Sebaiknya Dibungkus

via huffitongpost

Jalanan di sebelah Fakultas Kehutanan selalu terlihat paradoks bagiku. Praduga kegelapan yang melilit di tempat itu selalu dihempaskan mentah-mentah oleh warung-warung makan kecil yang pendaran cahayanya selalu temaram.
 Terlihat sepi namun sejatinya ramai dengan orang-orang yang keroncongan – sebagian lagi ramai dengan orang-orang yang mencari uang dengan berdendang. Malam itu, didesak oleh kosongnya perut dari tadi siang, aku menelusuri keparadoksan yang tiada batas sembari mengintai satu warung pedadang kaki lima ke warung lainnya.

Aku memilih salah satu warung sop di ujung jalan – duduk di sana sendirian setelah memesan. Ini kali pertama di semester empat aku makan sendirian di sebuah warung. Jika aku makan sendiri, biasanya aku akan membungkusnya dan memakannya di kamar kos. Kali ini – tiba-tiba – aku ingin merasakan suasana yang berbeda. Aku ingin makan langsung di warung itu. Ya, walaupun sendiri. Tanpa, teman makan. Aku hanya malas kalau harus mencuci piring dan gelas setelah makan.

Warung itu masih sepi pengunjung. Hanya ada sepadang kekasih yang sedang mengobrol dengan asyik di sebelahku. Tak berapa lama, pengunjung-pengunjung yang lain pun ikut datang. Selagi menunggu segelas teh panas dan semangkuk sop ayam, seorang pria dan istrinya masuk dan duduk di depanku. Di belakangnya menyusul sepasang kekasih yang terlihat masih mahasiswa ikut duduk meja paling ujung.

Aku pun mulai mengamati mereka satu per satu dengan membisu. Sementara pengunjung lain ngobrol dengan pasangan mereka masing-masing. Iya, ngobrol dengan pasangan masing-masing. Sementara aku hanya duduk diam di pojok meja sambil menunggu teh panasku dengan resah.

Makanan yang aku pesan seolah-olah lama sekali datangnya sementara itu sepasang kekasih kembali masuk ke warung itu. Sambil tertawa cekikikan mereka duduk di samping suami istri tadi.

Akhirnya, sop pesananku datang. Aku memakannya dengan cepat. Tidak ingin tenggalam dalam keparadoksan. Warung ini ramai – semua penuh dengan sepasang kekasih. Setidak-tidaknya mereka punya teman untuk ngobrol ketika makan. Sedangkan aku – hanya makan sendirian. Beberapa kali aku tidak sengaja menangkap obrolan mereka seperti:

 “Aku mau punya anak lagi, deh,” suara itu dari seorang suami.

“Emang kamu berani lawan dia?” ini suara perempuan di sebelahku. Si lelaki menjawab. “Beranilah! Apa sih yang enggak buat kamu?”

Aku hampir tersedak mendengarnya.

Lain lagi dengan pasangan yang duduk di dekat suami istri. “Aku enggak manja ya minta ditemenin makan. Cuman emang enggak enak aja kalau harus makan sendiri,”

Kali ini aku benar-benar tersedak.

Sementara itu – aku tidak bisa mendengar percakapan sepasang kekasih yang duduk di paling ujung. Aku hanya bisa mendengar mereka tertawa dengan bahagia.

Saat aku mau membayar makananku, aku baru tersadar... penjual sop ayam itu juga suami istri – sepasang kekasih – pasangan hidup.

Aku tersenyum kecut.

Seharusnya aku melakukan seperti biasanya ketika aku makan sendirian. Seharusnya dibungkus seperti biasanya saat aku membeli makanan. Seharusnya dibungkus.

Toh, kini yang tersisa di malam itu hanya paradoks yang bertingkat... serta sepi yang semakin tajam.

Lain kali – jangan makan sendirian lagi (di tempat ramai). Sebaiknya makan dengan teman biar tidak terlihat sendirian. Kalau tidak ada teman makan – harus dibungkus, sebaiknya dibungkus saja. Makan di kamar kos berukuran 2X3 sembari mendengarkan deru kipas angin.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan