[Cerpen] Takjil Setengah Enam
Takjil Setengah Enam
via kompasiana
Lagi-lagi aku dan Jack mencari makanan gratisan di
Masjid. Padahal sudah jelas, selama puasa sampai hari ke sembilan, aku dan dia
tidak menunaikannya. Malas rasanya, buat apa capek-capek menahan lapar dan
dahaga. Aku sudah bosan mendengarkan ceramah para Ustadz. Aku sudah tak peduli
dengan amanat Tuhan yang satu itu.
Ah, tidak cuma satu saja, tapi juga amanat yang
lain, sudah kulupakan. Bahkan yang bukan amanatnya dan bahkan yang dilarang
malah aku laksanakan dengan sukacita. Lagipula, apakah Dia memang ada? Kalau
ada, mengapa Dia selalu bersembunyi? Tak pernah sekali pun menunjukkan rupa dan
wujudnya. Aku tidak ingin menjadi orang-orang bodoh di luar sana yang
mengagungkan-agungkan sesuatu yang tidak jelas keberadaannya di mana. Jika pun aku mengakui keberadaan-Nya, bagiku, dan bagi Jack
pula, Dia-lah sumber semua kekacauan di muka bumi ini.
Seperti biasa, aku dan Jack memakai baju koko yang
agak panjang dengan sebuah peci putih. Tak lupa kami membawa sarung. Semua itu
hanya sebagai kostum, kami
melakukan sedikit penyaraman agar tidak dicurigai. Jangan sampai, mereka tahu
bahwa di lenganku dan di kaki Jack ada sebuah tato. Bisa di hajar pemuda masjid
jika mereka tahu. Kemudian mereka
akan meneriaki kekafiran kami sembari bertakbir. Hingga kini, aku enggan
mengerti mengapa mereka sangat kolot.
Dengan memakai pakaian seperti itu, kami terlihat
seperti santri alim yang setiap hari melakukan ibadah di masjid. Tapi nyatanya,
kami berdua tak ubahnya seperti barang-barang rusak. Yang kami lakukan bukan
ibadah tapi maksiat. Luarnya saja yang tersegel rapi, tapi dalamnya belum tentu
mulus seperti bungkusnya.
Kami berdua memang biasa curang, selain bertingkah sok alim kami
juga menyingkirkan anak-anak jalanan, orang tua yang sudah kesusahan berjalan,
dan makhluk-makhluk lain yang lemah dengan paksa. Di antaranya ada yang kami
ancam, baik dengan ucapan maupun kekerasan fisik seperti saat ini.
“Heh, minggir lu! Atau gue gampar!” seru Jack
berbisik di dekat seorang anak kecil yang tampak kumal dan sangat ringkih.
Jelas saja, ia langsung menyingkir ketakutan. Aku dan Jack berkali-kali lebih
tua daripada dia. Dan badan kami juga jauh lebih besar daripada anak itu. Tentunya,
dia tidak mau cari masalah dengan orang-orang yang jelas – bukan tandingannya.
“Minggir kagak!” sekarang giliranku menggertak anak
yang lain. Gertakan yang dilakukan sangat hati-hati, karena aku tidak mau para
pemuda-pemudi Masjid itu mendengar.
Anak kecil itu menggeleng, “Laper bang…” lirihnya.
“Gue juga laper!” sergah Jack sambil menatap tajam
anak itu. “Kagak cuma lu aja!” aku ikut-ikutan menimpali.
Tapi, sepertinya anak kecil itu masih bersikeras
untuk tetap di barisannya. “Nggak mau bang, kemaren saya udah nggak dapet
jatah,” jawabnya semakin berani. Sungguh berbeda dengan anak kecil yang tadi.
Padahal biasanya, bila ada salah satu
dari sekian deretan anak jalanan yang kami gertak, maka seluruh anak lain di
deretan yang sama juga akan beranjak pergi. Takut kami pukuli.
Aku jadi geram sendiri karena dia mulai berani
denganku dan Jack. Bisa-bisanya dia balik berkata seperti itu dengan nada yang
tidak bisa dibilang rendah.
“Eh, emang itu urusan gua? Udah sana lo minggir? Apa
lo mau tangan lo yang kecil ini gue patahin,” Jack sepertinya mulai panas,
terlihat jelas pada urat-urat wajahnya yang mulai menonjol keras.
“Tapi saya laper banget bang,” imbuh si anak kecil
dengan air mata yang hampir keluar. “Saya puasa udah tiga hari ini belum buka,
bang. Nggak punya uang. Adek saya apalagi, dia belum makan sama sekali bang,”
katanya lagi – dan kali ini air matanya benar-benar jatuh.
“Ya itu urusan lo lah!” jawabku sambil mendorongnya sampai jatuh ke tanah. Anak kecil
itu tampak menghapus air matanya dengan susah payah.
“Emang abang puasa?” dia bertanya dengan nada –
menyindir?
“Bukan urusan lo kita berdua puasa apa kagak.” jawab
Jack sambil menyeringai geli ke arah anak kecil itu. Dan anak kecil itu hanya
bisa terdiam lama sambil memandang Jack dengan sengit.
“Makanan yang dibagi cuma buat orang yang puasa, dan
harusnya abang nggak berhak ngambil,” anak kecil itu masih bicara dengan sok
tahunya. Membuat aku dan Jack ingin menghantam anak itu ke tanah.
Dan sepertinya Jack hampir kelepasan, emosinya
meluap mendengar kata-kata dari anak kecil itu. Tangannya sudah hampir melayang
akan menggampar pipi lusuh anak kecil itu. Tapi segera aku tahan tangannya.
Jangan sampai terjadi, mereka semua bisa tahu jika aku dan Jack bertindak
kekerasan di sini. Bisa-bisa korban kekerasan akan beralih padaku dan Jack. Dan
semua orang akan tahu bahwa aku dan Jack hanyalah pemuda urakan yang mengambil
jatah orang puasa.
Bukan saja tidak akan mendapat makanan gratis tapi
akan dihakimi dan dihajar masa. Dan terakhir, akan dimasukkan ke penjara
ramai-ramai oleh warga setempat.
“Udah Jack, biarin aja,” ujarku lirih, sementara
anak kecil itu berlalu pergi. Dengan mata yang masih menatap tajam ke arah
kami.
Tapi, apa aku dan Jack peduli? Tidak.
***
Dan untuk hari ke sepuluh kami berbuat hal yang
sama. Para dermawan yang ingin cari muka, dan para pejabat yang ingin cari
suara mulai menyemarakkan acara bagi takjil dan makanan untuk berbuka bagi
orang miskin, gelandangan, anak yatim piatu dan para perantau.
“Asik nih Bram, kali ini pasti mewah! Punya orang
kaya!” celetuk Jack yang mulai tidak sabar. Kini kami telah berada di barisan
paling tengah setelah mendesak anak-anak kecil dan para lansia lelet. Beberapa di antaranya ada yang
marah, bahkan sampai menyumpahi, ada juga yang hanya diam saja dan pasrah
antriannya kami serobot.
“Jangan sampe nggak kebagian, Jack!” aku ikutan
berbicara sambil sesekali melirik kotak nasi berwarna putih dan berukuran
besar. ‘Pasti enak,’ batinku sambil membayangkan makanan apa saja yang berada
di dalamnya. Kan yang memberi orang kaya, pejabat lagi. Tidak mungkin kan,
hanya ikan teri, sambal, dan nasi saja?
Dan akhirnya tiba giliran kami untuk mendapatkan nasi kotak dan makanan ringan untuk berbuka
puasa.
Ah! Berbuka puasa? Aku dan Jack kan tidak puasa.
Tapi masa bodohlah! Yang penting aku bisa dapat makanan gratisan. Tidak peduli
orang lain mau bagaimana. Rasa egoisku dan kebencianku terhadap nilai moral dan
agama memang tengah membuncah.
Sedang asik-asik makan, Jack tiba-tiba menepuk
bahuku pelan. Dagunya dibuat untuk menunjuk beberapa nasi kotak yang masih
penuh berisi makanan.
“Kenapa?” dahiku mengerut heran, aku bingung dengan
yang dimaksudkan oleh Jack. Ia hanya berbicara dengan gerakan dagunya.
Sedangkan mulut dan tangannya sibuk mencacah makanan.
Dengan susah payah, Jack menelan nasi yang tengah ia
kunyah dan mulai berbicara kepadaku, “Kayaknya sisa Bram, kita ambil aja,”
Aku melirik antrian yang masih panjang. “Kagak ah,
cukup satu aja,”
“Alaaah… nggak apa-apa, kalo makanannya habis kan
pejabatnya bisa beli lagi. Orang kaya kan? Ngapain dipikirin lagi. Lagian belum
tentu makanan yang dia beli ini pakai uangnya, bisa aja pake uang rakyat. Tahu
kan, tingkah pejabat jaman dulu sampe sekarang?”
Aku diam sebentar sampai Jack menyenggol lenganku.
“Gimana?” ia mencari kepastian.
“Yang antri masih banyak,” jawabku sekenanya membuat
Jack melirik antrian yang masih panjang.
“Nggak apa cuma satu dua aja, pejabatnya bisa beli
lagi.” kata Jack meyakinkanku dan setelah didesak agak lama, akhirnya aku
mengiyakan ajakan Jack. Kami beruda akhirnya berusaha mengambil dua makanan
gratis secara diam-diam.
“Nggak susah kan?” kata Jack sambil menenteng dua
nasi kotak yang berhasil kami ambil – atau lebih tepatnya kami curi.
“Petugasnya aja nggak tau, kalo tadi kita udah ngambil,”
Aku hanya tersenyum saja mendengar pernyataan Jack
sambil melihat lalu lalang para duafa yang mengais rejeki dari si pejabat yang
sedang cari muka. Ada juga beberapa kru TV yang meliput kegiatan ini.
Mentang-mentang akan diadakan pemilu lagi, mereka
gencar cari muka agar di hadapan masyarakat terlihat berwibawa dengan melakukan
kegiatan sosial. Agar dapat simpati yang akan mempengaruhi suara mereka di
pemilu nanti. Lihat saja setelah pemilu usai, mereka akan berhenti memberikan
sumbangan. Mereka akan menghilang, seakan ditelan bumi. Sembunyi entah ke mana.
Mereka peduli ketika hanya butuh saja. Dan itu terbukti – sampai detik ini.
Itulah alasan utama mengapa aku memilih golput – selain aku tak punya hak suara
juga tentunya.
“Masih ada nasi kotak yang sisa?” sebuah suara
terdengar, membuyarkan lamunanku yang tadi sudah melayang ke mana-mana.
“Habis, memang kenapa?” suara yang lain menyahut.
Aku dan Jack berpura-pura tidak tahu menahu dan akan mengambil langkah seribu
untuk cepat-cepat kabur sebelum mereka tahu, bahwa tersangka utama adalah kami
berdua.
“Masih ada dua anak yang belum kebagian, kasihan!”
ujar yang memanggil. Entah mengapa itu membuat aku dan Jack menoleh ke
belakang. Mengapa bisa pas kurang dua? Sedangkan dua nasi kotak yang harusnya
pas untuk dibagikan berada di tanganku dan Jack. Aku menganggapnya itu hanya
kebetulan dan lebih kepada faktor kepelitan si pejabat itu sendiri. Mengapa
tidak memiliki cadangan makanan?
“Mana anaknya?” sosok yang bersuara tiba-tiba telah
beringsut di depanku dan Jack, dan yang tadi memanggil menunjuk dua anak
laki-laki yang berwajah agak mirip – sepertinya kakak adik. Dan salah satunya
telihat sangat familiar.
***
Hari ke sebelas. Menjelang Maghrib.
Aku dan Jack mulai melakukan operasi penyerbuan takjil
– lagi. Tak peduli bahwa makanan itu untuk orang-orang yang berpuasa. Tak
peduli pula, kami harus menyingkirkan anak-anak jalanan, anak-anak yatim piatu
bahkan yang lansia sekali pun. Sekali pun para duafa itu telah tak berdaya, dan
kami menyerobot uluran tangan orang lain yang ditujukan untuk mereka. Aku
sungguh, benar-benar tak peduli.
“Ada anak meninggal!” seorang perempuan yang
merupakan pemudi masjid tiba-tiba berteriak dengan keras. Wajahnya sangat panik
dan memucat. Membuat aku dan Jack yang baru saja mengambil takjil – berlebih
segera menoleh.
“Siapa yang mati?” tanya Jack, ketika seorang pemuda
masjid lewat membawa sebuah keranda.
“Nggak tau mas, anak jalanan daerah sini juga.
Sering ke sini, tapi pasti nggak dapet takjil karena udah kehabisan,” kata
pemuda masjid itu dan langsung berlalu pergi menghampiri sebuah tubuh pucat
dekat tempat sampah yang telah kaku, di sampingnya ada seorang anak lelaki yang
tengah menangis dan perempuan yang tadi berteriak. Segera saja, massa berpindah
tempat, mereka berbondong-bondong menuju tempat kejadian hanya untuk sekedar
melihat.
