali makanan. Karena selera adalah sesuatu hal yang tidak bisa dipaksakan. Aku harus jujur kepingin makan apa, daripada aku disodori daging babi yang katanya selembut daging manusia. Terimakasih atas deskripsi-deskripsi tentang daging manusia yang dituturkan oleh Armin Meiwes yang katanya mirip daging babi. Ah, rupanya, daging manusia sama dengan babi.

Aku jadi teringat salah teman kakakku yang seorang koki di China. Ketidaktahuannya tentang tekstur daging telah menjeremuskannya menjadi tukang jagal paling wahid di China. Tanpa mengetahui daging apa yang ia masak, ia membuat sup daging dari janin bayi. Setelah tahu bahwa ia memasak janin bayi, segeralah sang koki itu menangis tersedu-sedu dan berhenti dari pekerjaannya.

Oke lupakan. Kembali pada permasalahan umum.
Maka di sini, aku masih tetap berada pada jalur abu-abu. Bukan hitam bukan pula putih. Aku hanya ingin berkarya. Aku ingin melakukan suatu hal yang bisa membuatku hidup. Karena aku ingin hidup abadi, bahkan lebih tak tahu diri dari sekedar Chairil Anwar yang meminta seribu tahun. Aku meminta selamanya. Haha.

Sudahlah, aku tak mau postingan ini berubah menjadi sebuah kekafiran yang tidak jelas. Aku hanya ingin berdeklamasi dan memprokalamirkan suatu hal yang abu-abu – hanya aku yang tahu. Kalau orang lain mau tahu (geer banget), aku akan membuat diri mereka yang merasa butuh untuk tahu dan bukan aku yang memberi tahu. Kalau orang lain mau tahu (semakin geer, rajam saja perempuan kafir yang menolak poligami sebagai ajaran Islam ini, ngomong-ngomong lain kali aku bakal posting soal poligami, setelah berhasil menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’an agar tak perlu ada debat, hanya pemahaman akan toleransi), aku akan menunjukkannya dengan tindakan, dan bukan sekedar lisan yang abadi. Jikalau aku terlanjur melisan, aku tak akan mengabadikannya hanya pada mulut-mulut yang berbusa, tapi pada tindakan, aksi nyata yang sesungguhnya.
Tungguh aku, wahai mimpi!   
    
Sebuah tujuan hidup yang tidak lagi terombang-ambing di samudra. Sebuah tujuan hidup yang tidak lagi membuatku bertanya-tanya; untuk apa aku hidup? Mengapa Allah membuatku hidup?. Tujuan hidup yang semakin memperjelas segalanya.
               
Aku mesti bernapas untuk terus hidup.

Dan udara yang aku cari, adalah udara yang bersih dan sehat, tak berpolutan. Agar aku bisa terus hidup sembari mencari tahu mengapa aku hidup dan untuk apa aku hidup. Sampai tiba saatnya nanti, aku sendiri sudah bisa menjelaskan kepada diriku sendiri; mengapa aku hidup.

Comments

Popular posts from this blog

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Kode Etik Profesi dalam Bidang Komunikasi