MENYOAL REPRESENTASI GENDER DALAM FILM KULDESAK: Pengaburan Stereotipe Masyarakat tentang Gender melalui Perspektif Baru dalam Film Kuldesak
Lamia Putri Damayanti
Seorang perempuan berperawakan
tinggi semampai menatap pria baruh baya di depannya dengan sorotan mata yang
tajam. Terdapat amarah yang menyala-nyala dari tatapan mata nanarnya. Di
tangannya tergenggam sebuah pistol dengan erat. Arahan pistol tersebut seolah-olah
mengintimidasi pria paruh baya bernama Jakob Gamarhada (Torro Margens). Jakob
mencoba bernegosiasi dengan perempuan bernama Lina (Bianca Adinegoro) yang
merupakan karyawatinya. Ia menawarkan jabatan, uang dan lain hal sebagainya.
Sembari bernegosiasi, Jakob tengah menyiapkan sebuah pistol. Namun Lina bukan
gadis yang bodoh, ia mengetahuinya melalui pecahan kaca di samping meja.
Sebelum pria tersebut menarik pelatuk pistolnya, Lina sudah terlebih dulu
waspada dan menembak Jakob. Darah Jakob muncrat di atas meja dan menciprati
sebuah sobekan kertas dari kamus yang bertuliskan cul-de-sac.
Adegan tersebut merupakan bagian
dari salah satu segmen yang terdapat dalam film Kuldesak. Dalam cerita tersebut menceritakan Lina,
seorang karyawati di sebuah perusahaan periklanan. Suatu malam, seseorang
memperkosanya ketika ia sedang lembur. Lina tidak lantas memilih jalur hukum
untuk membuat jera orang yang memperkosanya. Ia memilih mencari pemerkosanya
sendiri dan membalas dendam. Satu-satunya bukti yang dimilikinya adalah cincin
tengkorak yang tertinggal di meja kerjanya. Rupanya orang yang memperkosanya
adalah bosnya sendiri, Jakob yang akhirnya mati di tangan Lina.
Kuldesak adalah film ansambel drama
komedi hitam Indonesia yang dirilis pada tahun 1998. Kuldesak diambil dari
kosakata bahasa Perancis; culdesac
yang berarti jalan buntu. Representasi jalan buntu yang ditawarkan film ini
adalah tidak adanya solusi, konklusi yang jelas, dan akhir yang menggantung
dari setiap cerita.
Saat dirilis, film ini adalah hasil
produksi kolektif dari para sineas muda, aktor, dan pemusik yang beroperasi di
bawah nama Day For Night Films. Film
yang diprosuksi sejakt tahun 1996 ini merupakan film independen yang membawa
gebrakan dalam dunia perfilman Indonesia. Proses pembuatan film ini dilakukan
secara underground dan tak
terbelenggu oleh aturan produksi film Orde Baru. Mereka menggunakan modal
sendiri dahulu untuk pembuatan film ini. Mereka berhasil meyakinkan para pemain
dan pekerja film untuk tidak dibayar. Sumbangan memang akhirnya datang dari PT
Samuelson Nusantara dan PT Elang Perkasa dengan cuma-cuma. Selain itu, suatu
lembaga subsidi film independen Belanda, The
Hubert Bals Fund dan RCTI juga memberi dukungan dana operasional produksi
dan pascaproduksi. (www.filmindonesia.or.id).
Film ini dibintangi antara lain oleh
Oppie Andaresta, Bianca Adinegoro, Ryan Hidayat, Wong Aksan, dan dibantu banyak
bintang tamu yang notabene adalah aktor dan aktris Indonesia yang terkenal pada
masanya, antara lain Sophia Latjuba, Bucek Depp, Unique Priscilla, dan Dik
Doank.
Kuldesak merupakan sebuah film
omnibus pertama yang disutradai oleh empat sutradara muda yaitu: Riri Riza,
Rizal Mantovani, Mira Lesmana, dan Nan T. Achnas. Film omnibus sendiri
merupakan genre film yang memiliki beberapa cerita. Katakanlah omnibus adalah
versi antologinya film. Dalam satu film terdapat berbagai cerita yang
berbeda-beda.
Di dalam film Kuldesak sendiri
terdapat empat cerita yang tidak memiliki tautan satu dengan lainnya. Setiap
cerita seakan-akan ditumpuk begitu saja dalam segmen-segmen yang
melompat-lompat. Penonton akan mendapatkan suasana dan nuansa yang berbeda
ketika menonton film tersebut. Kesan yang akan didapatkan dari film ini adalah
unsur ‘tumpang-tindih’. Namun, sekalipun penyajian setiap segmen dibaurkan
begitu saja dalam film, tetap terdapat benang merah yang menyambungkannya,
yakni kehidupan anak muda pada saat itu, tepatnya di era pertengahan 1990-an.
Film tersebut menjelaskan secara implisit dan eksplisit tentang mimpi dan
obsesi anak-anak muda di kota metropolitan, Jakarta.
Selain kisah mengenai Lina yang
ironis, ada pula cerita tentang Dina (Oppie Andaresta) – si gadis penjual tiket
bioskop yang mengidolakan salah satu pembawa program acara televisi, Max Mollo
(Dik Doank). Gadis ini begitu terobsesi dengan Max Mollo dan seringkali
membayangkan dapat berpacaran dengannya. Dina lalu berteman dengan Budi (Harry
Suharyadi), seorang homoseksual yang berpacaran dengan Yanto (Gala Rostamaji).
Hubungan mereka berdua pada akhirnya pun harus berpisah. Kisah lainnya adalah
Andre (Almarhum Ryan Hidayat), musisi kesepian yang mengidentikkan dirinya dengan
vokalis grup band Nirvana, Kurt Cobain. Andre hanya berkawan dengan seorang
peramal keliling yang tinggal di emperen minimarket, Hilarous (Iwa K). Andre
diceritakan sebagai anak orang kaya yang mendapatkan banyak materi dari
keluarganya tapi mengalami kesepian. Pada akhirnya Andre memutuskan bunuh diri
setelah mendengar kematian Kurt Cobain.
Sedangkan di segmen terakhir diisi
dengan cerita Aksan (Wong Aksan), anak pemilik penyewaan laserdisc film yang terobsesi untuk membuat film. Untuk membuat
sebuah film, yang dibutuhkan Aksan adalah uang yang banyak. Namun ayahnya yang
kaya tidak mengizinkan Aksan membuat film. Keputusasaan sempat menghinggapi
benaknya. Namun obsesi itu kembali muncul ketika salah satu rekannya yang
sangat komikal berusaha merongrong Aksan untuk tetap membuat satu film saja
dalam hidupnya. Obsesinya itu akhirnya membuatnya memutuskan untuk merampok
uang ayahnya sendiri. Ketika tengah melangsungkan rencanaya ia malah tertembak
karena ada sekawanan anak muda iseng ingin merampok toko persewaan laserdisc itu.
Perspektif Baru tentang Konsep
Gender
Kuldesak sebenarnya bukan film yang
mengusung tema gender, maskulinitas, feminitas maupun feminisme. Secara
keseluruhan Kuldesak adalah potret anak muda dan proses hitam-putih yang mereka
alami. Mimpi yang tak sampai, obsesi semu, serta rasa sakit yang amat mendalam akibat
kesepian adalah tema besar dari film ini. Namun jika diamati lebih saksama,
Kuldesak menawarkan perspektif dan konsep gender yang berbeda. Film ini tidak
membangun konsep stereotipe gender yang biasanya terdapat dalam film-film mainstream.
Salah satu adegan yang cukup
merepresentasikan pembebasan gender adalah segmen di mana seorang kasir
perempuan tengah merokok dan menaikkan kakinya di atas meja. Adegan tersebut
memang hanya pelengkap saja dan bukan merupakan adegan utama dalam film. Tapi adegan
tersebut mampu mendobrak pemahaman stereotipe bahwa perempuan harus dapat
diatur. (Hairus Saleh, 1999:78)
Selain itu, Kuldesak juga
menampilkan peran gender dalam masyarakat. Pada umumnya film yang telah lebih
dulu beredar selalu menampilkan sosok perempuan sebagai sosok yang tidak jauh
dari peran domestik seperti masalah dapur, sumur, mengurus anak, dan
sebagainya. Mereka terkadang pula diposisikan sebagai subordinat laki-laki,
misalnya menjadi bawahan, sekretaris, dan peran-peran melayani atau menopang
kebutuhan laki- laki.
Sementara itu, laki-laki selalu
mendapatkan peran dalam wilayah dan pekerjaan publik. Laki-laki selalu terlihat
di luar rumah, jalan, kantor, dan tempat publik lainnya. Mereka merupakan kaum
yang mendominasi dan memiliki kuasa. Peraturan yang diterima oleh perempuan
dibuat oleh laki-laki. Dalam hal ini, film selalu menempatkan peran-peran
tradisional laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Peran tersebut pun
merupakan suatu hasil kontruksi kultur dan sosial yang membentuk stereotipe.
Di tengah masyarakat peran (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan
(status). Keduanya merupakan dua hal yang saling berkait, tidak dapat
dipisah-pisahkan. Tidak ada peran tanpa kedudukan, dan tidak ada kedudukan
tanpa peran. Bila seseorang melaksanakan kedudukannya maka ia menjalankan suatu
peran (Soerjono Soekanto, 1986:220). Jenis kelamin merupakan salah satu
kategori untuk membagi mansuia dalam status laki-laki dan perempuan. Dalam
sosiologi konvensional ‘peran jenis kelamin’ merupakan peran sosial yang
dialokasikan pada laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin biologis.
Menurut kajian sosiologi, tempat dan
jenis aktivitas peran yang dilakukan sering dikagorikan salam kategori yang
sama, yaitu publik dan domestik. Dalam
perspektif tempat, wilayah domestik adalah wilayah di dalam rumah sedangkap
publik adalah sebaliknya, di luar rumah. Sementara dalam perspektif jenis
aktivitas, peran publik adalah aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan
produktif dan berhubungan dengan masyarakat luas. Sedangkan aktivitas demestik
adalah kegiatan yang berkisar pada kegiatan reproduktif. (Widyatama, 2007:98)
Namun Kuldesak tidak terlalu
merepresentasikan peran stereotipe tersebut. Kuldesak menggebrak konstruksi
sosial dan kultural mengenai gender dengan menawarkan konsep yang berbeda.
Salah satunya adalah menempatkan tokoh perempuan di wilayah publik. Dua tokoh
perempuan, Lina dan Dina adalah perempuan yang bekerja sekalipun keduanya tetap
menjadi bawahan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa perempuan ditempatkan di
wilayah publik dan tidak terjebak dalam ruang lingkup domestik saja.
Selain peran, konsep gender yang
disuguhkan oleh film ini adalah konsep kebebasan yang ingin keluar dari
maskulinitas dan feminitas. Hal itu ditunjukkan dari sosok Lina yang tiba-tiba
menjadi kuat dan rasional ketika diculik oleh Jakob. Ia mampu mengelabui anak
buah Jakob dan menusuknya. Setelahnya, dia mampu menyuruh pria berbadan besar
untuk masuk ke dalam sangkar sebelum akhirnya menembak Jakob. Lina yang
merupakan korban pemerkosaan Jakob seolah-olah ingin menunjukkan suatu
pemahaman bahwa perempuan dapat melawan superiotas laki-laki yang menjadikan
perempuan sebagai obyek seksual. Lina adalah suatu refleksi perempuan kuat yang
menumbangkan sifat superiotas laki-laki yang sewenang-wenang.
Ditambah lagi dengan tingkah laku Sofi (Sophia
Latjuba) dan Maya (Maya Lubis) yang maskulin dan terbilang urakan. Dalam
beberapa adegan keduanya terlihat merokok. Keduanya juga memiliki otoritas
terhadap teman laki-laki mereka, Ceki, yang diperankan oleh Bucekk Depp. Sofi
dan Maya berkali-kali menyuruh dan memerintah Ceki. Bahkan, karakter Ceki
dibangun dengan sifat konyol dan bodoh. Biasanya film-film menempatkan
perempuan sebagai pemanis saja dan berada pada kuasa laki-laki. Namun dalam
segmen ini, laki-lakilah yang menjadi pelengkap dan digambarkan lebih lemah dan
bodoh daripada perempuan. Selain itu, terlihat pula bahwa perempuan dapat
menguasai laki-laki
Hal tersebut terlihat dari adegan ketika
mereka naik mobil menuju Laser Dics, Ceki
ditempatkan di jok mobil bagian belakang. Seolah-olah ingin menunjukkan bahwa
perempuan dapat menjadi superior dan memiliki otoritas untuk mengatur
laki-laki. Selain itu, pada beberapa film perempuan selalu ditempakan sebagai
obyek hiburan baik dalam aspek seksualitas maupun fisiologis. Namun film ini
membalikkan fakta dengan menempatkan laki-laki konyol sebagai bahan lawakan.
Pada film ini, diperlihatkan Ceki yang tengah menari dan menyanyi tidak jelas
dan disaksikan oleh Sofi dan Maya. Saat itu Ceki berada di luar mobil sedangkan
Maya dan Sofi berada di mobil. Batas wilayah ini juga memperlihatkan bagaimana
lelaki seolah-olah tak dapat masuk dan mengusik kehidupan perempuan.
Dalam salah satu segmen film
Kuldesak lainnya, terdapat pula cerita mengenai Budi dan Yanto, pasangan homoseksual
yang tinggal satu rumah. Tokoh Budi dan Yanto sekalipun digambarkan dengan
sistem yang menyimpang norma sosial, namun ditempatkan dengan netral. Kedua
tokoh ini tidak ditampilkan dengan sikap tertekan yang biasa terjadi di
kalangan kaum homoseksual. Mereka terlihat menikmati kehidupan mereka.
Sekalipun pada akhirnya Yanto meninggalkan Budi karena harus pulang kampung.
Hal ini menunjukkan konsep gender yang keluar dari konstruksi sosial dan norma
agama bahwa laki-laki harus menjalin hubungan dengan perempuan.
Konstruksi sosial mengenai konsep
gender dimulai dari orientasi sosial yang terdiri atas feminitas dan
maskulinitas. Manifestasi kekuasaan struktural ini digariskan dari jenis
seksual ke orientasi seksual yang sama sekali tidak boleh menyimpang. Pemilik
vagina hanya boleh menjalankan fungsi sebagai perempuan, dan menjalankan
orientasi seksual bersifat feminin. Begitu pula pemilik penis menjalankan
fungsi sebagai laki-laki dan harus berada dalam orientasi maskulin. Setiap
penyimpangan akan ditolak dalam peran struktural. (Ashadi Siregar, 2004:336)
Peran struktural dipengaruhi oleh
bahasa yang sebenarnya tidak netral. Bahasa membagi-bagi dunia menjadi
berkelas-kelas – termasuk ‘laki-laki’
dan ‘perempuan’ – lalu memberikan makna terhadapnya. Dengan demikian, bahasa
bersifat ideologis karena bahasa membuat apa yang bersifat budaya menjadi
‘alamiah dan ‘begitulah adanya’. Bagi para strukturalis, makna dalam bahasa
muncul melalui sistem pembedaan: kata – atau tanda – memperoleh makna dari perbedaan
mereka dengan kata lain. Berdasarkan alasan ini maka ‘laki-laki’ dan
‘perempuan’, ‘maskulin’ dan ‘feminin’ haya bermakna karena mereka saling
berbeda. (Joane Hollows, 2010:59). Konsep mengenai feminitas dan maskulinitas ini
kemudian menjadi norma atau hukum bagi laki-laki dan perempuan dalam
berperilaku.
Sikap absolut yang menjadi ciri dari
nilai otoritarianisme menempatkan setiap penyimpangan sebagai abnormalitas yang
perlu dihukum, atau dalam otoritarian lunak, person menyimpang harus
disembuhkan. Dengan demikian gay dan lesbian selalu dimusuhi (Ashadi Siregar,
2010:337 ) karena keluar dari struktur norma yang ‘telah dikukuhkan’. Padahal
gay, lesbian, dan transgender adalah
manusia yang terperangkap dalam organ yang tidak fungsional dan sinkron
secara biologis (Ashadi Siregar, 2010:337). Struktur yang bersifat menindas dan
diskriminatif ini dimulai dari penindasan terhadap setiap minoritas yang
menyimpang dari garis jenis dan orientasi seksual seperti mayoritas
heteroseksual terhadap minoritas homoseksual, sampai kemudian penindasan dan
diskriminasi itu ditujukan kepada jenis seksual perempuan.
Kuldesak
kemudian melanggar struktur penindasan tersebut. Konsep gender dalam film
Kuldesak memberikan pemahaman baru mengenai dorongan kesetaraan dan penghapusan
stereotipe atas maskulinitas dan feminitas dalam masyarakat. Melalui
segmen-segmen yang disuguhkan, Kuldesak tidak mengikuti arus permainan film mainstream yang selalu menempatkan
perempuan dalam wilayah domestik, tersubordinat, dan menjadi obyek seksual
pria.
Pengaburan Konsep Gender dalam Film
Berbicara
mengenai gender kita harus dapat membedakannya dengan seks (jenis kelamin). Pemahaman
yang sistematis mengenai konsep gender penting guna memahami sistem sosial dan
kultural dalam masyarakat (Mansour Fakih, 2003:7).
Pengertian jenis kelamin sendiri
merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, laki-laki
adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan
memroduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim,
memroduksi sel telur, memiliki vagina, dan memiliki kelenjar susu. Alat-alat
tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki
secara permainan dan tidak dapat dipertukarkan serta bersifat kodrati. (Mansour
Fakih, 2003:8). Dalam hal ini, jenis kelamin menunjukkan seksualitas secara
biologis dan fisiologis tanpa melibatkan struktur kultur, sosial, dan norma
dalam masyarakat.
Sedangkan konsep gender, yakni suatu
sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara
sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut,
cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional,
jantan, dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang
dapat dipertukarakan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut,
keibuan sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional perkasa. Perubahan
ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu. (Mansour Fakih,
2003:8). Pendekatan konsep ini kemudian memunculkan istilah maskulinitas dan
feminitas. Secara konstruksi, maskulinitas adalah sifat yang harus dimiliki
oleh seorang pria sedangkan feminitas adalah sifat yang harus dimiliki
perempuan.
Kuldesak adalah film yang mampu memberikan
terobosan baru mengenai konsep gender yang berbeda. Dalam film-film yang pernah
beredar sebelumnya, perempuan dalam laki-laki selalu ditempatkan dengan konsep
gender yang tradisional. Film-film tersebut turut serta dalam mengukuhkan
pemahaman gender yang dibangun secara kultural dan sosial. Namun Kuldesak mampu
mengembangkan konsep gender yang berbeda dan mengambangkan stereotipe
tradisional mengenai perempuan.
Film memang pada kenyataannya
menjadi salah satu instrumen dalam membangun pemahaman mengenai konsep-konsep
gender. Film mengaburkan perbedaan antara skrip dengan aksi panggung, membuat
kita merasa menyaksikan langsung apa yang sebetulnya fiksi dalam skrip sehingga
seolah-olah menjadi suatu hal yang nyata. Jurij Lotman, seorang semiologi Rusia
berpendapat bahwa film mampu untuk mesintesiskan antara yang nyata dan ilusi.
Dia mengaku bahwa penonton film paling tidak mereka percaya bahwa film menyediakan/menampilkan
kehidupan nyata, dan dia mengakui bahwa teknologi membantu film menjadi lebih
realistis, dibandikan visual yang disajikan oleh seni yang lain. (Gerald Mast,
1979:5). Film dinilai mampu menampilkan wacana yang dapat dijadikan pintu untuk
memahami kondisi suatu masyarakat. Konsep Gender merupakan konstruksi sosial
yang merefleksikan kultural budaya dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini,
konsep gender yang terkontruksi di Indonesia dipengaruhi oleh kultur ketimuran
dan norma agama.
Film-film memproduksi pandangan tentang dunia yang
tidak kontradiktif dan konflik-konfliknya dapat diselesaikan sedemikan rupa
untuk membuat makna dunia tampak transparan. (Joane Hollows, 2010:60). Dalam
konteks gender konstruksi sosial muncul ketika menampilkan perempuan dan laki-laki
dalam peran- peran sosial, seksualitas serta produksi dan reproduksi. Dari sini
kesadaran tentang konstruksi sosial menjadi penting, sebab akan menjadi titik
tolak dari proses kreatif. Masalah yang perlu diapresiasi adalah bentuk-bentuk
penindasan yang berasal dari nilai patriarki. Penindasan dapat bergerak dalam
bentuk kekerasan fisik sampai kekerasan simbolis yang bersifat psikis.
Rokok, Maskulinitas, Feminitas, dan
Pembebasan
Dalam
salah satu segmen, film ini mengukuhkan bahwa rokok dan laki-laki adalah suatu
hal yang wajar. Adegan tersebut ditampilkan oleh Andre yang gandrung dengn
rokoknya. Namun di satu segmen yang lain, terlihat seorang perempuan – Sofi
juga menyesap rokoknya. Hal yang menjadi persoalan di sini adalah persepsi
penonton ketika melihat dua manusia dengan jenis kelamin berbeda yang sama-sama
merokok.
Stereotipe mengenai rokok yang saat
ini beredar di masyarakat adalah bahwa rokok adalah benda laki-laki. Rokok
bersifat lebih maskulin dan konon menonjolkan kejantanan setiap pria. Hubungan
laki-laki dan rokok adalah suatu kewajaran. Sementara itu rokok adalah suatu
hal yang terlarang bagi perempuan. Hal ini dikarenakan struktrur konsep gender
yang mengarahkan bahwa rokok sama sekali tidak menggambarkan feminitas.
Sehingga terkadang perempuan yang merokok dianggap melakukan dosa besar dan
memiliki moralitas yang rusak. Padahal jika ditelusuri, obyek di antara
laki-laki dan perempuan adalah sama tapi menimbulkan pemahaman berbeda karena
pengaruh konstruksi konsep gender.
Dalam sejarahnya, rokok merupakan
simbol pertahanan harga diri, kehormatan, dan kewibawaan yang melawan hegemoni
budaya patriarkal. Kontak sejarah memunculkan idiom, simbol, identitas, dan
atau karakter perempuan yang berbeda. Pengalaman masa lalu mengikat
solidaritas, emosional, ideologis, sosiologis, sosio-politik, ekonomi, dan juga
religiusitas, antara perempuan dan rokok. (www.rokok.in)
Hubungan antara rokok dan
representasi gender diwujudkan dalam pengertian bahwa rokok bukanlah persoalan
maskulinitas maupun feminitas. Film ini memberikan suatu pembebasan atas
konstruksi gender yang berkaitan dengan rokok. Selain itu film ini juga secara
implisit memaparkan bahwa perokok adalah bukan tentang gender. Rokok adalah
gaya hidup yang merupakan pilihan manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Laki-laki tetap Superior dan
Perempuan Masih Menjadi Korban
Perbedaan gender mengakibatkan
lahirnya sifat dan stereotipe yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan
kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotipe yang sebetulnya
merupakan konstruksi atau rakyasa sosial dan akhirnya terkukuhkan menjadi
kodrat kultural, dalam proses yang panjang akhirnya telah mengakibatkan
tekondisikannya beberapa posisi perempuan antara lain: posisi subordinasi,
perbedaan dan pembagian gender juga membentuk pendandaan atau stereotipe
terhadap kaum perempuan yang berkibat pada penindasan, kekerasan dan penyiksaan baik secara fisik
maupun secara mental. (Mansour Fakih, 2003: 147-149)
Dalam bukunya Film Theory and Criticism:
Introductory Readings, Gerald Mast dan Marshall menyatakan
bahwa perempuan seringkali digambarkan sebagai korban (1979:512) dan kaum
inferior yang tersubordinat. Cerita tentang Lina yang mendapatkan
pengintimidasian oleh rekan laki-lakinya di tempat kerja serta mengalami
pemerkosaan adalah gambaran bahwa film ini masih menempatkan perempuan sebagai
korban.
Namun penempatan ini tidak
mengadopsi konstruksi sosial gender. Biasanya dalam beberapa film, perkosaan
dipandang hanya sebagai tergodanya laki-laki akibat daya tarik perempuan,
ataupun hanya dipandang sebagai tindak kriminal biasa (Ashadi Siregar, 2004:337).
Dalam film ini pemerkosaan ditunjukkan bukan karena tergodanya laki-laki
terhadap perempuan dengan pakaian yang terbuka. Lina malah digambarkan sebagai
seorang perempuan yang santun dan selalu berpakaian sopan (tertutup).
Film ini menekankan bahwa
pemerkosaan adalah refleksi dari kesewenang-wenangan laki-laki yang melecehkan
hak reproduksi perempuan. Pemerkosaan bukan terjadi karena pihak perempuan yang
memakai pakaian terbuka, bertubuh seksi, maupun berwajah cantik. Namun
pemerkosaan terjadi karena sikap superior laki-laki yang merasa memiliki
otoritas atas perempuan dalam berbagai hal. Padahal, penghargaan untuk perempuan pada dasarnya
bukan karena bentuk tubuh atau kecantikan, tetapi karena fungsinya dalam
kehidupan umat manusia melalui alat reproduksi. Dari sini perkosaan terhadap
perempuan dipandang keji karena mencerminkan kesewenang-wenangan terhadap alat
reproduksi perempuan, lebih jauh sebagai pelecehan terhadap peradaban umat
manusia. (Ashadi Siregar, 2004:338).
Film ini pun menyuguhkan satu lagi
fakta tentang kesalahan dalam mengkonsepsi gender, kekerasan, dan penindasan
yang dihasilkannya. Kuldesak memberikan suatu pemahaman bahwa pemerkosaan tidak
bersumber dari perilaku perempuan; namun melalui konstruksi gender yang membuat
laki-laki merasa superior.
Untuk memperlihatkan superiotas
laki-laki yang berlebihan tersebut, Kuldesak menampilkan suatu segmen di mana
terdapat beberapa berita dalam koran yang dipigura dan dipajang di dinding
kamar pribadi Jakob. Berita-berita tersebut memuat mengenai kasus-kasus
kekerasan seksual yang pada akhirnya tidak memberikan keadilan bagi korban.
Pelaku tindak kekerasan seksual – dalam berita-berita tersebut terbebas dari
kejahatan yang telah ia lakukan. Segmen ini menunjukkan bahwa laki-laki tetap
superiotas dan perempuan masih menjadi korban. Namun terlepas dari semua itu,
segmen ini menunjukkan satire yang pedas atas ketidakadilan hukum mengenai
kasus kekerasan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdie,
Pierre. 2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta: Jalasutra
Hollows,
Joanne. 2010. Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra
Kristanto,
JB. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Mansour,
Fakih. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Mast, Gerald dan Marshall Cohenn (Ed.)
1979. Film Theory and Criticism:
Introductory Readings Second Edition. New York: Oxford University Pers.
Rendra Widyatama. 2006 Bias Gender dalam
Iklan Televisi. Yogyakarta: Media Pressindo
Saleh, Hairus (Ed.). 1999. Menjadi
Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Sen, Krishna. 1987. Indonesian Films, 1965 – 1982: Perceptions
of Society and History, A Thesis submitted for the Doctor of Philosophy in the
Department of Politics. Melbourne: Monash University.
Siregar, Ashadi. 2004. “Ketidakadilan
Konstruksi Perempuan di Film dan Televisi”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Vol 7 No. 3: hlm. 335-349.
Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi:
Suatu Pengantar. Jakarta: Radjawali.
Soemandoyo, Priyo. (1999. Wacana gender
& Layar Televisi: Studi Perempuan dalam Pemberitaan Televisi Swasta.
Yogyakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford
Foundation. Yogyakarta
http://www.ceritamu.com/cerita/istilah-film-omnibus-apa-sih-itu.
“Istilah Film Omnibus: Apa sih Itu? Diakses 26 Oktober 2014.
Kritstanto,JB.http://filmindonesia.or.id/movie/review/rev4baf97c82590b_kuldesak_keterserpihan_anak_muda#.VEnWJpjadH8.
“Ketersepihan Anak Muda dalam Film Kuldesak.” Diakses 26 oktober 2014.
http://www.filmfestivalrotterdam.com/en/films/kuldesak/.
“Kuldesak”. Diakses 27 Oktober 2014.
http://www.indonesianfilmcenter.com/film/kuldesak.html.
“Kuldesak.” Diakses 27 Oktober 2014.
http://www.muvila.com/movies/watch-out/kuldesak-bapaknya-gerakan-film-independen-di-indonesia-130313u-page3.html.
“Kudlesak: Bapaknya Gerakan Film Independen di Indoesia.” Diakses 26 Oktober
2014.
http://www.nytimes.com/movies/movie/179465/Kuldesak/overview.
“Kuldesak.” Diakses 26 Oktober 2014.
http://www.rokok.in/2014/09/rokok-perempuan-dan-pembebasan.html.
“Rokok, Perempuan, dan Pembebasan.” Diakses 26 Oktober 2014.
http://thejakartaglobe.beritasatu.com/features/kuldesak-marks-15-years-of-independent-filmmaking/.
“Kuldesak Marks 15 Years of Independent
Filmmaking.” Diakses 28 Oktober 2014.
Sebuah tugas ujian tengah semester yang menyenangkan :)
Sebuah tugas ujian tengah semester yang menyenangkan :)
Comments
Post a Comment