Mengambil Jarak dari Keramaian


 
sumber : link


Waktu itu baru menuju tengah malam ketika mobil terus bergerak menuju utara Bali setelah sebelumnya menjemput kami di pelabuhan Gilimanuk. Suasana pelabuhan Gilimanuk tadi begitu Hanya ada beberapa penjaga dan pedagang asongan yang nyaris tertidur karena tak juga kedapatan pelanggan. Suasana begitu gelap – seperti malam-malam biasanya. Bukankah malam memang tak pernah tidak gelap? Malam selalu begini, tidak pernah berubah sekalipun. Meski begitu, tetap banyak yang mencintainya. Mencintai sesuatu yang konstanta: sebuah ketetapan.

Aku bisa merasakan jalanan Bali yang lebih manusiawi dibandingkan jalan provinsi antara Magelang dan Yogyakarta. Semua itu menyebabkan kantukku bertambah. Sesekali, untuk menghilangkan rasa kantuk yang sebetulnya sudah aku tebus di atas kapal, aku melihat kanan dan kiri jalan yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Kata seorang pria yang menjemput kami di pelabuhan tadi, tempat yang tengah kami lewati ini adalah daerah konservasi hutan. Kalau kami melewatinya di pagi atau siang hari, tentu saja pemandangannya tidak akan semenyeramkan ini. Sayangnya, kami berempat – minus Bli Putu (nama pria yang menjemput kami) memang ditakdirkan untuk menikmati pinggiran pulau Bali di tengah malam begini. Kereta kami yang berangkat dari Yogyakarta menuju Banyuwangi memang baru sampai pukul sembilan malam. Perjalanan empatbelas jam di kereta ternyata cukup melelahkan. Apalagi, dengan uang yang papasan, kami memilih kereta ekonomi yang sempit dan agak pengap.

Ketika kami sampai di tanah Banyuwangi, kami berempat berjalan sekitar duaratus sampai tigaratus meter untuk mengejar kapal feri di pelabuhan Ketapang. Hari itu – sebetulnya – tidak ada alasan khusus mengapa aku memutuskan untuk mendaftar sebagai relawan salah satu festival terbesar di Ubud. Mungkin bermaksud ingin pergi dan meninggalkan apa saja yang ada di Yogyakarta dan menepi di pulau seberang – meski hanya sepuluh hari. Atau memang – saat itu – aku memang harus pergi. Sudah waktunya pergi. Setelah sebelumnya menetap dan mengendap di suatu tempat sampai merasa begitu sumpek. Seolah memang harus ada jarak untuk menebus rindu yang disandera kesunyian. Mungkin memang telah tiba untuk menepi sejenak – mengambil jarak dari keramaian dan kebisingan yang telah menjelma jadi rutinitas.

Aku tidak punya saudara di Bali sebenarnya. Pengetahuanku tentang pulau yang baru aku kunjungi dua kali (minus perjalanan menuju Ubud) sangatlah minim. Saat itu, aku hanya berpikir untuk pergi agak jauh dengan uang yang tak seberapa. Ini bukan sebuah vakansi – tetapi cuman sekadar hasrat ingin bertemu dengan orang-orang yang berbeda. Tentu saja, misi ini dilakukan untuk menghapus seluruh rutinitas yang sempat aku lakukan di Jogja. Kalian bisa menyebutku aneh karena selalu tak punya tujuan yang jelas. Jika aku pergi, maka aku benar-benar pergi.  Kadang-kadang yang aku butuhkan hanya uang yang banyak saja. Agar tetap merasa aman di sepanjang jalan. Setidaknya, jika aku menyempatkan diri lagi untuk kabur, sesekali, aku bisa bermalam di hotel yang cukup mahal.

Kali pertama mengetahui aku dinyatakan lulus sebagai relawan, aku langsung kelimpungan mempertanyakan soal dana. Tiket kereta sampai Banyuwangi dan naik kapal feri memang cukup murah. Tetapi, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan setelah sampai di Gilimanuk. Saat kebingungan seperti itu, aku menemukan penawaran menarik dari seorang bule yang sudah  cukup lama tinggal di Kalisada, salah satu desa di utara Bali. Melalui akun facebooknya, ia menulis di dinding grup facebook relawan jika ia menawari tumpangan dari Gilimanuk sampai Ubud.

Aku langsung tertarik. Menurutku, ini kesempatan emas untuk berhemat. Aku langsung mengontaknya, mengatakan padanya bahwa aku berniat untuk bergabung dengannya. Tentu saja dengan nada memelas bahwa aku tak pernah ke Ubud sebelumnya. Dan aku tak pernah menyangka akan dipertemukan oleh sepasang suami istri yang begitu hangat.

Saat kami berempat mulai ketakutan karena mobil melaju menuju rerimbunan semak-semak, salah satu dari kami khawatir jika ini adalah penipuan. Dan kami juga juga sempat was-was meski Bli Putu tidak akan mungkin sejahat itu. Wajahnya sangat lembut dan sering tersenyum. Jika kami semua terdiam di mobil karena menahan kantuk sekuat tenaga, beliau akan menceritakan hal-hal menarik soal Bali. Segala sesuatu hal yang tidak kami ketahui. Melalui ceritanya, aku mempercayainya dengan sepenuh hati.

Dan benar, mobil berhenti di depan sebuah rumah pavilion sederhana. Ada jalan setapak yang disusun oleh batu-batu besar dan kecil, serta air mancur kecil di kanan-kiri jalan itu. Lampu-lampu berwarna kuning yang dipasang di sudut-sudut taman menerangi kami waktu itu. Meski tiba-tiba dua ekor anjing menyalak keras dan mendekati kami dengan beringas tatkala kami mulai beramai-ramai menurunkan barang bawaan dari bagasi mobil.

Seorang perempuan kemudian muncul – sedikit berteriak kepada anjing-anjingnya agar lebih ramah. Ketika melihat ke arah kami, perempuan itu tersenyum. Lynda namanya. Bule yang menawarkan tumpangan dari Gilimanuk menuju Ubud. Wajahnya Nampak sudah tua tetapi aku merasa ia berpuluh-puluh tahun lebih muda dari usia sesungguhnya. Warna rambutnya kala itu agak kemerahan dan dipotong cepak seperti laki-laki. Ia tidak sendiri, di belakangnya lagi, ada seorang pria bule yang lain, Glenn namanya. Keduanya memberikan kami sambutan yang begitu ramah. Mereka sengajakan untuk menunggui kami sampai begitu larut. Lynda waktu itu dengan sesegera mungkin menyiapkan the hangat dan memanaskan sup tomat dan jamur yang khusus dibuatnya untuk kami.

Kami ngobrol begitu banyak dan langsung cepat akrab. Ada banyak hal yang aku tahu dari sepasang suami istri dari London ini. Mereka telah tinggal di Indonesia selama kurang lebih delapan tahun. Visa mereka sudah hampir habis dan mereka mesti membuat yang baru. Keduanya adalah pensiunan pekerja kantoran yang sehari-hari menanggapi kemacetan kota seestetik London. Anak-anak mereka telah tinggal di penjuru dunia, yang paling dekat, katanya tinggal di Australia. Aku berusaha menangkap semua yang dibicarakan oleh Lynda. Meski, logat bahasa inggrisnya sangat sulit kuterjemahkan. Malam semakin larut, hingga kami akan beranjak ke kamar masing-masing, aku mendadak terdiam. Sambil mengamati sekelilingku. Rumah yang mereka tinggali begitu sunyi… tapi sangat hangat.

***
“So, do you want to live here forever? Or you want to go back to England?” aku bertanya pada Lynda pada pagi harinya. Wajahnya berkerut. Ia seolah berpikir cukup keras meski hanya beberapa detik.

“No, I will stay here,” dia menyeruput kopi hangatnya. Lalu mengambil sebungkus rokok di depannya, mengambil satu dan kemudian menyulutnya cepat. Ia meniupkan asapnya ke udara. “I love this place. I like Bali,” ujarnya sambil tersenyum merekah.

Aku terdiam cukup lama. Sama sekali tidak bisa mencerna sekaligus menerjamakan perasaan Lynda saat ini. Tentu saja, bagaimana pun, tahu sama tahu hanya bisa melalui mata dan telinga. Kalau sudah berkaitan dengan hati. Mana aku tahu. Hanya saja, aku tidak mengerti mengapa Lynda bisa begitu mencintai Bali dan tidak memiliki niatan untuk kembali ke Inggris. Hei, siapapun mencintai Inggris dan ingin berkunjung ke sana. Aku salah satunya, meski semuanya begitu jauh di angan. Sudah begitu, apa sih yang bisa dicintai dari sebuah keterasingan. Lynda dan Glenn adalah sepasang suami-istri bule dari Inggris yang tinggal di Bali. Tempat ini seharusnya begitu asing bagi mereka. Mereka begitu berbeda dari ratusan warga yang tinggal di Kalisada. Mereka tidak bisa berbahasa Indonesia apalagi bahasa Bali. Garis batas antara mereka dan masyarakat asli Bali sangat kentara. Mereka pasti mengalami berbagai macam kesulitan ketika pertama kali melebur bersama orang-orang di sini. Namun, delapan tahun bukan waktu yang sedikit untuk menjadi orang yang menikmati kesakitan sekaligus keterasingan. Mereka benar-benar mencintai Bali.

