Johana


Muka gadis itu bulat dengan poni rata menutupi dahinya. Rambutnya lurus, hitam, dan dipotong sebahu. Meski matanya sipit, manik matanya kelihatan bulat dan bercahaya. Gadis cilik itu memang keturunan Cina. Tetangga – baru yang belakangan ini aku kenal. Usianya sembilan tahun dan mencintai skuternya. Dia sering berlalu lalang di depan rumah dengan skuternya. Setiap aku panggil, dia cuman tersenyum dan tetap asyik mengendarai skuter kesayangannya. Aku biasa memanggilnya Jo. Nama panjangnya Johana. Pertama kali berkenalan, aku pikir gadis cilik itu akan sangat pendiam. Tapi ternyata tidak, ia mirip ibunya – yang suka sekali menceritakan banyak hal. Sama seperti ketika kami duduk berdua sembari menikmati malam yang dingin karena hujan turun dengan sangat deras.
Aku hanya bertanya, “Jo… Johana… Kalau kakak manggil Johana kok kepanjangan ya. Teman-teman kamu biasanya manggil apa?”
Sebelum menjawab – Jo selalu tersenyum lucu sembari memperlihatkan lesung pipinya. Matanya ikut tersenyum. Melengkung ke atas. Meski manik matanya yang hitam itu tetap terlihat bulat dan berbinar. “Aku biasa dipanggil Jo,” jelasnya. “Tapi tapi tapi… kalau sahabat sejatiku manggil Aku Jorif,”
“Jorif? Darimana?” aku bertanya penasaran. Ia tersenyum lagi. Betapa mudahnya. Betapa mudahnya ia mengulas senyum berkali-kali.
“Itu singkatan nama panjangku. Sahabat sejatiku yang membuatnya,” jelasnya – masih memberikan penekanan dengan istilah ‘sahabat sejati’. Yang kadang membuatku geli sekaligus tersenyum-senyum sendiri. “Lalu…” ah, bocah ini belum selesai bicara. “Aku manggil dia Anput. Nama aslinya Angki. Aku juga bikin singkatan dari nama panjangnya,” dia tertawa. Matanya menerawang ke atas. Sembari mengingat-ingat sahabat sejatinya. Seolah-olah senang sekali. Begitu bahagia. Dan sebagai orang dewasa – yang tak dewasa-dewasa amat – yang tak terlalu matang juga, aku tak pernah bisa memahami apa yang begitu membahagiakan bagi Jo – tentang ia dan sahabat (sejatin) nya yang membikin nama panggilan khusus satu sama lain.
Aku ikut tertawa. Mesti terdengar begitu wagu. Tetapi aku benar-benar berusaha ikut tertawa setulus mungkin. Meski ternyata aku tak bisa melakukannya.
“Kalian berteman sejak dulu?”
Jo mengangguk – ceria.
“Dari playgroup,”
“Wah, lama ya…! Jo sering main dengan Angki?”
Ia mengangguk lagi. Masih ceria.
“Aku biasanya main sama Angki di depan rumah. Dia kan punya sepeda. Aku punya skuter. Kadang kita tuker-tukeran,”
“Waah! Keren. Lalu biasanya main apalagi?” sungguh. Aku merasa begitu manipulatif saat mengatakan ini. Aku merasa menipu diri sendiri. Seolah-olah aku benar-benar tertarik dengan cerita Jo. Aku hanya simpatik dengan Jo karena dia duduk sendirian sambal menanti ibunya yang sedang mengurus makanan untuk tamu. Ternyata, aku nggak bisa nyambung-nyambung banget sama Jo. Meski aku masih berusaha. Dan meski aku merasa sangat manipulatif di depan seorang anak kecil.
“Kita paling suka main detektif-detektifan,” aku melihat mata Jo berbinar senang. Terpancar kebahagiaan dari sana.
“Detektif? Gimana tuh mainnya?” kali ini aku benar-benar antusias. Aku tidak berbohong. Ucapan Jo memancing rasa penasaranku.
“Kalau ada orang lewat…” aku menatap mata bulatnya yang berbinar. “Kita sembunyi!” soraknya senang.
Sementara aku terdiam. Dan suara tawa Jo terbahak begitu membahana. “He-he-he,”
“Oh…” aku bergerak canggung. Menggaruk leher yang tidak gatal. “Sembunyi ya Jo… he-he-he…”
“Iyaaaaaaaa!!!!!!”
Aku ingin ikut bersorak mendengarnya. Tapi aku tidak bisa. Apa yang menyenangkan dari bersembunyi dari orang yang lewat?
“Terus selain sembunyi dari orang, ngapain lagi?”
“Kalau orangnya mendekat… kita lari!!! He-he-he…”
“He-he-he…”
Suasana makin canggung. Aku tak tahu harus ngomong apa. Jo kelihatan bahagia. Begitu senangnya dengan permainan detektif-detektifannya. Kelihatan begitu bahagia. Sangat bahagia. Meski aku tak bisa memahami apa yang membuatnya benar-benar bahagia. Apakah yang membahagiakan dan memabukkannya dalam kesenangan ketika kita bersembunyi dari orang lain dan lari ketika didekati? Bagi Jo, itu adalah permainannya. Ia seorang detektif.

Tapi bagiku?
Hm. Jo. Johana. Apa harus aku panggil Jorif? Tapi itu panggilan khusus dari sahabat sejatimu. Kira-kira Anput bakal melarang nggak ya?
Jo. Johana.
Aku juga ingin bersembunyi Jo. Juga ingin lari. Lari dari semua ini.


 ***
Kemarin malam dan pertemuan dengan Jo tatkala ngurusin PKK bersama  Ibuk di lingkungan yang baru – yang cukup asing.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan