Jalan Setapak Menuju Rumah
Malam
ini – pun juga dengan malam-malam kemarin, aku terus mengeluhkan diriku
sendiri. Pergerakannya terasa makin sempit, tidak ada yang lebih sesak
ketimbang menyalahkan diri sendiri atas segala keterbatasan yang kurasakan. Aku
terus menyalahi, merutuki, segala bentuk pribadiku yang kupikir tak berwujud.
Pada hamparan keluh-kesah itu, aku mengingat sebait nasihat – yang sebetulnya
tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan yang sekarang kuhadapi. Namun,
nasihat ini dengan lincah beradaptasi dari tiap persoalan ke persoalan lain. Ia
menjelma menjadi kunci dari keluhan hidup yang selalu memiliki celah –
menerobos – menyakiti hati yang lemah, mengintimidasi jiwa yang rapuh, dan membongkar
hidup-hidup organ-organ dalam yang mati rasa. Kupikir, aku telah salah memaknai
hidup akhir-akhir ini. Kupikir, aku telah luput dalam menafsirkan setiap hal di
dunia ini. Aku mulai lupa menyapa Tuhan, aku mulai lupa kalau Ia lebih dekat
dari nadiku. Aku mulai lupa, jika suatu saat aku akan memuntahkan ruhku,
mualnya dari jempol kaki, menjalar sampai ke perut, terus ke kepala, sampai
akhirnya termuntahkan.
Sebetulnya,
aku semakin tidak mengerti dengan diriku sendiri, dengan kehidupan ini. Semua
manusia-manusia di sekelilingku menjelma menjadi neraka. Aku takut berhadapan
dengan mereka, aku takut jika mereka mengetahui isi pikiranku, aku khawatir
mereka mendengar isi hatiku, aku benar-benar cemas – jika dan hanya jika,
mereka akan merobekku hidup-hidup karena sesuatu hal yang aku miliki. Aku tidak
tahu mengapa aku bisa sebegitu rumitnya dalam berpikir hal-hal seperti ini. Jika
dan hanya jika – aku menganggap semua orang disekelilingku neraka, aku
berhadapan dengan banyak neraka. Tidak hanya tujuh yang konon ditawarkan Tuhan
dengan tingkatan-tingkatan yang berbeda. Jika aku harus menghadapi setiap
manusia di dunia ini. Artinya, aku menghadapi kurang lebih 7 milyar neraka,
yang entah apinya menenangkan seperti api unggun yang menyala-nyala di lereng
gunung, atau seperti badai matahari yang melepuhkan kulit.
Sebab
itu, aku tidak pernah benar-benar menampakkan diri asliku kepada orang lain.
Hanya beberapa – yang aku pikir dapat menyimpan setiap rahasia-rahasia yang
bernyawa. Jika rahasia itu dibeberkan, disiarkan dari mulut ke mulut, -- ia
akan mati, tak bernyawa... Ruhnya melepas, kerahasiannya sesuatu hal yang
intim, namun auratnya terburai dalam perkosaan. Maka dari itu, aku hanya
memiliki sedikit sahabat. Satu, dua, atau tiga – kupikir cukup. Dan dari ketiganya
aku tak benar-benar menunjukkan diriku. Aku memiliki milyaran topeng – yang
akan berganti-ganti tiap kali menghadapi orang-orang yang berbeda. Sebab, aku
takut mereka melihatku. Sebab, aku takut mereka mengetahui isi pikiranku, isi
hatiku – yang mungkin dianggapnya buruk. Sebab, aku takut wajahku adalah haram
bagi tiap pandangan. Sebab aku takut, perilakuku dipandang najis. Sebab, aku
takut dianggap dosa – hingga dijebloskan ke dalam neraka.[3]
Oleh karenanya, aku mematuhi pikiran mereka, menjadi suci di hadapan mereka,
berusaha sama di hadapan mereka. Agar dosa-dosa yang dipandang mereka atas
diriku lebur. Aku mencoba masuk ke dalam surga mereka. Alih-alih mendapat
ketenangan, aku malah terjebak dalam suatu fase di mana; aku membunuh diriku
sendiri. Disinilah kemudian aku berada, aku tidak lagi berpikir bahwa
berhadapan dengan orang adalah masuk neraka. Jika kemudian aku membunuh diriku
sendiri agar bisa masuk surga; bukankah ketika aku masuk neraka, aku juga akan
mati terlebih dahulu? Kemudian aku berpikir, aku akan mati jika berhadapan
dengan orang. Entah mati dengan ‘cara baik’ kemudian masuk surga atau mati
dengan ‘dosa-dosa besar’ kemudian masuk neraka. Yang jelas, kematian dengan
cara baik adalah membunuh diri sendiri, sedang dosa-dosa besar mati dengan
dibunuh oleh ekspektasi ngawur dari
pemikiran orang yang berhadapan denganku.
Menjadi
diri sendiri – mungkin tidak segampang slogan ‘be your self’. Segala sesuatunya akan kembali pada suatu natalis,
rahim yang melahirkan terminologi ‘atas diri’ yang masih belum bisa kudefinisikan. Siapa itu
diri? Siapa itu diri sendiri? Apa yang ia miliki sampai harus ‘menjadi’? Aku
tidak mengerti, terkadang aku semakin terkekang dalam tiap-tiap tafsiran yang
bercabang-cabang. Dari semua itu – ada rahim yang kembali dibuahi, ada daging
janin yang tumbuh dengan ganas – hampir-hampir menjebol perut. Seperti tumor
karena menyakitkan, pertumbuhannya tidak hanya melekat dalam dinding rahim,
tetapi juga jantung, hati, paru-paru, tulang belikat, bahkan tinja. Kelahirannya
adalah petaka. Ia akan lahir dari berbagai lubang, dari lubang kemaluan, pori-pori
kulit hingga telinga[4]
– menyakiti tiap-tiap anggota tubuh. Mungkin kelahiran itu akan menyebabkan
kematian. Matinya yang tidak terdefinisi mati. Bukan mati suri; tidur panjang
dan terbuai dalam mimpi-mimpi klenik yang ketika diceritakan akan terasa
mistikal. Namun, kematian panjang dalam kehidupan.
Beberapa
hari ini – aku pun membunuh diriku sendiri berulang-kali, sampai rasanya aku
tidak tahu – apakah jiwaku masih hidup, atau telah mati. Aku tidak bisa
membedakan antara yang nyata dan fana. Aku terus-menerus membunuh diriku
sendiri, melahirkan daging-daging tetapi menciptakan kematian panjang. Di mana
diriku berada sebetulnya – mungkin menjelma jadi dewi-dewi yang berkecipak di
kolam-kolam susu dan madu pada mimpi-mimpi klenik. Pun sebenarnya, pada
kehidupan nyata aku adalah iblis, penghuni tetap neraka. Siluman yang memakan
daging-daging yang telah ia lahirkan sendiri.
Aku
benar-benar terjebak di dunia yang penuh dengan neraka-neraka. Ketika aku
berkutat dengan pemikiran-pemikiran seperti ini, lagi-lagi aku mengingat salah
satu ungkapan teman. “Gue ya gue. Gue emang kaya gini, lha terus kenapa?”
ujarnya dengan logat yang Jakartasentris. “Lo tahu nggak? Sekalipun gue kayak
gini dan banyak yang nggak suka, gue semakin yakin bakal nemuin orang-orang
yang tulus sama gue,” tambahnya. “Jadi, kalau mereka nggak suka sama jati diri
gue – berarti emang pada dasarnya nggak cocok. Toh, pada akhirnya gue tetep
punya temen. Sekalipun cuman satu dua doang, tapi itu yang terbaik,”
pungkasnya.
Mungkin,
aku harus memilih neraka yang menyenangkan. Membikin dosa-dosa yang
menyenangkan, mengambil hal-hal yang sepantasnya disebut haram untuk kucumbui,
memeluk najis dan tidak membasuhnya tujuh kali. Melakukan dosa berulang-kali,
mendekati hal-hal baram, dan mengawetkan najis sebagai koleksi-koleksi yang
dapat dipajang dalam diri. Sekalipun, kemudian orang-orang (neraka-neraka yang
lain) akan jijik. Kemudian memasukkan ‘diri ini’ ke dalam suatu list daftar
orang-orang yang masuk neraka; daftar orang-orang yang lidahnya akan dipotong,
punggungnya disetrika dan dicambuk, lehernya dirantai, tangannya dikerangkeng,
kakinya dipasung; dan terus mendapat siksaan-siksaan.
Sepertinya
aku menulis terlampau panjang; menjabarkan ketakutan-ketakutan terhadap
(tanggapan) manusia dengan cara yang amat melantur. Namun, itulah yang aku
rasakan sedari dulu. Aku takut dengan manusia-manusia asumtif yang tidak pernah
mencari data. Menganalisis sekejap mata, hanya memindai berdasarkan visual –
tanpa mau memahami segala sesuatunya dari hati ke hati. Mereka hanya mendengar
dan melihat, tapi enggan merasai. Merasakan yang mereka dengar, merasakan yang
mereka lihat, meresapinya sepenuh hati. Mereka dengan seenaknya menciptakan judice and prejudice, menghakimi tanpa melihat konteks.
Selama
ini aku pernah hidup dalam penghakiman. Aku terlahir sebagai anak ketiga dari
empat bersaudara. Semuanya perempuan. Semuanya memiliki keterampilan. Sedari
kecil didamba dan didaulat sebagai anak-anak cerdas. Aku adalah salah satu anak
yang paling berbeda – dari segi fisik maupun intelektualitas. Terkadang
perbedaan itu membuatku selalu berselimut bayang-bayang. Menghindari cahaya
karena takut terlihat, selalu berada di sudut tergelap dan terkadang menggelap
sebagai bagian dari empat bersaudara itu. Aku terlampau takut mendapat
tanggapan-tanggapan serupa seperti; “Mereka saudara kandungmu? Yang benar? Kok
berbeda,” “Kenapa kamu tidak masuk kelas unggulan seperti kakakmu?” “Bukannya
saudara-saudaramu pintar bernyanyi dan menari, mengapa kamu tidak bisa?”
“Kakakmu ikut olimpiade ya? Kenapa kamu tidak?” “Kenapa tidak mengikuti jejak
kakakmu ke ITB?” “Kakakmu kan masuk IPA, kamu semestinya juga IPA,” “Dulu
kakakmu begini, kamu begitu,” “Semua saudarimu mengikuti organisasi OSIS dan
MPK, kamu tidak?”
Aku
lelah dengan lontaran-lontaran yang sedemikian rupa. Aku harus berdiri tegap
dalam pembedaan-pembedaan itu. Aku berusaha menjelaskan kepada mereka dengan
pelan-pelan; bahwa aku memang berbeda. Setiap orang terlahir berbeda-beda.
Tidak sepatutnya, satu dengan manusia yang lain dipersamakan hanya atas dasar
ikatan darah. Toh, aku berjalan dengan kakiku sendiri – bukan dengan kaki-kaki
saudariku. Namun, kekesalan itu perlahan memudar. Malam ini, aku diingatkan
oleh sebait nasihat; bahwasanya satu manusia dengan lain memiliki jalannya
sendiri. Aku yakin; seyakin-yakinnya, aku tak perlu sama dengan
saudari-saudariku. Jika dan hanya jika aku tidak bisa menjadi mereka. Mereka
pun tak akan pernah bisa menjadi diriku, dengan segala keterbatasanku, dengan
segala kelebihan dan kekuranganku.
Akan
tetapi, neraka tidak berhenti sampai di situ. Pintu neraka tidak hanya muncul
dari jendela-jendela rumah pribadi dengan api menyala-nyala di dalamnya. Tapi
juga jendela tetangga sebelah, jendela orang-orang lain yang terus terbuka
memperlihatkan diri mereka. Aku sendiri bingung, mengapa aku selalu melihat
rumah orang lain dan memperbandingkannya dengan diriku sendiri. Aku
memperbandingkan semua itu bukan tanpa alasan. Semua orang mengelilingiku,
bertanya tentang diriku dan siapa aku, hingga aku pun mempertanyakan ‘diri’
ini.
Suatu
ketika, beberapa waktu yang lalu, aku mendatangi sebuah rumah, dengan jalan
setapak yang asri. Di sekelilingnya ditanami pohon-pohon randu yang senantiasa
berbunga, halaman depan rumah berwarna kuning diselimuti guguran-guguran bunga
randu. Di teras rumah, terdapat pot-pot yang berbungan merekah. Rumah itu lebih
serupa taman bunga. Penghuninya tengah duduk, menyeduh teh dan menyesapnya sembari
membaca buku. Setiap orang yang bertamu akan mendapat suguhan kisah hidupnya
yang epik. Ia menceritakan dengan lantang tentang siapa siapa dirinya dengan
bangga. Ia menjelaskan satu per satu rute waktu yang memanen buah-buah
keberhasilan yang segar. “Aku suka membaca. Aku mencintai sastra dan seni.
Karya sastra dan karya seni visualku sudah terpajang dan menyabet berbagai
penghargaan. Oh ya, suaraku cukup indah. Beberapa kali aku bernyanyi dari acara
ke acara karena diminta,” ujarnya padaku, dan pada tamu-tamu yang lain.
Tamu-tamu yang lain mulai menimpali dengan kisah-kisah mereka sendiri.
Berceritalah tamu 1, tamu 2, tamu 3, dan seterusnya. “Aku pernah memenangkan
beberapa perlombaan menulis. Beberapa di antaranya menulis cerita pendek dan
esai. Dari situ, aku dikenal sebagai cerpenis dan esais,” tamu 1 berujar sambil
menyeruput teh yang hampir dingin. “Aku adalah atlet. Kemarin aku mendapatkan
medali emas di tingkat ASEAN. Sekarang, lemariku hampir penuh dengan semua
koleksi medaliku,” ini perkataaan tamu dua. “Kemarin, aku berhasil merebut hati
para investor. Mereka semua menanamkan saham di perusahaanku,” kemudian ketiga
tamu itu tertawa-tawa bersama di pemilik rumah. Mereka terlihat bangga dengan
diri mereka sendiri. Sampai akhirnya tawa mereka terdengar lamat-lamat, mata
mereka mulai berhenti beradu dan menuju pada satu titik yang sama; aku. Rasanya
mata mereka seperti lubang hitam, yang jika aku masuk ke dalamnya, aku akan
melihat neraka. Terbakar hidup-hidup di sana. Aku sungguh-sungguh tak menyukai
siratan mata yang demikian itu.
“Bagaimana
denganmu?” pertanyaan telak. Ini terasa menyebalkan, karena setelahnya aku
ditendang dari rumah yang bak taman bunga tetapi rupanya neraka. Nun jauh dari
rumah itu, aku berkata lirih, “Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya gadis
dungu yang ingin terus belajar, tapi tak pernah menjadi pintar. Bukan
siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya gadis yang mencari jalan pulang ke rumah,”
Hari
ini, aku memutuskan untuk bungkam dari semua tanggapan itu. Hari ini, aku ingin
lena dalam diriku sendiri. Seperti yang telah kutuliskan kali pertama, “Kabeh
wong nduwe dalane dewe-dewe Lam,”. Aku yakin, aku memiliki jalanku sendiri. Aku
tidak akan mematuhi perkataan mereka lagi. Menjadi suci agar diterima.
Menghindari ‘dosa-dosa besar’ agar tidak masuk neraka. Aku ingin menjadi diriku
sendiri. Toh, aku pun dititipi teman yang paling tulus untukku. Nasihat dari
kawanku itu, meyakinkanku bahwasanya aku adalah orang yang berbeda. Sekalipun
bukan siapa-siapa, bukan apa-apa dibandingkan mereka yang selalu memamerkan apa
yang mereka memiliki. Aku bukan pribadi yang percaya diri. Tapi setidaknya aku
menghargai diri ‘atas diri’ yang kumiliki.
Aku
punya hidupku sendiri, memiliki jalan setapak sendiri, dari penitian itu, akan
kutanamai pohon-pohon untuk meneduhkan jalan. Akan kubangung jalan yang indah
dan menghilangkan batu-batu terjal. Sesampainya di tempat tujuan, sebuah tanah
lapang yang tidak berpenghuni; aku akan membangun rumah. Rumahku sendiri yang
kutemukan dari jalanku sendiri; yang mana jauh dari ‘neraka-neraka’, yang itu
juga bukan surga dambaan. Hanya dunia fana yang menebarkan kenyataan dan
realita. Sejauh itu, aku akan menemukan jalan pulang ke rumahku sendiri, dengan
kakiku, dengan tanganku, dengan segala yang kumiliki tanpa harus takut dengan
manusia-manusia yang kutemui di persimpangan jalan. Aku akan menghadapi
segalanya untuk melakukan perjalan; sebuah perjalanan panjang menuju rumah.
Jalan setapak menuju rumah.
Catatan: Pemilik blog tengah
mengalami keseloan, mungkin akan ada sekuel di beberapa waktu kemudian. Sebab,
hidup si pemilik blog pun penuh sekuel, penuh dengan pemain tambahan, dan
selalu berganti-ganti peran di tiap segmen-segmen yang berbeda-beda.
[1]
Terjemahan Bahasa Indonesia: “Semua orang memiliki jalannya sendiri-sendiri,
Lam,”
[2]
Entah Dimas ingat atau tidak, yang jelas penuturan itu terus menyontak
pikiranku. Dalam hal ini, konteks yang diutarakan Dimas saat itu dengan yang
ingin kubicarakan sedikit berbeda. Saat itu, aku bertanya pada salah seorang
teman kapan kali pertama ia mulai berhijab. Kemudian, temanku menjawab ia
berhijab sedari SMP. Selang beberapa detik, aku langsung mengeluh. “Ah coba aku
juga pakai kerudung dari dulu,”.
“Kabeh wong ki nduwe dalane dewe-dewe, Lam,” dan Dimas pun lansung menyahut. Dan sampai detik ini, ucapannya menjalar kemana-mana, beradaptasi dengan berbagai persoalan – terutama tentang jati diri.
“Kabeh wong ki nduwe dalane dewe-dewe, Lam,” dan Dimas pun lansung menyahut. Dan sampai detik ini, ucapannya menjalar kemana-mana, beradaptasi dengan berbagai persoalan – terutama tentang jati diri.
[3]
Neraka yang dimaksud adalah pikiran manusia lain, yang menggap diri ini
berbeda. Sebuah penjelasan; istilah neraka di sini merujuk pada ketetapan
manusia yang menentukan perilaku-perilaku mana saja yang mereka anggap ‘baik’
dan ‘buruk’. Setiap orang pasti berpikir, dari pikiran itu akan timbul
prasangka. Prasangka itulah yang menurutku pribadi adalah cikal bakal dari
neraka, yang menuding-nuding, menuduh-nuduh, dan memberikan maklumat terhadap
sesuatu hal yang sesungguhnya bersifat relatif.
[4]
Mengadaptasi kelahiran para Kurawa – yang terlahir dari telinga dengan bentuk
daging; bukan bayi.
Sumber foto :
http://imamherlambang.com/wp-content/uploads/2012/11/rerumputan-jalanan.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitnedawSGbnbH3oZT2ogaLjQLSIWhZaz7b49utinZf_XQx-1xe65SHWdzxsDAVxXXG6JEeMvue7Z0pdLAA0euEPj7ndAgnSptnOvFVYVmw2-HDgdDcJ8xXxrjXnnW62TLcbQafWj4S2cI/s1600/darkhedges3.jpg
Sumber foto :
http://imamherlambang.com/wp-content/uploads/2012/11/rerumputan-jalanan.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitnedawSGbnbH3oZT2ogaLjQLSIWhZaz7b49utinZf_XQx-1xe65SHWdzxsDAVxXXG6JEeMvue7Z0pdLAA0euEPj7ndAgnSptnOvFVYVmw2-HDgdDcJ8xXxrjXnnW62TLcbQafWj4S2cI/s1600/darkhedges3.jpg
Comments
Post a Comment