Delapan tahun telah mereka lewati dengan berbagai suka dan duka. Mereka berteman akrab dengan sepasang suami istri yang tinggal tak jauh dari rumah mereka. Anak-anak suami istri asli Bali itu begitu dekat dengan Lynda dan Glenn. Terutama Adi, bocah lelaki berusia empat tahun yang selalu menempeli Glenn kemana pun ia pergi. Semuanya, selama delapan tahun, telah mereka lewati dengan perasaan yang menggelegak. Dulu, sekitar lima tahun yang lalu, rumah mereka di Kalisada pernah terbakar.

“All on fire. I lost everything,” ujarnya cepat meski tidak terlihat raut wajah sedih di sana. Katanya, rumahnya lebih besar daripada yang kami singgahi sekarang ini. Model rumahnya pun tertutup. Tidak terbuka seperti beberapa ruang di rumahnya.

Selepas pensiun dan memilih tinggal di Bali, aktivitas keduanya hanya diisi mendengarkan radio dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Sewaktu kami berangkat ke Ubud, Lynda dan Glenn dengan ramahnya menyapa setiap orang yang mereka temui di jalan. Mungkin sadar jika mereka adalah dua orang asing yang mesti berdamai dengan setiap perbedaan. Atau mereka memang menikmati berbaur dengan keterasingan. Keduanya membangun perpustakan kecil untuk anak-anak di tengah desa. Mereka membuat system peminjaman yang begitu praktis dan sederhana.

“I have library. For children,”

“Wow! It’s good! Where is the place? Can we go there?”

“It’s near from here. And yea, you can go to that place. So many children. I love it,”

Kecintaannya terhadap buku-buku itu juga ia buktikan dengan mengikuti kegiatan relawan di salah satu festival di Ubud. Ia telah menjadi relawan pada festival itu sebanyak lima kali.

Dua orang ini, Baik Lynda maupun Glenn adalah dua orang asing yang tengah menjaga jarak dari keramaian. Keramaian yang pernah mengikat mereka di Inggris. Kerja-kerja kantoran yang begitu melelahkan. Kini, aku melihat bagaimana mereka mencintai semua jarak yang telah mereka ciptakan. Mengasingkan diri dalam kesunyian. Mengundurkan diri dari segala keramaian dan ritual-ritual yang biasa mereka jalani di Inggris. Menghabis masa tua bersama di tempat yang asing.

Aku selalu terpana ketika melihat keduanya hanya duduk terdiam sambil menikmati malam yang dingin di pojok utara Bali. Lynda jauh lebih banyak berbicara. Pun juga tentang merokok. Lynda jauh lebih sering melakukannya. Kadang-kadang Glenn hanya terdiam menyimak. Meski kadang ia melontarkan cerita-cerita lama yang tentu saja tidak aku mengerti. Di antara desau angin pantai yang terus mengudara, suara katak yang bersahut-sahutan, juga dengung doa-doa yang terdengar dari masyarakat  Hindu yang bersembahyang – keduanya asyik bercengkrama.

Aku selalu ingat bagaimana Lynda melemparkan lelucon-lelucon tentang Glenn yang terus menua dan sedikit demi sedikit mulai melupakan barang-barang yang ia letakkan. Lynda selalu tertawa ketika Glenn mencari kacamatanya tanpa memberitahu Glenn bahwa ia tengah mengenakannya. Dan aku ingat bagaimana Glenn tetap memberikan kejutan kecil bagi Lynda seperti makan malam berdua di hari ulang tahunnya.


***


Setelah tua nanti, selepas berlelah-lelah bekerja, kita mesti pensiun secepatnya ya, Mas. Lalu, mengasingkan diri seperti ini. Mengambil jarak dari keramaian yang selalu kita pungut di jalan-jalan yang kian hari kian macet. Jangan lupa banyak-banyak menabung di masa muda. Biar kita tetap bisa makan malam berdua. Mungkin di bibir pantai atau di leher gunung. Di mana pun, tentu saja, asal bersamamu. Anak-anak kita, biarlah mereka berkeliling dunia juga. 

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan