Jalan Setapak Menuju Rumah

“Kabeh wong ki nduwe dalane dewe-dewe lam,”[1] - seorang teman[2]
      Malam ini – pun juga dengan malam-malam kemarin, aku terus mengeluhkan diriku sendiri. Pergerakannya terasa makin sempit, tidak ada yang lebih sesak ketimbang menyalahkan diri sendiri atas segala keterbatasan yang kurasakan. Aku terus menyalahi, merutuki, segala bentuk pribadiku yang kupikir tak berwujud. Pada hamparan keluh-kesah itu, aku mengingat sebait nasihat – yang sebetulnya tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan yang sekarang kuhadapi. Namun, nasihat ini dengan lincah beradaptasi dari tiap persoalan ke persoalan lain. Ia menjelma menjadi kunci dari keluhan hidup yang selalu memiliki celah – menerobos – menyakiti hati yang lemah, mengintimidasi jiwa yang rapuh, dan membongkar hidup-hidup organ-organ dalam yang mati rasa. Kupikir, aku telah salah memaknai hidup akhir-akhir ini. Kupikir, aku telah luput dalam menafsirkan setiap hal di dunia ini. Aku mulai lupa menyapa Tuhan, aku mulai lupa kalau Ia lebih dekat dari nadiku. Aku mulai lupa, jika suatu saat aku akan memuntahkan ruhku, mualnya dari jempol kaki, menjalar sampai ke perut, terus ke kepala, sampai akhirnya termuntahkan.
         Sebetulnya, aku semakin tidak mengerti dengan diriku sendiri, dengan kehidupan ini. Semua manusia-manusia di sekelilingku menjelma menjadi neraka. Aku takut berhadapan dengan mereka, aku takut jika mereka mengetahui isi pikiranku, aku khawatir mereka mendengar isi hatiku, aku benar-benar cemas – jika dan hanya jika, mereka akan merobekku hidup-hidup karena sesuatu hal yang aku miliki. Aku tidak tahu mengapa aku bisa sebegitu rumitnya dalam berpikir hal-hal seperti ini. Jika dan hanya jika – aku menganggap semua orang disekelilingku neraka, aku berhadapan dengan banyak neraka. Tidak hanya tujuh yang konon ditawarkan Tuhan dengan tingkatan-tingkatan yang berbeda. Jika aku harus menghadapi setiap manusia di dunia ini. Artinya, aku menghadapi kurang lebih 7 milyar neraka, yang entah apinya menenangkan seperti api unggun yang menyala-nyala di lereng gunung, atau seperti badai matahari yang melepuhkan kulit.
        Sebab itu, aku tidak pernah benar-benar menampakkan diri asliku kepada orang lain. Hanya beberapa – yang aku pikir dapat menyimpan setiap rahasia-rahasia yang bernyawa. Jika rahasia itu dibeberkan, disiarkan dari mulut ke mulut, -- ia akan mati, tak bernyawa... Ruhnya melepas, kerahasiannya sesuatu hal yang intim, namun auratnya terburai dalam perkosaan. Maka dari itu, aku hanya memiliki sedikit sahabat. Satu, dua, atau tiga – kupikir cukup. Dan dari ketiganya aku tak benar-benar menunjukkan diriku. Aku memiliki milyaran topeng – yang akan berganti-ganti tiap kali menghadapi orang-orang yang berbeda. Sebab, aku takut mereka melihatku. Sebab, aku takut mereka mengetahui isi pikiranku, isi hatiku – yang mungkin dianggapnya buruk. Sebab, aku takut wajahku adalah haram bagi tiap pandangan. Sebab aku takut, perilakuku dipandang najis. Sebab, aku takut dianggap dosa – hingga dijebloskan ke dalam neraka.[3] Oleh karenanya, aku mematuhi pikiran mereka, menjadi suci di hadapan mereka, berusaha sama di hadapan mereka. Agar dosa-dosa yang dipandang mereka atas diriku lebur. Aku mencoba masuk ke dalam surga mereka. Alih-alih mendapat ketenangan, aku malah terjebak dalam suatu fase di mana; aku membunuh diriku sendiri. Disinilah kemudian aku berada, aku tidak lagi berpikir bahwa berhadapan dengan orang adalah masuk neraka. Jika kemudian aku membunuh diriku sendiri agar bisa masuk surga; bukankah ketika aku masuk neraka, aku juga akan mati terlebih dahulu? Kemudian aku berpikir, aku akan mati jika berhadapan dengan orang. Entah mati dengan ‘cara baik’ kemudian masuk surga atau mati dengan ‘dosa-dosa besar’ kemudian masuk neraka. Yang jelas, kematian dengan cara baik adalah membunuh diri sendiri, sedang dosa-dosa besar mati dengan dibunuh oleh ekspektasi ngawur dari pemikiran orang yang berhadapan denganku.
           Menjadi diri sendiri – mungkin tidak segampang slogan ‘be your self’. Segala sesuatunya akan kembali pada suatu natalis, rahim yang melahirkan terminologi ‘atas diri’ yang  masih belum bisa kudefinisikan. Siapa itu diri? Siapa itu diri sendiri? Apa yang ia miliki sampai harus ‘menjadi’? Aku tidak mengerti, terkadang aku semakin terkekang dalam tiap-tiap tafsiran yang bercabang-cabang. Dari semua itu – ada rahim yang kembali dibuahi, ada daging janin yang tumbuh dengan ganas – hampir-hampir menjebol perut. Seperti tumor karena menyakitkan, pertumbuhannya tidak hanya melekat dalam dinding rahim, tetapi juga jantung, hati, paru-paru, tulang belikat, bahkan tinja. Kelahirannya adalah petaka. Ia akan lahir dari berbagai lubang, dari lubang kemaluan, pori-pori kulit hingga telinga[4] – menyakiti tiap-tiap anggota tubuh. Mungkin kelahiran itu akan menyebabkan kematian. Matinya yang tidak terdefinisi mati. Bukan mati suri; tidur panjang dan terbuai dalam mimpi-mimpi klenik yang ketika diceritakan akan terasa mistikal. Namun, kematian panjang dalam kehidupan.
          Beberapa hari ini – aku pun membunuh diriku sendiri berulang-kali, sampai rasanya aku tidak tahu – apakah jiwaku masih hidup, atau telah mati. Aku tidak bisa membedakan antara yang nyata dan fana. Aku terus-menerus membunuh diriku sendiri, melahirkan daging-daging tetapi menciptakan kematian panjang. Di mana diriku berada sebetulnya – mungkin menjelma jadi dewi-dewi yang berkecipak di kolam-kolam susu dan madu pada mimpi-mimpi klenik. Pun sebenarnya, pada kehidupan nyata aku adalah iblis, penghuni tetap neraka. Siluman yang memakan daging-daging yang telah ia lahirkan sendiri.
                Aku benar-benar terjebak di dunia yang penuh dengan neraka-neraka. Ketika aku berkutat dengan pemikiran-pemikiran seperti ini, lagi-lagi aku mengingat salah satu ungkapan teman. “Gue ya gue. Gue emang kaya gini, lha terus kenapa?” ujarnya dengan logat yang Jakartasentris. “Lo tahu nggak? Sekalipun gue kayak gini dan banyak yang nggak suka, gue semakin yakin bakal nemuin orang-orang yang tulus sama gue,” tambahnya. “Jadi, kalau mereka nggak suka sama jati diri gue – berarti emang pada dasarnya nggak cocok. Toh, pada akhirnya gue tetep punya temen. Sekalipun cuman satu dua doang, tapi itu yang terbaik,” pungkasnya.
                Mungkin, aku harus memilih neraka yang menyenangkan. Membikin dosa-dosa yang menyenangkan, mengambil hal-hal yang sepantasnya disebut haram untuk kucumbui, memeluk najis dan tidak membasuhnya tujuh kali. Melakukan dosa berulang-kali, mendekati hal-hal baram, dan mengawetkan najis sebagai koleksi-koleksi yang dapat dipajang dalam diri. Sekalipun, kemudian orang-orang (neraka-neraka yang lain) akan jijik. Kemudian memasukkan ‘diri ini’ ke dalam suatu list daftar orang-orang yang masuk neraka; daftar orang-orang yang lidahnya akan dipotong, punggungnya disetrika dan dicambuk, lehernya dirantai, tangannya dikerangkeng, kakinya dipasung; dan terus mendapat siksaan-siksaan.
         Sepertinya aku menulis terlampau panjang; menjabarkan ketakutan-ketakutan terhadap (tanggapan) manusia dengan cara yang amat melantur. Namun, itulah yang aku rasakan sedari dulu. Aku takut dengan manusia-manusia asumtif yang tidak pernah mencari data. Menganalisis sekejap mata, hanya memindai berdasarkan visual – tanpa mau memahami segala sesuatunya dari hati ke hati. Mereka hanya mendengar dan melihat, tapi enggan merasai. Merasakan yang mereka dengar, merasakan yang mereka lihat, meresapinya sepenuh hati. Mereka dengan seenaknya menciptakan judice and prejudice, menghakimi tanpa melihat konteks.
         Selama ini aku pernah hidup dalam penghakiman. Aku terlahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Semuanya perempuan. Semuanya memiliki keterampilan. Sedari kecil didamba dan didaulat sebagai anak-anak cerdas. Aku adalah salah satu anak yang paling berbeda – dari segi fisik maupun intelektualitas. Terkadang perbedaan itu membuatku selalu berselimut bayang-bayang. Menghindari cahaya karena takut terlihat, selalu berada di sudut tergelap dan terkadang menggelap sebagai bagian dari empat bersaudara itu. Aku terlampau takut mendapat tanggapan-tanggapan serupa seperti; “Mereka saudara kandungmu? Yang benar? Kok berbeda,” “Kenapa kamu tidak masuk kelas unggulan seperti kakakmu?” “Bukannya saudara-saudaramu pintar bernyanyi dan menari, mengapa kamu tidak bisa?” “Kakakmu ikut olimpiade ya? Kenapa kamu tidak?” “Kenapa tidak mengikuti jejak kakakmu ke ITB?” “Kakakmu kan masuk IPA, kamu semestinya juga IPA,” “Dulu kakakmu begini, kamu begitu,” “Semua saudarimu mengikuti organisasi OSIS dan MPK, kamu tidak?”
          Aku lelah dengan lontaran-lontaran yang sedemikian rupa. Aku harus berdiri tegap dalam pembedaan-pembedaan itu. Aku berusaha menjelaskan kepada mereka dengan pelan-pelan; bahwa aku memang berbeda. Setiap orang terlahir berbeda-beda. Tidak sepatutnya, satu dengan manusia yang lain dipersamakan hanya atas dasar ikatan darah. Toh, aku berjalan dengan kakiku sendiri – bukan dengan kaki-kaki saudariku. Namun, kekesalan itu perlahan memudar. Malam ini, aku diingatkan oleh sebait nasihat; bahwasanya satu manusia dengan lain memiliki jalannya sendiri. Aku yakin; seyakin-yakinnya, aku tak perlu sama dengan saudari-saudariku. Jika dan hanya jika aku tidak bisa menjadi mereka. Mereka pun tak akan pernah bisa menjadi diriku, dengan segala keterbatasanku, dengan segala kelebihan dan kekuranganku.
         Akan tetapi, neraka tidak berhenti sampai di situ. Pintu neraka tidak hanya muncul dari jendela-jendela rumah pribadi dengan api menyala-nyala di dalamnya. Tapi juga jendela tetangga sebelah, jendela orang-orang lain yang terus terbuka memperlihatkan diri mereka. Aku sendiri bingung, mengapa aku selalu melihat rumah orang lain dan memperbandingkannya dengan diriku sendiri. Aku memperbandingkan semua itu bukan tanpa alasan. Semua orang mengelilingiku, bertanya tentang diriku dan siapa aku, hingga aku pun mempertanyakan ‘diri’ ini.
         
Suatu ketika, beberapa waktu yang lalu, aku mendatangi sebuah rumah, dengan jalan setapak yang asri. Di sekelilingnya ditanami pohon-pohon randu yang senantiasa berbunga, halaman depan rumah berwarna kuning diselimuti guguran-guguran bunga randu. Di teras rumah, terdapat pot-pot yang berbungan merekah. Rumah itu lebih serupa taman bunga. Penghuninya tengah duduk, menyeduh teh dan menyesapnya sembari membaca buku. Setiap orang yang bertamu akan mendapat suguhan kisah hidupnya yang epik. Ia menceritakan dengan lantang tentang siapa siapa dirinya dengan bangga. Ia menjelaskan satu per satu rute waktu yang memanen buah-buah keberhasilan yang segar. “Aku suka membaca. Aku mencintai sastra dan seni. Karya sastra dan karya seni visualku sudah terpajang dan menyabet berbagai penghargaan. Oh ya, suaraku cukup indah. Beberapa kali aku bernyanyi dari acara ke acara karena diminta,” ujarnya padaku, dan pada tamu-tamu yang lain. Tamu-tamu yang lain mulai menimpali dengan kisah-kisah mereka sendiri. Berceritalah tamu 1, tamu 2, tamu 3, dan seterusnya. “Aku pernah memenangkan beberapa perlombaan menulis. Beberapa di antaranya menulis cerita pendek dan esai. Dari situ, aku dikenal sebagai cerpenis dan esais,” tamu 1 berujar sambil menyeruput teh yang hampir dingin. “Aku adalah atlet. Kemarin aku mendapatkan medali emas di tingkat ASEAN. Sekarang, lemariku hampir penuh dengan semua koleksi medaliku,” ini perkataaan tamu dua. “Kemarin, aku berhasil merebut hati para investor. Mereka semua menanamkan saham di perusahaanku,” kemudian ketiga tamu itu tertawa-tawa bersama di pemilik rumah. Mereka terlihat bangga dengan diri mereka sendiri. Sampai akhirnya tawa mereka terdengar lamat-lamat, mata mereka mulai berhenti beradu dan menuju pada satu titik yang sama; aku. Rasanya mata mereka seperti lubang hitam, yang jika aku masuk ke dalamnya, aku akan melihat neraka. Terbakar hidup-hidup di sana. Aku sungguh-sungguh tak menyukai siratan mata yang demikian itu.
      “Bagaimana denganmu?” pertanyaan telak. Ini terasa menyebalkan, karena setelahnya aku ditendang dari rumah yang bak taman bunga tetapi rupanya neraka. Nun jauh dari rumah itu, aku berkata lirih, “Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya gadis dungu yang ingin terus belajar, tapi tak pernah menjadi pintar. Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya gadis yang mencari jalan pulang ke rumah,”
                Hari ini, aku memutuskan untuk bungkam dari semua tanggapan itu. Hari ini, aku ingin lena dalam diriku sendiri. Seperti yang telah kutuliskan kali pertama, “Kabeh wong nduwe dalane dewe-dewe Lam,”. Aku yakin, aku memiliki jalanku sendiri. Aku tidak akan mematuhi perkataan mereka lagi. Menjadi suci agar diterima. Menghindari ‘dosa-dosa besar’ agar tidak masuk neraka. Aku ingin menjadi diriku sendiri. Toh, aku pun dititipi teman yang paling tulus untukku. Nasihat dari kawanku itu, meyakinkanku bahwasanya aku adalah orang yang berbeda. Sekalipun bukan siapa-siapa, bukan apa-apa dibandingkan mereka yang selalu memamerkan apa yang mereka memiliki. Aku bukan pribadi yang percaya diri. Tapi setidaknya aku menghargai diri ‘atas diri’ yang kumiliki. 
                Aku punya hidupku sendiri, memiliki jalan setapak sendiri, dari penitian itu, akan kutanamai pohon-pohon untuk meneduhkan jalan. Akan kubangung jalan yang indah dan menghilangkan batu-batu terjal. Sesampainya di tempat tujuan, sebuah tanah lapang yang tidak berpenghuni; aku akan membangun rumah. Rumahku sendiri yang kutemukan dari jalanku sendiri; yang mana jauh dari ‘neraka-neraka’, yang itu juga bukan surga dambaan. Hanya dunia fana yang menebarkan kenyataan dan realita. Sejauh itu, aku akan menemukan jalan pulang ke rumahku sendiri, dengan kakiku, dengan tanganku, dengan segala yang kumiliki tanpa harus takut dengan manusia-manusia yang kutemui di persimpangan jalan. Aku akan menghadapi segalanya untuk melakukan perjalan; sebuah perjalanan panjang menuju rumah. Jalan setapak menuju rumah.

Catatan: Pemilik blog tengah mengalami keseloan, mungkin akan ada sekuel di beberapa waktu kemudian. Sebab, hidup si pemilik blog pun penuh sekuel, penuh dengan pemain tambahan, dan selalu berganti-ganti peran di tiap segmen-segmen yang berbeda-beda.





[1] Terjemahan Bahasa Indonesia: “Semua orang memiliki jalannya sendiri-sendiri, Lam,”
[2] Entah Dimas ingat atau tidak, yang jelas penuturan itu terus menyontak pikiranku. Dalam hal ini, konteks yang diutarakan Dimas saat itu dengan yang ingin kubicarakan sedikit berbeda. Saat itu, aku bertanya pada salah seorang teman kapan kali pertama ia mulai berhijab. Kemudian, temanku menjawab ia berhijab sedari SMP. Selang beberapa detik, aku langsung mengeluh. “Ah coba aku juga pakai kerudung dari dulu,”.
“Kabeh wong ki nduwe dalane dewe-dewe, Lam,” dan Dimas pun lansung menyahut. Dan sampai detik ini, ucapannya menjalar kemana-mana, beradaptasi dengan berbagai persoalan – terutama tentang jati diri.
[3] Neraka yang dimaksud adalah pikiran manusia lain, yang menggap diri ini berbeda. Sebuah penjelasan; istilah neraka di sini merujuk pada ketetapan manusia yang menentukan perilaku-perilaku mana saja yang mereka anggap ‘baik’ dan ‘buruk’. Setiap orang pasti berpikir, dari pikiran itu akan timbul prasangka. Prasangka itulah yang menurutku pribadi adalah cikal bakal dari neraka, yang menuding-nuding, menuduh-nuduh, dan memberikan maklumat terhadap sesuatu hal yang sesungguhnya bersifat relatif.
[4] Mengadaptasi kelahiran para Kurawa – yang terlahir dari telinga dengan bentuk daging; bukan bayi.


Sumber foto :
http://imamherlambang.com/wp-content/uploads/2012/11/rerumputan-jalanan.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitnedawSGbnbH3oZT2ogaLjQLSIWhZaz7b49utinZf_XQx-1xe65SHWdzxsDAVxXXG6JEeMvue7Z0pdLAA0euEPj7ndAgnSptnOvFVYVmw2-HDgdDcJ8xXxrjXnnW62TLcbQafWj4S2cI/s1600/darkhedges3.jpg

Comments

Popular posts from this blog

[Teori Komunikasi] Teori dalam Tradisi Sibernetika

Berkunjung ke Rumah Teman

Kelebihan dan Kekurangan Model-Model (Mekanisme) yang Menghubungkan Opini Publik dengan Pembuatan Kebijakan