Berputar Bersama Bianglala
Hari ini penghujung bulan Juni
dan semua orang membicarakan Sapardi – juga puisinya tentang hujan di bulan
Juni. Hujan pun turun tepat di awal
Bulan Juni. Sekarang masih bulan Juni – penyair sekaligus Sastrawan seperti
Joko Pinurbo bahkan memberikan sebotol hujan untuk Sapardi. Hari ini bulan Juni
– mendadak semua orang jadi penyair, dengan mengutip beberapa bait puisi karya
Sapardi, suasana bulan ini jadi begitu mendayu-dayu.
Hari ini bulan Juni – tetapi yang
terngiang-ngiang dikepalaku bukan puisi Sapardi – sekalipun bait-baitnya
berseliweran di mana-mana. Hari ini bulan Juni – dan aku pun terkenang tentang
D. Zawawi Imron. Bukanlah dia yang mengatakan padaku bahwa ibunya berselendang
bianglala? Bukanlah dia yang mengatakan padaku bahwa perempuan-perempuan itu
memiliki saya serupa bianglala di punggungnya? Seperti juga ibuku, ibuku punya
selendang yang lebar, dengan kepala-kepala bianglala terajut di atasnya. Aku
duduk di atasnya bersama saudari-saudariku yang lain. Setiap kali aku sampai ke
puncak tertinggi, aku akan melukis sebuah senja di langit biru untuk Ibu.
Ketenaran Sapardi mungkin
menggemakan bumi ini, tetapi, entah mengapa benakku tetap terpaut pada Zawawi
Imron. Beliau adalah penyair pertama yang kukenal. Sajaknya tentang “Ibu”
kutemukan di antara lembaran-lembaran usang pada buku yang tertata rapi di rak
perpustakaan SMA. Sejak saat itu – aku pun mulai menyukai puisi.
Dan Zawawi-lah yang mengajakku
ke langit biru bermain tentang sajak-sajaknya saat usiaku masih belia. Dia
mengajakku naik di bianglala miliknya – selendang peninggalan ibunya yang masih
ia arsipkan di dalam lubuk hati yang paling terdalam. Bianglala miliknya tidak
terlalu bagus, namun bentuknya seperti labu dengan dua jendela kaca di kedua
sisinya. Warnanya coklat muda dengan ukiran-ukiran rumit di sekeliling pintu
masuknya.
Di tempat itu, Zawawi Imron
memperkenalkan padaku sajak-sajaknya. Sajak-sajak yang ia tulis di langit biru
dan tertoreh abadi di sana. Setiap kali bianglala itu berputar, dia akan
berhenti di tiap tingkatan, Zawawi akan membukakan jendela kaca itu dan
menggaet tanganku untuk menyentuh langit. Di sana, ia menyuruhku untuk menulis,
katanya, “tulislah sebuah sajak”. Aku menggerakkan jari-jemariku – menggores langit
sampai menghasilkan pantulan tulisan. Di situ aku menulis, “ibu selalu
menggendongku dengan selendang bianglala. Dan disanalah ibu mengajariku bahwa
dunia ini selalu berputar,”
Sampai pada puncak tertinggi,
Zawawi Imron membukakan pintu bianglala, dia berjalan keluar tanpa rasa takut
akan ketinggian. Ia mengatakan padaku bahwa aku tak perlu takut jatuh. Setiap
harapan dan keberanian akan menciptakan pijakan untuk langkahku. Aku keluar
dengan ragu-ragu – tapi Zawawi benar, aku berjalan di atas langit, aku tidak
jatuh. Gravitasi seperti lumpuh di satu waktu. Setiap pijakan seperti tuts
piano. Setiap langkahku menghasilkan nada.
Kemudian Zawawi menunjuk sebuah
perkampungan kecil di Sumenep, Madura. “Aku dan Ibu tinggal di sana,” ujarnya.
Kemudian ia berbalik dan menatap bianglala besarnya. “Aku merindukan selendang
bianglala ibu,”
“Hanya Ibulah satu-satunya pertapaanku,” ujarnya.
“Hanya Ibulah satu-satunya pertapaanku,” ujarnya.
Kami pun bergegas kembali menuju
Bianglala. Kami akan pulang – tetapi sebelum pulang Zawawi memberikanku
berlembar-lembar kertas usang. Semua adalah sajak-sajaknya. “Lain waktu, aku
akan mengajakmu menyusuri sungai kecil,” jelasnya – dan bianglala pun kembali
bergerak – menuju ke bawah.
“ibulah itu, bidadari yang berselendang
bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku” D. Zawawi Imron, Ibu – 1966
30 Juni 2015
Tentang Juni dan Puisi – serta D. Zawawi
Imron.
Catatan: Sungai Kecil adalah
sajak D. Zawawi Imron yang juga saya kagumi. Dan sepenggal narasi ini adalah
bentuk kekaguman ketika kali pertama membaca sajak Zawawi Imron tentang “Ibu”.
Comments
Post a Comment