[Kolom] Sepetak Lahan Kriminalisasi

via sekolahbersama.org


Sarijo tidak menyangka jika dirinya dituduh sebagai provokator dalam keributan konsultasi publik pembangunan Bandara di Gunung Kidul.  Saat  melihat kemarahan warga yang ingin menerobos Balai Desa, ia langsung maju ke depan untuk menahan warga. Tindakannya saat itu hanya diniatkan untuk meredamkan amarah warga. Akan tetapi, suara riuh keributan terdengar di belakang barisan warga sehingga warga pun tetap terprovokasi menyegel Balai Desa. Sarijo yang tidak mengetahui apapun mengenai provokasi tersebut akhirnya digelandang oleh kepolisian. Ia dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 160 KUHP.             
            Pelaporan Sarijo sendiri tidak jelas siapa yang melakukan. Pihak kepolisian berdalih tidak ingin mengungkapkan identitas pelapor semata-mata karena ingin melindungi saksi. Di satu sisi, tidak adanya kejelasan pelapor membawa persoalan baru. Kasus ini tidak hanya memperkeruh permasalahan pengalihan lahan untuk Bandara. Lebih dari itu, kasus ini adalah bentuk kriminalisasi petani. Situasi seperti ini mempertegas bahwa ada tindakan superioritas oleh pemerintah dan pemilik modal terhadap kaum inferior seperti petani.
            Berbekal kekuasaan, lazimnya orang-orang yang ingin mempertahankannya akan melakukan berbagai cara. Seperti yang dialami oleh Sarijo, ia adalah korban ketidakadilan hukum. Selain tidak adil, proses hukum yang diterimanya juga tidak jelas. Proses hukum yang sedang ia jalani memang sesuai dengan prosedur yang sudah ada. Sayangnya, proses hukum itu tidak berangkat dari kebenaran yang ada.
            Sarijo tidak pernah melakukan provokasi, apalagi memantik warga untuk berbuat brutal. Ia bahkan dengan sengaja memasang badan di hadapan ratusan warga agar mereka tidak terpantik emosi. Tidak disangka, aksinya ini malah berbuntut pada penahanan dan pelanggaran hukum.
            Penyebutan kriminalisasi kiranya sangat tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi pada Sarijo. Kriminalisasi adalah perbuatan yang dianggap kriminal untuk kepentingan tertentu. Jika dikaitkan dengan silang sengkarut persoalan pengalihan lahan untuk bandara, kriminalisasi itu jelas bertujuan untuk mengintimidasi petani. Tindakan penahanan Sarijo itu berorientasi pada suatu kepentingan untuk melancarkan tujuan para pemodal.
            Penahanan yang dilimpahkan kepada Sarijo oleh Kejaksaaan Negeri pun terkesan mengada-ada.  Alasan yang digunakan begitu subyektif dan memiliki tendensi memihak satu kepentingan saja. Padahal, sesaat setelah keributan terjadi, perbaikan Balai Desa langsung dilakukan. Kejaksaan pun terlihat terlalu berlebihan dalam menanggapi kasus ini. Kejaksaan sebetulnya tidak perlu terlalu khawatir karena Sarijo yang ditetapkan sebagai tersangka bersikap kooperatif untuk melakukan wajib lapor.
            Kriminalisasi terhadap petani di Indonesia tidak hanya sekali terjadi. Kasus Tukijo dan sejumlah petani di Indramayu pernah merasakan hal yang sama – dipenjara tanpa alasan yang jelas. Sialnya lagi, penahanan itu selalu berangkat dari keributan yang diasumsikan sebagai provokasi. Petani diduga sebagai provokator keributan dan digelandang begitu saja. Lucunya, kasus-kasus serupa ini hampir selalu dilatarbelakangi oleh konflik agraria, yaitu pengalihan lahan pertanian menjadi sektor yang lain.
            Pengalihan lahan itu selalu bertumpu pada bentrok antara kaum pemodal-pemerintah dan rakyat kecil seperti petani. Pengalihan lahan untuk pembangunan infrastruktur maupun perusahaan swasta selalu menguntungkan pihak pemodal dan pemerintah. Tidak pernah sekalipun, sebuah pembangunan memberikan keuntungan kepada rakyat kecil. Pengalihan lahan pertanian selalu berujung pada kriminalisasi. Berkaitan dengan pengertian kriminalisasi ini, jelas sudah bahwa penahanan para petani semata-mata dilakukan untuk melancarkan kepentingan.
            Hukum sepertinya tidak dapat berlaku adil jika menyangkut kepentingan feodal-kapitalistik. Masyarakat kecil digiring menjadi korban sekaligus tersangka. Seolah-olah pihak yang mengeruk lebih banyak kapital adalah korban. Ragam provokasi yang selalu menjadi alasan penahanan yang disebut-sebut lembaga hukum pemerintah sebagai tindakan yang brutal dan anarkis.
            Jika dicermati lebih lanjut, penahanan para petani itu terlihat sistematis dari satu kasus dengan lainnya. Serupa tapi tak sama, tetapi terakumulasi pada satu titik yang sama, yaitu persoalan agraria. Penolakan terkait konflik agratia – entah siapa yang menggiring – selalu berbuntut keributan yang diduga akibatnya adanya provokasi. Ujungnya, petani yang menolak pengalihan lahan dituduh sebagai provokator dan dikriminalisasi begitu mudahnya.
            Pada kasus Kulon Progo, pihak  Izin Pembangunan Lahan (IPL) seolah menulikan diri terhadap penolakan ratusan petani. Proses hukum pun bukan hanya tidak adil, tetapi tidak jelas. Tidak jelas menggunakan hukum siapa dan apa – apakah hanya sebatas “hukum” yang dirumuskan secara insidentil untuk melegalkan pelanggaran dan melanggengkan ketidakbenaran. Atau malah, hukum bisa jadi lebih kejam lagi; penggunaan hukum rimba yang menganut paham penindasan superior kepada inferior.


            Lebih tidak jelasnya lagi, hukum semakin kacau dalam memihak kebenaran. Jelas sudah, kekacauan hukum agraria di negeri ini. Siapapun yang memiliki kuasa atas orang lain akan memegang kendali. Seperti halnya dengan berbagai kasus kriminalisasi petani. Sebab, orang-orang yang bermain di balik layar drama hukum agraria di Indonesia mengetahui betul petani tidak akan memberikan untung apapun. Mereka hanya wong cilik yang bercocok tanam. Sementara, kaum pemodal akan memberikan “sedikit” retribusi untuk janji kemenangan di putusan pengadilan nantinya. Selama itu terus terjadi, petani hanya akan mendapat sepetak lahan kriminalisasi – bukan lahan pertanian untuk beroccok tanam.


***

Hanya sebuah opini dangkal mengenai kriminalisasi petani yang dibuat untuk kepentingan tugas.

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan