FILM: Eksistensi dan Peran Perempuan terhadap Kemajuan Dunia Perfilman Indonesia (1)
Film
sebagai salah satu bagian dari media massa tentunya memiliki fungsi dalam
memberikan pesan kepada penontonnya. Sampai saat ini, film-film yang beredar
tentunya memuat ide dan gagasan dari pembuatnya. Ada beberapa faktor yang dapat
dikategorikan untuk menentukan tujuan dibuatnya film tersebut. Dalam hal ini,
kita dapat menyebutnya sebagai perspektif.
Seorang sutradara tentunya tidak
begitu saja meninggalkan perspektif atau cara berpikirnya akan suatu hal dalam
pembuatan sebuah film. Bahkan, beberapa sutradara memiliki idealisme bahwa film
yang ia buat adalah representasi dari ide dan gagasan yang ia sampaikan. Dalam hal
ini, kita dapat melihat bahwa pesan dari sebuah film baik eksplisit maupun
implisit dipengaruhi dari latar belakang sutradara yang bersangkutan.
Di antara semua latar belakang
dan status sosial tersebut, gender menjadi salah satu latar belakang perbedaan
perspektif dalam menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah film. Apalagi jika
dalam film tersebut, sang sutradara merasa memiliki otoritas dan harus
mengedepankan kepentingan gagasan, ide, dan asumsinya akan suatu hal. Film
menjadi sebuah representasi konkrit dari apa yang sesungguhnya ingin
disampaikah oleh seorang sutradara.
Kita ambil contoh seorang
sutradara laki-laki dalam menggambarkan perempuan dalam sebuah film. Laki-laki
dalam hal ini jika pendidikannya akan gender dan seks masih kurang, akan menempatkan
perempuan sebagai obyek semata. Terlepas dari semua itu, perempuan adalah
‘bumbu’ sebuah film. Apalagi perempuan yang seksi dan sensual. Tokoh sentral
dalam sebuah film selalu mengutamakan laki-laki. Representasi laki-laki dalam
film itu sendiri pun selalu bersifat positif. Budaya patriarki yang telah
mendarah daging melekat dalam perspektif sutradara dan memberikan gambaran
tersebut ke dalam film.
Dalam hal ini, kita memerlukan
perspektif baru terhadap perempuan di dalam film. Harus ada perempuan yang
dapat menempatkan perspektif perempuan sebagaimana apa yang diinginkan
perempuan (dan bukan laki-laki). Perspektif ini lagi-lagi biasanya dibawa oleh
sang sutradara. Di Indonesia sendiri – sebagai negara yang budaya patriarkinya
kental, masih minim sutradara perempuan. Adapun sutradara perempuan yang
berhasil terjun ke dunia perfilman adalah mereka yang memiliki saudara atau
relasi di dunia perfilman. Sekali pun muncul, sutradara perempuan pasti
perempuan jaringan, baik suami, atau saudara yang sudah terlebih dahulu masuk
ke dunia film.Sebutlah Djenar Mesa Ayu yang memiliki seorang ayah sutradara
yaitu Sjuman Djaja. Sama halnya juga dengan Kamila Andini, putri dari Sutradara
Garin Nugroho. Hal ini mengukuhkan bahwa
eksistensi sutradara perempuan masih belum diakui sepenuhnya. Padahal
kontribusi sutradara perempuan terhadap perfilman Indonesia, baik film arus
utama maupun independen sangatlah besar.
Untuk melihat kontribusi
sutradara perempuan di Indonesia, kita dapat meninjau rekam jejak sutradara perempuan
dari masa ke masa. Khususnya eksistensi mereka sebelum dan sesudah Orde Baru. Era
Orde Baru disebut-sebut sebaga rezim yang menakutkan. Hantu Breidel saat itu
bergentayangan di mana-mana – termasuk pembreidelan terhadap film. David Hanan dalam diskusi public lecture “Women Perspective on Cinema”[1]
mengatakan bahwa sebelum era Orde Baru, film perempuan yang diproduksi oleh
perempuan kurang laku di pasaran. Maka dari itu, untuk mengatasinya para
pembuat film perempuan mulai mengadopsi persepsi peran laki-laki terhadap
pembuatan film, sehingga film yang diproduksi dapat bersaing di lapangan.
Sebagai contoh, pengadopsian peran laki-laki tersebut melalui adanya kolaborasi
dalam pembuatan film terkait dengan jumlah peran laki-laki maupun perempuan
dalam peran sebagai produser, sutradara, dan lain lain.
Padahal, kontribusi perempuan dalam
produksi film di Indonesia dapat dikatakan signifikan. Adapun, sutradara
perempuan memberikan warna dan perspektif baru tentang perempuan sebagai subyek
di dunia produksi perfilman. Kondisi perfilman di Indonesia sendiri mengalami
perubahan sebelum dan sesudah Orde Baru. Hal ini terkait dengan regulasi
perfilman dan rumitnya birokrasi badan produksi perfilman.
Pada era orde baru film yang
ditayangkan harus menggambarkan citra postif pemerintah, maka setelahnya muncul
beberapa film yang membawa ‘suara marjinal’ ketayangan layar lebar.[2]
Namun, sebelum kebebasan tersebut diterima masyarakat Indonesia, maka para
sineas orde baru berinisiasi membuka
pasar segar bagi penikmat film Indonesia berupa tema-tema seksualitas dan kehidupan
masyarakat perkotaan Jakarta. Dalam buku Katalog Film Indonesia tahun 1926-2007
karya JB Kristanto (2007) ditemukan beberapa daftar film yang menyuguhkan
tema-tema di atas. Sebut saja beberapa film seperti Godaan Cinta dan Godaan
Membara tahun 1994, Bebas Bercinta, Cinta Terlarang, Gairah dan Dosa tahun
1995, dan deretan film lain berjudul serupa sampai dengan akhir tahun 1999.
Setelah tumbangnya orde baru, tema-tema perempuan mulai bergeser dari tema
seputar kenikmatan ke tema yang lebih berani memunculkan ‘suara marjinal’ yaitu
perempuan yang terpinggirkan.[3]
Penjabaran di atas adalah
hal-hal yang perlu diketahui terkait penggambaran perempuan dalam film. Di mana
perempuan dijadikan sebagai nilai jual dalam film. Baru setelah rezim orde
baru, mulai bermunculan film-film ekspresif. Dalam hal ini, kita perlu melihat
pula – sebenarnya seberapa banyak sutradara perempuan yang berkecimpung dalam
dunia film di Indonesia sebelum Orde Baru. Sejarah mencatat bahwa pada era
sebelum kemerdekaan hingga hingga orde baru setidaknya tercatat hanya 4
sutradara perempuan yaitu Ratna Asmara, Citra Dewi, Ida Farida, dan Sofia WD. Sedangkan menurut temuan penelitian yang
dilakukan oleh Novi Kurnia[4]
melalui tesisnya terhadap 28 sutradara perempuan, ada enam sutradara sebelum
tahun 1998 yakni: Ratna Asmara, Roostijati, Chitra Dewi, Ida Farida, Sofia WD,
dan Rima Melati. Keenam sutradara tersebut kebetulan memiliki suami, maupun
hubungan kerabat dengan keartisan maupun produser, hanya Ida Farida saja yang
memulai karinya tidak dari kedekatan dunia keartisan, melainkan sebagai asisten
sutradara.[5]
Saat itu relasi perempuan dengan
sutradara laki-laki yang sudah terjun ke dunia perfilman sebelumnya memberikan
peluang dan ruang yang lebih lebar bagi mereka untuk masuk ke dalam sana. Dari
sini, kita bisa melihat, selain film-film yang menggambarkan perempuan sebagai
obyek. Rezim pemerintahan ini yakni kombinasi kejawen, sekularisme,
militerisme, bapakisme dan pembangunanisme serta kepribumian,[6]
mempersempit ruang perempuan dalam mengeksiskan dirinya di dunia perfilman.
Selain itu pula, sebelum 1998 isu-isu yang berkaitan dengan etnis Tionghoa
sangat sensitif. Perjuangan untuk membebaskan diri dari dikotomi dan stereotip
tersebut bukan hanya tertuang dalam film saja, tapi juga pada pelaku film itu
sendiri yaitu sutradara.
Akan tetapi, setelah era
reformasi hingga sekarang setidaknya terjadi peningkatan jumlah sutradara
perempuan yang saat ini mencapai lebih dari 22 orang. Jika diprosentasi, JB
Kristanto dalam buku katalog film Indonesia mengalkulasikan pada tahun
1998-2008 terdapat 14,28 % sutradara perempuan di Indonesia.
Pasca Orde Baru (1998-2010),
terdapat 52 film dari total 405 film arus utama yang disutradai oleh perempuan.[7]
Sedangkan total film independen kategori fiksi berjumlah 535 yang diproduksi
antara 1998-2008, 115 di antaranya disutradai oleh perempuan. Untuk kategori
film dokumenter, 20,90 % (51 film dari total 193) disutradai oleh perempuan.
Adapun sutradara perempuan film independen saat ini mencapai jumlah 85 orang
dari total 467.[8]
Dalam penelitiannya Novi Kurnia
menyebutkan bahwa sutradara perempuan Indonesia ternyata lebih maju dibanding
dengan negara lain. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penghargaan film
dengan sutradara perempuan yang diperoleh oleh Ratna Asmara tahun 2004 (Sedap
Malam), sedangkan di luar negeri baru tahun 2010 oleh Magelo di Hollywood.
Untuk melihat seberapa besar
kontribusi perempuan setelah era 1998, kita perlu merunut karya-karya sutradara
perempuan baik dalam film arus utama maupun independen. Adapun, perlu
digarisbawahi pula, pasca runtuhnya rezim Orde Baru, perfilman Indonesia
kembali bangkit. Dalam proses kebangkitannya, beberapa sutradara perempuan
mengambil andil sekalipun mereka masih harus bekerja sama dengan laki-laki.
Sebutlah Film Kuldesak, yang sukses menjadi Bapak[9]
Perfilman Indonesia. Film omnibus pertama di Indonesia ini berhasil kembali
mengangkat perfilman Indonesia yang tengah mangkrak. Dalam penggarapannya,
terdapat dua sutradara perempuan yaitu Nan T. Achnas dan Mira Lesmana.
Nia dinata |
Bergerak dari sana, perfilman
Indonesia semakin mengalami peningkatan. Sutradara-sutradara perempuan mulai
bermunculan. Film-film mendapatkan napas kebebasan berkeskpresi. Beberapa film yang disutradarai perempuan
pasca 1998 di antaranya Cau Bau Kan (2002) yang digarap apik oleh Nia Dinata.
Karya Nia yang lain adalah Arisan! (2003) yang sukses mendulang penghargaan.
Mira Lesmana |
Perfilman Indonesia memasuki
tahun 2000-an juga diramaikan oleh orang-orang dari beragam latar belakang
profesi yang menjajal penyutradaraan film, tak terkecuali kaum perempuannya.
Sekar Ayu Asmara misalnya, yang sebelumnya dikenal sebagai pencipta lagu, telah
sukses melepas tiga judul film garapannya, yaitu Biola Tak Berdawai (2003) yang
didaftarkan sebagai wakil Indonesia dalam Oscar 2004, drama psikologis Belahan
Jiwa (2005), serta Pesan dari Surga (2006).
Selanjutnya dalam 9808: Antologi 10 Tahun
Reformasi, beberapa sutradara perempuan ikut serta dalam mengisi slot film yang
digarap oleh mereka. Mereka adalah Anggun Priambodo (Di Mana Saya?, 2008); Ariani Darmawan (Sugiharti Halim, 2008), film
ini menceriterakan protes seorang perempuan etnis cina yang harus mengganti
namanya dari nama Cina menjadi nama Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan Keppres
nomor 127/U/Kep/12/1966 mewajibkan WNI etnis Cina mengadopsi nama Indonesia yakni
Liem menjadi Halim.
Selain itu ada juga Otty
Widasari (Kemarin, 2008). Ini merupakan film yang memotret mantan aktivis yang
melihat hidup hanya sebuah proses biasa; masa muda, bersenang-senang,
perkawinan dan menjadi orang tua. Tak ada yang istimewa sejak reformasi selain
proses kehidupan yang berjalan tersebut. Terakhir ada Ucu Agustin yang
menggarap film Belum Usai (2008). Film garapan Ucu Agustin ini merupakan kisah
perjuangan Sumarsih, ibu Wawan, korban tragedi Semanggi I. Sumarsih tak henti
menuntut keadilan lewat jalur hukum maupun hingga aksi damai.
Selain itu, ada Nan T. Achnas,
salah satu sineas perempuan Indonesia yang banyak disorot pada awal dekade
2000-an, terutama karena pengakuan internasional yang didapatkannya. Salah satu
sutradara film Kuldesak (1998) ini sukses membawa film panjang perdananya,
Pasir Berbisik (2001) di festival-festival film internasional. Bahkan, film ini
menerima beberapa penghargaan di Deauville (Prancis), Singapura, dan tiga
penghargaan dalam Asia Pacific Film Festival 2001 di Jakarta.[10]
Karya-karya Nan selanjutnya adalah Bendera (2002), drama The Photograph (2007)
yang mendapat penghargaan internasional, seperti NETPAC Award dalam Taipei
Golden Horse Film Festival 2008 serta dua penghargaan di Karlovy Vary
International Film Festival 2008 di Republik Ceko.
Selain itu, kemunculan sutradara
yang unik seperti Upi (dahulu Upi Avianto) menjadi warna tersendiri dalam dunia
perfilman. Sebab, karya-karyanya banyak berkarakter maskulin, rebelious, dengan
hiasan visual vintage dan musik yang keras (Kecuali 30 Hari Mencari Cinta yang
rilis tahun 2003). Tengok saja ‘Realita, Cinta, dan Rock n Roll’ (2005), Radit
dan Jani (2008), Serigala Terakhir (2009) serta film komedi-lagia Red Cobex
(2010) dan sebuah film thriller
Belenggu (2013), yang juga sempat ikut serta di Puchon (Bucheon) International Fantastic Film Festival
2012.
Jika membicarakan kuantitas,
maka Lasja Fauzia Susatyo merupakan salah satu nama yang sering terdengar.
Sutradara yang mengawali karier di bidang video musik ini telah menyutradarai
enam film, sebagiannya berhubungan dengan musik, selain terlibat dalam dua film
omnibus Perempuan Punya Cerita (2007) dan Kita versus Korupsi (2012). Beberap
contoh karyanya yang lain adalah Lovely Luna (2004), Dunia Mereka (2006),
Langit Biru (2001) dan Mika (2013).
Viva Westi, salah seorang
sutradara perempuan yang memiliki ragam teman dan genre dalam filmografi dI
Indonesia. Ia menciptakan berbagai genre film tanpa berfokus pada salah satunya.
Langkah Viva sebagai sutradara dimulai cukup menjanjikan ketika bergabung
dengan Garin Nugroho dalam dokumenter tentang dampak tsunami Aceh, Serambi
(2005), yang sempat masuk segmen Un
Certain Regard di Festival Film Cannes 2006, Prancis. Namun, rupanya Viva
juga sempat mencoba “ikut arus” dengan mengarahkan film horor Suster N: Dendam
Suster Ngesot (2007), dan horor komedi Pocong Keliling (2010). Untung saja
bakat sejati Viva untuk membuat karya “penting” tidak benar-benar hilang.
Terbukti dengan film tentang dampak kerusuhan Mei 1998, May (2008) yang sukses meraih
dua Piala Citra FFI 2008.
Sutradara teater panggung Ratna
Sarumpaet juga sempat menelurkan versi film Jamila dan Sang Presiden (2009)
yang dibintangi putrinya sendiri, Atiqah Hasiholan. Film ini berhasil menerima
satu penghargaan di Asia Pacific Film Festival 2009 di Taipei dan NETPAC Award
di Asiatic Filmmediale 2009 di Roma, Italia, selain memperoleh enam nominasi
Piala Citra FFI 2009 dan didaftarkan jadi wakil Indonesia di Oscar 2010. Untuk
generasi yang lebih muda, ada pengarang
Djenar Maesa Ayu yang menggarap adaptasi karya tulisnya sendiri, Mereka Bilang,
Saya Monyet! (2008).
Aktris Lola Amaria kini juga lebih sering duduk sebagai sutradara. Karya
perdananya, Betina (2006) memang diputar gerilya dan jarang terekspos. Namun,
film keduanya, Minggu Pagi di Victoria Park (2010) sukses menuai pujian dan
dinilai berhasil dalam mengangkat kehidupan tenaga kerja wanita Indonesia di
Hong Kong. Film ini berhasil menyabet Sutradara Terbaik Film Indonesia di
JIFFest 2010T. Karya Lola yang lain adalah Kisah 3 Titik (2013) tentang
kehidupan buruh perempuan. Ada juga Titin Wattimena, yang awalnya seorang
penulis skenario akhirnya memulai debut penyutradaan penuh dalam Hello Goodbye
(2012). Film yang tayang perdana di Busan International Film Festival 2012.
Kemunculan sutradara muda
perempuan bertalenta dan berprestasi di Indonesia seakan tak pernah berhenti.
Misalnya saja sineas independen Sammaria Simanjuntak lewat film debutnya tentang cinta beda suku
dan agama, cin(T)a (2009), yang sukses meraih Piala Citra FFI 2009 untuk
Skenario Asli Terbaik. Sambutan lebih hangat pun didapat lewat film keduanya,
Demi Ucok (2013), lagi-lagi berhasil meraih sebuah Piala Citra ditambah tujuh nominasi
lainnya dalam FFI 2012. Belum lama ini juga ada film Indonesia pertama yang
berhasil ikut kompetisi ajang film independen terbesar di dunia, Sundance Film
Festival 2013 di Utah, Amerika Serikat. Film itu adalah Yang Tidak Dibicarakan
Ketika Membicarakan Cinta (2013), karya sutradara Mouly Surya. Sutradara muda
lainnya Kamila Andini (putri dari Garin Nugroho) mendapat pujian untuk film
debutnya, The Mirror Never Lies (2011). Film yang mengangkat kehidupan
masyarakat Bajo di kawasan Wakatobi, Sulawesi Tenggara ini meraih dua Piala
Citra FFI 2011, ditambah penghargaan khusus untuk Kamila sebagai Sutradara Baru
Terbaik. Pun film ini mendapat gelar Film Terpuji di Festival Film Bandung
2012.
Ada pula novel RECTOVERSO karya
Dewi Lestari diangkat dalam film layar lebar dengan format omnibus, yakni
penggabungan beberapa film pendek. Lima perempuan menjadi sutradara film ini,
yakni Marcella Zalianty, Olga Lydia, Cathy Sharon, Rachel Maryam dan Happy
Salma. Novel RECTOVERSO sendiri berisi 11 cerita, namun hanya lima cerita yang
diangkat ke film layar lebar yakni Malaikat Juga Tahu (Marcella Zalianty),
Curhat Buat Sahabat (Olga Lidya), Firasat (Rachel Maryam), Hanya Isyarat (Happy
Salma) dan Cicak di Dinding (Cathy Sharon).[11]
Selain itu, seorang sutradara film independen, Dwi Sujanti Nugraheni dengan
garapan filmnya yang berjudul memborong penghargaan Jogja-NETPAC (Network for the Promotion of Asian Cinema)
Asian Film Festival atau JAFF 2013.[12]
Film ini merupakan salah terobosan terbaru dalam dunia perfilman Indonesia
karena memadukan keilmuan antropologi -- yaitu studi etnografi dalam
penggarapannya. Selain itu, penggarapan film ini juga sangat lama, sekitar
empat tahun lamanya.
Dwi Sujanti Nugraheni |
Dari sekian banyak prestasi
sutradara perempuan di Indonesia, belakangan ini salah seorang sutradara
perempuan asal Blitar mampu bersaing dengan film-film Hollywood kenamaan lain.
Ia adalah Livi Zheng yang menyutradarai film Brush with Danger. film laga yang
disutradarai Livi, tercatat sebagai salah satu film yang memenuhi syarat untuk
masuk dalam nominasi oscar. Untuk benar-benar masuk nominasi Oscar, film ini
masih harus bersaing dengan ratusan film lain.[13]
Livi Zheng |
Berbicara tentang sutradara
perempuan, tentu terkadang kita berpikir bahwa cerita yang diangkat oleh mereka
selalu bertemakan perempuan. Dalam hal ini, tema tentang perempuan muncul dalam
dua proyek Kalyana Shira Foundation. Perempuan Punya Cerita (Nia Dinata, Upi,
Fatimah Ronny dan Lasja Fauzia) mengumpulkan 4 kisah berbeda dengan
perempuan-perempuan yang diperdayai dan ditipu dalam sebuah dunia yang
patriakal. Sedangkan pada Pertaruhan (Ani E. Susanti, Iwan Setiawan, Lucky
Kuswandi dan Ucu Agustin) bercerita tentang perempuan-perempuan yang tak bisa
mengendalikan tubuh mereka sendiri dan harus tak berdaya menghadapi kenyaaan
tersebut. Kedua film ini lahir dari mekanisme pendanaan non-komersial, tapi
tetap diputar di bioskop-bioskop komersial. Film yang memang dirancang dengan
muatan kampanye ini cukup berhasil mengantar narasi yang kuat tanpa semata-mata
menjadi film propaganda.
Membaca peradaban sutradara
perempuan dan kontribusi mereka dalam dunia film membuka seluas-luasnya
perspektif perempuan yang dibingkai dari perempuan sendiri. Kontribusi
sutradara perempuan di Indonesia dalam dunia film turut serta dalam mengembangkan
perfilman Indonesia dencan cara mereka sendiri – cara kaum perempuan. Dalam hal
ini, seringkali sutradara perempuan dicap sebagai pegiat feminisme. Beberapa
diantaranya mengamini, tetapi yang lain menolak mentah-mentah karena alasan
tertentu Nia Dinata sebagai
salah satu sutradara Indonesia yang identik dengan tema perempuan bisa
dipandang sebagai tokoh yang menggunakan konstruksi feminisme pada film
Indonesia. meskipun acapkali (masih) ditemui beberapa strereotip perempuan,
namun pada akhirnya Nia mampu membawa pesan feminisme tersebut. Ia menyebut
dirinya sebagai seorang Pembuat Film
Feminis yang humanis. Sedangkan Nan T. Achnas, secara tegas menyebut dirinya
sebagai seorang feminis. Identitasnya sebagai seorang perempuan menjadi latar
belakang gagasan filmnya. Sutradara lain, Arie, tidak mau menyebut dirinya
feminis karena gender bukan lagi suatu hal yang harus dipermasalahkan. Lain
lagi dengan Ratih, ia tidak disebut feminis karena bukan seorang Lesbian.[14]
[1] Diskusi
Public Lecture JAFF 2014 “Women Perspective on Cinema”, menghadirkan pembicara
David Hanan (periset dari Australia), Novi Kurnia (periset), Olin Monteiro
(penulis, editor, produser film dokumenter), dengan moderator Dyna Herlina
(periset). Diskusi diselenggarakan di Bentara Budaya, Selasa 2 November 2014.
[2] Iwan
Awaludi Yusuf, https://bincangmedia.wordpress.com/2012/03/30/dinamika-industri-perfilman-indonesia-dari-gambar-idoep-ke-cineplex/,
diakses pada tanggal 27 Desember 2014
[3] http://sri-w--fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-91520-kom%20dan%20filsafat-Stereotype%20Perempuan%20(yang%20dilanggengkan)%20dan%20Perjuangan%20Untuk%20Melepasaknnya%20Dalam%20Film%20Indonesia.html
[4] Diskusi
Public Lecture JAFF 2014 “Women Perspective on Cinema”.
[5] http://www.kikipea.com/2014/12/perempuan-dan-perfilman-indonesia.html?m=1
[6] Terarsip
pada https://bambangsukmawijaya.files.wordpress.com/2014/03/jurnal-desain-vol1no2-2014-menonton-indonesia.pdf,
diakses tanggal 28 Desember 2014
[7] Sumber:
LSF
[8] Sumber:
LSF
[9] Bagi
penulis, istilah Bapak merujuk pada budaya patriarkat. Di mana untuk
menunjukkan suatu kesuksesan digunakan terminologi yang mengarah pada otoritas
dan superioritas laki.
[10] Lih. http://www.muvila.com/movies/featured/sutradara-perempuan-penggerak-sinema-indonesia-masa-kini-130508c-page1.html
[11] Lih. http://www.kapanlagi.com/showbiz/film/indonesia/lima-sutradara-perempuan-garap-rectoverso.html
[12] Lih.
Shinta Maharani, http://www.tempo.co/read/news/2013/12/07/111535476/Film-Denok-dan-Gareng-Borong-Penghargaan-JAFF,
diakses pada tanggal 27 Desember 2014.
[14] Novi
Kurnia dalam Kuliah Kajian Film tanggal 8 Oktober 2014 bertempat di Jurusan
Ilmu Komunikasi- FISIPOL UGM.
Sumber foto :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/23/Nan_Triveni_Achnas.jpg
Sumber foto :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/23/Nan_Triveni_Achnas.jpg
http://cdn.klimg.com/muvila.com/resources/news/2014/11/23/4780/592x342-nia-dinata-industri-film-indonesia-sudah-survive-1411234.jpg
http://www.rudolfdethu.com/wp-content/uploads/2011/11/Mirles.jpg
http://www.martialartsmoviejunkie.com/wp-content/uploads/2014/08/Brush-with-Danger-5.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJFQaZsfk2YD0AtsAfCkag5rPJvAaGSoYYg4jDoG9dNNbhgKxqKh8Q9FLX3dYOKsrt42170XwNEk4fSzATRvxxug5fqw3NgQ3kp4UsusEDBCp2thLcubBOlc6AV-64HbYuaDols9VSvw/s1600/IMG_3430a.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJFQaZsfk2YD0AtsAfCkag5rPJvAaGSoYYg4jDoG9dNNbhgKxqKh8Q9FLX3dYOKsrt42170XwNEk4fSzATRvxxug5fqw3NgQ3kp4UsusEDBCp2thLcubBOlc6AV-64HbYuaDols9VSvw/s1600/IMG_3430a.jpg
Comments
Post a Comment