Obituari-Obituari
OBITUARI
Selasa pagi, aku mendapatkan
pesan dari salah seorang rekan organisasi jika ada acara penghormatan terakhir
di Balairung untuk salah satu Dosen Kedokteran yang telah berpulang. Dia memintaku
untuk meliputnya. Namun, sesampainya di sana, aku hanya mampu menganga. Aku tak
kuasa bertanya kepada siapapun. Aku hanya mampu terpaku pada satu sudut –
memandangi para pelayat dan membaca satu per satu karangan bunga yang
besar-besar. Bukankah kematian tidak hanya menyisakan luka? Bukankah kematian
tidak hanya tentang yang pergi dan hilang. Ia adalah tentang kenangan-kenangan
yang menjebak pada duka – rindu-rindu yang tak kunjung bertemu.
***
Pagi-pagi sekali Ibu menelepon –
mengabarkan kabar duka tentang teman seprofesinya yang berpulang. “Kamu sudah
tahu Nduk kalau Bu Irine meninggal?”
“Sudah Bu, Aku baca di salah satu
status facebook teman Ibu,”
Hari itu – rasanya aku tidak
percaya tentang kabar berpulangnya salah satu teman seprofesi ibu sekaligus
guruku ketika SMP. Rasanya ada yang begitu mengganjal di hatiku. Terlepas dari –
lagi-lagi aku tak bisa melayat untuk menyampaikan rasa bela sungkawa. Aku ingin
sekali merangkai kata yang pas tentang beliau. Tapi lidahku pun kelu. Yang
berputar-putar di kepalaku hanyalah kenangan-kenangan.
Aku masih ingat, Bu Irine selalu
menegurku jika aku mulai berisik, ramai, dan berbuat gaduh di tempat les. “Mia,
sik anteng ta. Temen-temen di sini
mau belajar. Ayo kamu sik anteng,”
kalimat itu terngiang-ngiang dengan jelas.
***
Siang itu grup SMA tiba-tiba
gaduh – katanya ada kabar duka lagi. Kali ini dari seorang adik kelas yang
tigabelas hari lagi seharusnya melakukan ujian akhir nasional – kemudian lulus –
kemudian kuliah – dan menjalani kehidupan baru. Tapi rupanya Tuhan berkehendak
lain. Ada kehidupan baru yang lebih baik untuk adik kelasku itu. Untuk
mengkonfirmasi kabar duka ini – aku bertanya pada adikku yang satu angkatan
dengannya. Lewat penjelasannya – aku pun hanya bisa terdiam. Aku pikir seharusnya adik kelasku itu memiliki masa depan. Tapi Tuhan
keburu membuatkan masa depan yang lebih baik.
“Mbak, temanku sudah merasakan
kepergiannya,” kata adikku di pesan Line.
“Memang dia merasa gimana?”
“Dia kirim pesan ke temanku
begini: ‘Yang paling dekat dengan kita ialah kematian’,” sekejap aku terdiam.
Aku langsung terkesiap. Hening. Dalam hati merapalkan doa-doa. Sungguh bocah
itu tak sepenuhnya malang karena belum sempat lulus dari SMA. Ia malah memberikan
petuah yang manjur – menamparkan sampai membuat tubuhku meleleh. Membuatku
ingat dengan segala sesuatu yang selama ini kukejar hanyalah kesemuan. Sebab,
aku selalu berada dekat dengan kematian. Aku harus berterimakasih padanya –
sebelum berpulang, ia telah menyampaikan nasihat yang begitu berarti.
***
Malam itu aku berbicara pada
salah seorang teman organisasi. “Kemarin adik kelasku meninggal,” ujarku lirih. “Kemarinnya
lagi guru SMP-ku,” aku hampir tidak mendengar suaraku. “Dan aku enggak bisa
melayat untuk dua-duanya,” Memang dulu – aku pernah sekali berjanji pada diriku
sendiri untuk melayati kabar-kabar duka yang sampai di telinga dan bisa
dijangkau dengan sejangkah dua jangkah kaki. Semenjak kematian teman TK-ku yang
padahal rumahnya di seberang rumah kami – aku bahkan tak melayat. Sebab, aku
memang tidak tahu jika yang berpulang adalah temanku.
***
Paginya, seorang teman berceloteh
di grup – ia menanyakan kepastian kabar duka (lagi). Kali ini datangnya dari
kakak angkatan di organisasi – yang tidak pernah aku temui dan lihat.
“Aku dengar teman kita meninggal,
itu bener enggak sih?” kemudian – tidak lama berselang lama setelah itu, kabar
duka (lagi) itu dipastikan kebenarannya. Lagi-lagi aku tak bisa melayat karena
sebuah urusan yang tidak dapat ditinggalan.
Beberapa saat setelah kabar itu
tersiar, sebuah pesan muncul – dari teman satu organisasi yang kemarin malam
aku aja ngobrol persoalan orang-orang yang ‘datang dan pergi’.
“Baru kemaring ngomongin orang
meninggal. Sekarang sudah ada lagi,” ujarnya di pesan itu. Aku hanya terdiam.
Aku baru sadar jika kemarin malam aku ngobrol panjang lebar soal
obituari-obituari yang datang silih berganti.
***
Terlepas dari semua itu, aku selalu bertanya-tanya tentang kabar-kabar duka itu berlabuh. Apakah ia melabuhkan kesedihan bagi sebagian orang , atau kebahagiaan bagi sebagin yang lain. Apakah obituari itu akan bercerita dan menyingkap masa silam dan kisah hidup orang yang bersangkutan? Yang jelas, di balik semua itu – aku selalu bertanya-tanya – tentang apa yang orang-orang katakan setelah kematian itu terjadi. Apakah itu hanya sekadar perasaan kehilangan ataukan tentang kenangan-kenangan. Sebab, aku bisa menyebutkan hal yang lebih menyakitkan ketimbang merasa kehilangan. Yaitu; terjebak kenangan -- yang tidak akan mampu dibawa kembali pada satu ruang yang sama. Semua hanya akan tersimpan dalam kenangan -- menjadi angan-angan -- tanpa terwujud sebagai kenyataan. Bolehkah aku menyebut itu lebih menyakitkan dari rasa kehilangan?
Jujur, aku takut menghadapi kematian. Dan aku takut jika mereka membicarakanku setelah aku pergi. Sebab, aku tak akan pernah tahu apa yang mereka bicarakan tentangku, bukan?
Comments
Post a Comment