Aku dan Jack terpekur sebentar. Ada perasaan
mengganjil hinggap saat itu juga. Terlebih aku sendiri, karena sekarang ada
perasaan meletup yang tidak menentu.
Jack menarik lenganku, tapi tarikannya terasa lemah
dan seakan membelengguku. “Liat Bram?” ajaknya setengah ragu-ragu. Dan aku
hanya bisa mengangguk sambil mengikuti arah jalannya.
Sampai di sana, aku bisa melihat seorang anak
laki-laki yang tengah menangis pilu menggoyang-goyangkan tubuh yang telah
terbujur kaku. Dan betapa kagetnya aku melihat tubuh siapa yang telah kaku dan
memutih itu.
Badanku langsung panas dingin tidak menentu. Detakan
jantungku pun juga kacau. Pikiranku melayang pada bayang-bayang masa lalu.
Seperti sebuah kilasan pilu yang membuatku menelan getir.
Ya. Itu adalah anak kecil yang dua hari kemarin bersikeras tidak mau minggir
dari antrian walau aku mengancam sekalipun.
“Bang Zaen bangun bang, aku jangan ditinggal…”
terdengar tangis dari anak kecil yang satunya. Sama-sama lusuh. Sama-sama dekil
dan kumal. Tangan kurusnya berusaha menggapai tubuh kaku itu sambil terus menangis.
Sedangkan para pemuda masjid telah mengangkat mayat itu ke dalam masjid sebelum
membawanya ke rumah sakit terdekat. Bisa aku rasakan ada perasan yang pedih.
Entah karena apa. Dan bisa aku rasakan juga tangan Jack mereremas pundakku.
Mungkin Jack juga merasakan hal yang sama – terlebih ketika aku mendengar
tangisan anak kecil yang tidak kunjung berhenti walaupun puluhan massa berusaha
menenangkannya. Dia terus saja memanggil-manggil temannya yang telah tiada.
Dan itu semakin membuat sesuatu di dalam diriku
terkuak dan mengerak.
“Mbak, anak yang tadi meninggalnya gara-gara apa?”
tiba-tiba Jack bertanya, hal sama yang ingin aku tanyakan. Tapi sungguh, aku
sama sekali tidak berani bertanya.
“Kata adiknya, kakaknya udah lama nggak makan. Tiap
dapet makanan juga pasti dia kasihkan adiknya. Dia sering kok ke sini cari takjil
atau makanan buka gratis. Tapi sayang, pasti selalu habis.” kata perempuan itu
sambil membimbing anak kecil yang satunya lagi – yang ternyata adalah adiknya.
“Dia meninggal kelaparan?” tanyaku memberanikan diri
dan perempuan itu mengangguk.
“Sepertinya iya, soalnya mereka berdua anak yatim
piatu, nggak keurus, cari makan sendiri,” jawab perempuan itu sambil menunduk,
matanya tampak berkaca-kaca. “Kasihan mereka berdua, saya sendiri menyesal
kenapa takjil dan makanannya selalu kurang, selalu saja ada yang tidak
kebagian. Bukan hanya mereka saja, tapi yang lainnya,” ujarnya semakin membuat
perasaanku tidak karuan.
Perasaan yang dulu pernah aku rasakan. Tapi kini aku
lupa nama perasaan itu, karena sudah bertahun-tahun aku melupakannya.
Aku dan Jack langsung terdiam sambil sesekali
berpandangan. Ada perasaan pedih yang tak bisa kugambarkan karena aku tidak
pernah lagi merasakannya. Telah lama – sejak ibuku meninggal karena ulahku. Dan
kini, perasaan pedih itu terasa lagi.
Massa yang tadi berkumpul di sini, kini telah
berpindah tempat, berusaha tetap mendapatkan takjil.
“Adek jangan nangis, ya?” ucap perempuan itu sambil
mengusap kepala anak kecil itu pelan. “Mas bisa titip dia sebentar?” tanya
perempuan itu.
Aku sebenarnya tak sanggup, aku bahkan tak bisa
menatap wajah anak kecil itu. Tapi aku dan Jack tetap mengangguk. Dan dengan
anggukan persetujuan itu, perempuan itu pergi meninggalkan kami.
Aku diam, tak bisa berkata apapun. Ada perasaan
perih campur aduk yang ingin aku tebus –entah dengan apa.
“Bram…” suara Jack terdengar lirih dan bergetar.
“Gue nggak sanggup liat anak itu…” aku menghela napas mendengasnya, berat,“Sama,”
ujarku.
“Huhhuhuhu, abang kok ninggalin aku sendiri,
huhuhuhu… abang… jangan pergi,”
Rasa itu semakin bergetar dan semakin berontak
ketika aku mendengar tangisannya lagi. Yang makin pilu dan menjerit. Seakan
membungkam tiap kejahatan dan menerangi gelap yang lengah. Seakan iblis pun
luluh – sama seperti aku.
“Dek…” aku memberanikan diri memanggilnya dan ia
mendongak dengan ragu-ragu. Dengan tangannya yang kurus dan kumal dia mengusap
air matanya.
“Adek laper?” dia mengangguk cepat sambil mengusap
air matanya. Wajahnya tampak basah dan matanya merah. Ingusnya keluar bersama
dengan lelehan air matanya yang mengalir deras.
Dan kali ini, hal itu membuatku memanggil sesuatu
atau seseorang? Yang jelas hatiku berkata, ‘Ya Allah,’ untuk pertama kalinya
setelah sekian lama. Setelah aku berjanji tak akan mengucapkannya. Aku memang
bodoh mengucapkannya sekarang. Sungguh bodoh, mengapa tidak sedari dulu?
“Ini buat adek gak apa-apa,” kata Jack cepat sambil
memberikan jatah takjil. Aku pun mengikuti langkah Jack dan memberikan semua
takjil dan makanan yang aku punya. Anak kecil itu hanya menatap takjil itu
dengan wajah sumringah, wajahnya yang lusuh agak sedikit cerah setelah
menerimanya.
“Abang gimana?”
Tiba-tiba rasa perih itu kembali mendera, ketika dia
bertanya dengan polosnya. Perasaan yang pedihnya semakin menjadi-jadi.
“Abang ada kok,” jawabku.
“Nanti kalo udah bedug di makan ya?” Jack menimpali.
Dia mengangguk dengan senang tapi itu tak
berlangsung lama wajahnya langsung berubah menjadi keruh – lagi.
“Kenapa dek?” tanyaku hati-hati.
“Aku gak bisa makan kalo nggak sama Bang Zaen,”
Rasa perih, ngilu, nyeri, dan pedih itu tiba-tiba
berdenyut.
“Bang Zaen sebenernya lebih laper, tapi tiap dapet
makanan pasti dikasihin aku,” dia berkata dengan polosnya, membuatku ingin
menghantam diriku sendiri.
“Makanannya aku kasih Bang Zaen aja?” tanyanya pada
kami. Aku dan Jack bungkam. Dan aku semakin tahu rasa apa itu. Rasa campur aduk
di dada ini. Rasa yang telah lama aku lupa sejak ibuku meninggal.
Perasaan bersalah.
***
Suara adzan maghrib berkumandang. Aku dan Jack masih
duduk di tepi jalan, memandang langit yang sudah agak gelap dengan goresan
jingganya.
“Bram?” Jack memanggilku dengan suara paraunya. Aku
tak menjawab, tapi aku yakin tanpa menunggu jawabanku, dia akan tetap
berbicara.
“Puasa masih berapa hari lagi?”
“Sembilan belas,”
“Besok, kita puasa ya?” dia bertanya dengan
getaran-getaran pada gelombang suaranya.
Aku diam. Bibirku bergetar, ada yang meleleh di
pipiku. Dadaku bergemeretak serentak dengan azan yang bersenandung. Bergemuruh
semua luluh lantai sampai dada. Apalagi tiap asma-Nya dikumandangkan. Syahdu.
Dan dengan
perasaan nyeri aku berkata pada
Jack,”Ya, besok kita puasa,”
***
Hanya sebuah cerita lama, kalau tidak salah -- ditulis di akhir 2012 -- masa di mana aku masih beridentitas sebagai "Lamia Melodi" dan betul-betul menggemari menulis. Kini? Ah--
Oh ya -- dunia tidak semudah itu terbalik menjadi baik. Tapi yakinlah, suatu saat, dunia akan membaik...
Oh ya -- dunia tidak semudah itu terbalik menjadi baik. Tapi yakinlah, suatu saat, dunia akan membaik...
Comments
Post a Comment