Membaca Laju Pertumbuhan Hotel di Yogyakarta
Disebut-sebut sebagai salah satu kota pariwisata favorit wisatawan, baik dari turis lokal maupun asing, menjadi faktor utama laju pertumbuhan hotel yang semakin pesat. Tentunya, Yogyakarta mesti siap sedia untuk menampung turis-turis yang membludak setiap tahunnya. Selain itu, Yogyakarta juga sering menjadi tempat konferensi pertemuan-pertemuan penting. Hotel menjadi salah satu tujuan utama untuk mengakomodasi pertemuan penting tersebut. Hal ini tentunya membuat banyak pengusaha melihat peluang yang besar dalam bisnis hotel.
Pertumbuhan laju hotel, baik di
Yogykarta maupun Sleman memang tidak dapat terelakkan. Hal tersebut disebabkan
oleh pertambahan jumlah kamar yang signifikan pada tahun 2014-2015 akibat
banyaknya wisatawan berkunjung ke Yogyakarta. Data dari Perhimpunan Hotel dan
Restoran Indonesia (PHRI) DIY menyebutkan ada 1.160 hotel di Jogja hingga tahun
2013. Hotel bintang sebanyak 60 dengan lebih dari 6.000 kamar sedang 1.100
hotel lainnya merupakan hotel kelas Melati dengan 12.660 kamar.[1] Jumlah
tersebut akan terus bertambah. Sebab, saat ini telah terhitung mulai dari tahun
2014, terdapat total 104 izin baru pendirian hotel masuk ke Dinas Perizinan. Masih ada 70 izin
IMB yang sudah diselesaikan. Sementara 30 di antarnya telah melakukan proses
pembangunan.[2]
Bagi pengusaha yang ingin menanamkan
investasi dalam bidang bisnis perhotelan memang menggiurkan. Selain itu, hotel
menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta. Menurut
catatan Berita Resmi Statistik Provinsi
D.I. Yogyakarta No. 64/11/34/Th.XVI, 5 November 2014, sektor perdagangan,
hotel, dan restoran menyumbang peran perkonomian sebanyak 5,03 %. Banyaknya hotel tersebut tentunya tidak
memungkiri kompetisi yang terjadi, baik kompetisi hotel lokal maupun swasta.
Walaupun begitu, potensi pasarnya masih
sangat besar menjadikan bisnis perhotelan di Yogyakarta masih menggiurkan.
Namun, kompetisi hotel tersebut berdampak negatif pada beberapa hotel lokal
atau kelas melati. Hotel-hotel kelas melati terancam bangkrut. Sebab, hotel
bintang lima (milik swasta elite) menawarkan fasilitas yang memadai dengan
jarak tarif yang tipis. Adapun, kompetisi hotel tidak hanya berlangsung di
antara pengusaha lokal dan swasa. Namun juga antar pengusaha hotel swasta itu
sendiri. Menjamurnya hotel-hotel di Yogyakarta, menyebabkan industri perhotelan
semakin ketat. Selain itu, pelarangan rapat di hotel serta pembatasan menginap
di hotel untuk instansi pemerintah menyebabkan porsi kue untuk industri
perhotelan di DIY menyusut hingga 40%. Pasalnya, sebanyak 40% bisnis hotel di
DIY bergantung pada kegiatan MICE yang diselenggarakan oleh pemerintahan.[3]
Pada akhirnya hotel-hotel harus bersaing untuk mendapatkan wisatawan.
Persaingan ini pun biasanya dilakukan dengan perang tarif hotel. Padahal, tarif
harga di DIY telah ditetapkan oleh PHRI. Di samping itu, penjualan sejumlah
hotel yang marak terjadi menjelang pergantian
tahun ini. Beberapa pengusaha hotel memilih menjual hotelnya untuk mencari
keuntungan cepat. Oleh sebab itu, lambat laun bisnis hotel lebih menyerupai
bisnis properti.
Di samping itu, perlu ditinjau pula
mengenai regulasi dan mekanisme perizinan pembangunan hotel di Yogyakarta.
Pasalnya, semenjak dikeluarkannya Peraturan Walilota (Perwal) Nomor 77 tahun 2013 tentang Pengendalian
Pembangunan Hotel memudahkan pemilik modal untuk mendirikan hotel di Yogyakarta.
Pembangunan hotel pun tidak merata dan hanya menumpuk di Sleman dan Yogyakarta.
Sebanyak 68,6 % dari seluruh jumlah total hotel[4]
didirikan di Yogyakara dan Sleman sehingga hal tersebut memengaruhi lingkungan
sekitar masyarakat. Hal ini tentunya memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan masyarakat. Salah satunya adalah kekeringan sumur yang dialami oleh
Warga Kampung Miliran pada pertengahan tahun 2014 lalu. Kekeringan
tersebut diduga berkait dengan keberadaan sebuah hotel di sekitar pemukiman
mereka yang juga menggunakan sumur untuk memenuhi kebutuhan airnya.[5] Selain itu, ada pula dugaan pembuangan limbah di sekitar jembatan kewek. Tentunya,
dampak-dampak negatif terhadap lingkungan ini sangat meresahkan warga sekitar
hotel. Beberapa penolakan terhadap pembangunan hotel telah digencarkan oleh warga
semenjak awal tahun 2014. Di antaranya penolakan warga RT 01
Timoho Kelurahan Muja-Muju pada Maret 2014 dan disusul penolakan warga di Kelurahan Ngampilan pada Mei 2014.
Setelah dikaji dari berbagai data yang didapatkan penulis
dari artike-artikel berita, persoalan yang dialami dari laju pembangunan hotel
ternyata berdampak kepada berbagai hal. Persoalan pembangunan hotel, tidak
hanya berkaitan dengan bisnis hotel yang berubah menjadi bisnis properti,
persaingan industri hotel, dan kompetisinya. Namun, persoalan hotel juga
berdampak pada masyarakat sosial dan lingkungan hidup.
[1] Lih. jogjanews.com/sudah-berizin-pembangunan-20-hotel-baru-di-kota-jogja-2014-2015,
diakses pada tanggal 1 Maret 2015
[2] Lih. jogjaportal.com/masih-ada-30-hotel-baru-akan-berdiri-di-kota-jogja/1368/,
diakses pada tanggal 1 Maret 2015
[3] Lih. kabar24.bisnis.com/read/20150102/78/387260/hotel-di-jogja-dilarang-perang-tarif,
diakses tanggal 1 Maret 2015
[4] travel.kompas.com/read/2014/08/09/182600527/Hotel.di.DIY.Hanya.Menumpuk.di.Yogyakarta.dan.Sleman,
diakses tanggal 1 Maret 2015
[5]Lih. http://regional.kompas.com/read/2014/08/06/16225191/sumur.kering.warga.jogja.aksi.mandi.tanah.di.depan.hotel, diakses tanggal 1 Maret 2015
pic source : https://wargaberdaya.files.wordpress.com/2015/01/screenshot-from-2015-01-09-180002.png
pic source : https://wargaberdaya.files.wordpress.com/2015/01/screenshot-from-2015-01-09-180002.png
Comments
Post a Comment