Pelarian Ajo Kawir dan Mono Ompong
Judul : Seperti Dendam, Rindu Harus Segera Dibayar Tuntas
Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Mei 2014
Tebal halaman : 243 halaman
ISBN : 978-602-03-0393-2
Ini bukan sebuah resensi, apalagi review. Hanya saja, saya berandai-andai – jika dan hanya jika Eka Kurniawan menggunakan plot yang saya ingini. Sebuah plot paling ngawur yang saya damba-damba ketika membuka lembar demi lembar halaman kertas novel “Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas”. Begitu pula dengan geliat saya menyampaikan opini ini, saya harus membayarnya dengan tuntas.
Teruntuk Ajo Kawir dan Mono
Ompong,
Yang menjalani kehidupan
bersama-sama – dari ruas jalan ke ruas yang lain. Kupikir kalian akan hidup
bersama selamanya. Namun, ternyata tidak. Kisah kalian hanya sebatas tentang sopir truk
dan keneknya. Kalian berpisah di persimpangan jalan. Berpulang menuju tempat
masing-masing. Berlabuh pada kewajaran. Kupikir Eka yang ‘melompat-lompat’ itu
akan membawa kalian berdua pada kisah yang lebih epik dan tidak terduga.
Rupanya tidak, Eka tidak ‘semelompat-lompat’ yang aku kira. Dia tetap membawa
kalian berdua pada jalan kewajaran. Tetap mencintai lawan jenis kalian dengan
cara masing-masing – tetap berminat pada perempuan dengan cara masing-masing.
Aku pikir tak bisakah kebersamaan
kalian yang panjang itu mengubah perspektif dalam memandang dunia. Kupikir
kalian – Ajo Kawir dan Mono Ompong akan hidup bersama-sama – mendendam sekaligus
merindu pada ruas dan muara yang sama. Entah kemana akan dibawa rimbanya.
Jelasnya, kalian akan tetap berada dalam satu kabin truk. Sesekali mengobrol
tanpa mengumpat. Sesekali mengobrol dengan nada oktaf yang rendah. Tapi
ternyata tidak. Kalian berpisah.
Terunjuk Ajo Kawir
Aku tidak tahu apa yang ada di benak Ajo Kawir ketika membiarkan Mono Ompong nyaris tewas di mata Si Kumbang. Usianya baru awal duapuluhan. Jika disetarakan dengan aku sekarang – mungkin ia adalah mahasiswa semester 6 yang sedang mendaftar KKN. Atau mahasiswa yang memilih cuti beberapa semester untuk aktif berorganisasi. Atau mahasiswa yang suka berdemo dan membawa spanduk-spanduk besar dan membakar ban. Dari sini bisa disimpulkan, sosok Mono Ompong -- yang entah mengapa Eka gambarkan sebagai anak lelaki tak bergigi dua di depan itu, begitu masih panjang dan memiliki masa depan. Namun, Eka lebih memilih mengantarkan sosok Mono Ompong yang bergaya berandalan tapi tak pernah genap menjadi preman.
Ajo Kawir, aku heran mengapa kamu dengan santainya melihat Mono Ompong ditekuk-tekuk tubuhnya. Kakinya – dipatahkan, badannya diremukkan. Tidakkah kamu melihat, ia adalah seorang bocah saja? Aku pikir seharusnya kalian memahami satu sama lain dengan cara yang lebih manusiawi. Bukan dengan menstransfer kondep-konsep dan ilmu berkelahi. Kamu tahu Ajo Kawir? Oh, Mono Ompong juga ingin dengar? Seharusnya kalian tidak berkelahi dengan Si Kumbang (Aku tahu si Kumbang sedang mendengarkan pembicaraan kita). Sebab, ada yang lebih baik dari mencintai. Kalian mau tahu? Dengan tidak membenci, dengan tidak mendendam. Dan adakah yang lebih menyakitkan dari merindu? Terjebak kenangan pada hal-hal yang hilang.
Teruntuk Mono Ompong
Apa sih yang kau harapkan dari sosok Nina? Aku enggak mengerti sampai akhir kisah. Kamu hanya selalu berbicara bagaimana kamu mencintai gadis itu. Namun, aku tidak paham logika seperti apa yang kamu miliki hingga memilih gadis itu. Apakah gadis itu cantik? Apakah auranya menarik? Ataukah kepribadiannya santun. Ah, bahkan ia menjual diri, Mono Ompong! Coba tanya pada dirimu sendiri, apakah benar kamu mencintai gadis itu? Ataukah semuanya hanya ilusi. Kesemuan yang tanpa ujung – yang menyampaikan kabar berita pada angin -- yang pada waktunya akan berserakan di tanah-tanah yang berbeda dan meninggalkan luka yang sakitnya tiada tara?
***
Aku mengharapkan kisah yang lebih dari Eka. Aku pikir, Ajo Kawir dan Mono Ompong akan bersama. Mereka berdua akan sama-sama memilih melupakan gadis-gadis yang pernah mereka puja. Mereka akan berkelana dari ruas jalan ke ruas yang lain dengan truk besar mereka. Kemudian, sampailah perjalanan mereka di Belanda. Mereka menikah – dan membalas dendan pada rindu yang semu.
Tunggu dulu, lalu bagaimana dengan peran si Tokek? Ah, dia selalu menyemangati Ajo Kawir tanpa si Ajo Kawir tahu. Tanpa si Ajo Kawir menyadari. Si Tokek selalu mendoakan yang terbaik bahkan memilih tak menikah dengan siapapun sampai Ajo Kawir benar-benar bahagia. Lalu, bagaimana dengan si Tokek? Ia merindu pada luka-luka yang terus bernanah. Ia mendendam pada dirinya sendiri. Dan selalu berusaha terlihat bahagia.
Bukankah sebetulnya cerita ini adalah persoalan misteri rasa dan logika antara Ajo Kawir, Mono Ompong, dan Si Tokek? Semoga mereka bahagia – tak menaruh dendam pada apapun – tak membalas dendam kepada siapapun. Dan berusaha melupakan rindu – menjauhi rindu dari kenangan-kenangan yang perlahan menjebak pada keterhilangan.
Entah.
Comments
Post a Comment